Benarkah Penyakit Mental dan Video Game Picu Aksi Penembakan Massal?

7 Agustus 2019 10:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi PUBG. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi PUBG. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir pekan yang mencekam di negeri Paman Sam. Dalam kurun waktu kurang dari 24 jam terjadi dua aksi penembakan brutal di El Paso dan Dayton pada Sabtu (3/4) dan Minggu (4/8). Lebih dari 30 orang meninggal dunia akibat aksi keji itu.
ADVERTISEMENT
Selama ini, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kerap mengaitkan peristiwa penembakan massal dengan masalah kesehatan mental. Selain itu, tak sedikit politisi yang langsung menuduh para pelaku mengalami gangguan jiwa.
“Penyakit mental dan kebencianlah yang menjadi pemicunya, bukan senjata,” Presiden Trump mengomentari aksi penembakan tersebut sebagaimana dilansir Science Alert.
Jadi, apakah masalah kesehatan jiwa memang pantas dijadikan sebagai kambing hitam dalam peristiwa yang kerap menelan korban jiwa ini? Beberapa penelitian menepisnya.
Menurut beberapa penelitian, ada beberapa pelaku penembakan massal yang memiliki riwayat skizofrenia atau psikosis. Tetapi itu hanya sebagian kecil dan kebanyakan dari mereka sebenarnya tidak memiliki masalah kejiwaan.
Tempat kejadian setelah penembakan massal di Dayton, Ohio, Amerika Serikat, Minggu (4/8). Foto: REUTERS / Bryan Woolston
Peneliti justru menemukan bahwa faktor pemicu seseorang nekat melakukan aksi penembakan massal adalah karena rasa dendam yang kuat dan keinginan untuk melakukan provokasi.
ADVERTISEMENT
Riset juga menemukan bahwa para pelaku juga terpicu melakukan aksi keji itu karena aksi penembakan massal lainnya. Selain itu, kekerasan yang pernah dialami pelaku, sifat narsis, dan akses ke senjata api juga menjadi faktor mereka melakukan aksi penembakan massal.
“Fakta bahwa seseorang akan nekat membantai sekumpulan orang asing memang bukan tindakan yang didorong oleh akal sehat, tetapi itu juga tak berarti kesehatan mental mereka terganggu,” ungkap Jeffrey Swanson, profesor psikiatri dan ilmu perilaku di Duke University School of Medicine.
FBI, kepolisian AS, psikiater forensik, ahli penyakit mental serta ahli epidemiologi telah mulai mendalami penelitian terkait hubungan antara aksi penembakan massal dengan masalah kesehatan mental. Ini karena peristiwa tersebut marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Ilustrasi gangguan mental. Foto: Pixabay
Pada 2018 FBI melakukan penyelidikan terhadap 63 pelaku yang pelaku penembakan. FBI menemukan 25 persen dari mereka telah diagnosis menderita gangguan kejiwaan. Tiga diantaranya mengalami gangguan psikotik.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah penelitian di jurnal Violence and Gender yang terbit pada 2015, peneliti menemukan hanya 22 persen dari 226 pria pelaku aksi penembakan massal, yang mengidap penyakit mental. Tetapi, ada laporan dari Heritage Foundation yang menaksir bahwa sebagian besar pelaku penembakan massal memiliki penyakit mental.
Video game
Selain masalah kesehatan mental, video game bermuatan kekerasan juga kerap dituduh memicu aksi penembakan massal. Bahkan, Trump menyebutkan ada rencana untuk membatasi atau mempersulit game semacam itu.
Tetapi, Jonathan Metzl, direktur Center for Medicine, Health and Society di Vanderbilt University membantah tudingan itu. Menurut Metzl, tak ada hubungan statistik yang menjelaskan hubungan antara bermain video game kekerasan dengan orang jadi terpicu untuk melakukan aksi penembakan.
ADVERTISEMENT
Pada 2004 Dinas Intelijen Rahasia dan Departemen Pendidikan AS melakukan studi terhadap puluhan kasus penembakan di sekolah. Mereka menemukan bahwa 12 persen pelakunya menunjukkan kegemaran mereka bermain video game yang bermuatan kekerasan.
“Ketika politisi, seperti Presiden Trump, mencoba melemparkan narasi seperti ini, buat saya itu justru menunjukkan sikap yang tidak bertanggung jawab, karena ini semua tidak benar,” ujar Metzl.
Ilustrasi bermain game di smartphone. Foto: Dok. Shutterstock
Para ahli menyebut sikap mengkambinghitamkan masalah kesehatan mental dan video game atas kasus penembakan massal sebagai langkah keliru. Mereka menyebut hal itu seperti mencari jawaban di tempat yang salah.
Menurut survei dari National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism di AS, orang dengan gangguan mental 3,6 kali lebih mungkin untuk menunjukkan perilaku kekerasan. Tetapi, mereka juga lebih berisiko menjadi korban kekerasan, dengan risiko 23 kali lipat, dibandingkan dengan populasi umum.
ADVERTISEMENT
Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Annals of Epidemiology menemukan bahwa sebagian besar orang dengan gangguan mental tidak melakukan kekerasan yang membahayakan orang lain. Menurut riset, pemicu perilaku kasar justru disebabkan oleh faktor-faktor lain selain penyakit mental.
“Kita kerap berpikir siapa pun yang menghabisi nyawa orang lain, pasti dianggap memiliki gangguan jiwa,” jelas Philip Resnick, psikiater forensik kepada Science Alert. “Anda perlu ingat, alasan seseorang membunuh orang lain bisa karena banyak hal. Misalnya karena cinta atau keserakahan.”
Ilustrasi penembakan. Foto: dok. shutterstock
Komentar Trump yang menyebut masalah kesehatan mental yang dialami seseorang sebagai cikal bakal aksi penembakan massal ditanggapi sinis oleh kepala organisasi National Alliance on Mental Illness, Angela Kimball.
Kimbal mengkhawatirkan pernyataan Trump justru akan membuat orang-orang dengan gangguan kejiwaan malah enggan untuk mencari pertolongan. “Pernyataan seperti itu telah menyebarluaskan ketakutan sehingga dapat memperburuk stigma terhadap orang-orang yang mengalami gangguan jiwa,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah studi pada 2018, FBI menemukan sejumlah penyebab seseorang melakukan penembakan massal. Pelaku biasanya mengalami stres jauh sebelum mereka memutuskan untuk melakukan penyerangan. Stres tersebut bisa dipicu karena masalah finansial, perkelahian dengan teman sekelas atau rekan kerja, serta penyalahgunaan zat adiktif.
Para pelaku penembakan biasanya menunjukkan gelagat atau perilaku yang mencurigakan bagi orang-orang di sekitar mereka. Gelagat paling umum adalah perilaku yang menunjukkan tanda-tanda berniat melakukan kekerasan atau adanya konflik.
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Para ahli juga mengungkap bahwa ada negara-negara lain, selain AS, yang memiliki jumlah penderita penyakit mental yang mirip dengan AS, tapi angka kematian akibat senjata apinya lebih rendah. Mereka juga menyoroti bahwa video game sangat diminati dan tersebar luas di Eropa dan Asia, tapi tingkat kematian akibat senjata apinya juga lebih rendah dibanding AS.
ADVERTISEMENT
"Penyakit mental bukan masalah sebenarnya, karena penyakit mental adalah sesuatu yang terjadi di seluruh dunia. Sedangkan penembakan massal tidak,” ujar Kimball.
“Kenyataan menyedihkannya adalah, di AS sangat mudah mendapatkan senjata api. Tapi, sangat sulit untuk mendapat perawatan penyakit mental,” imbuh dia.