Cara Jaringan ISIS Meradikalisasi Perempuan Indonesia

29 Juni 2018 17:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Duo Siska berencana menyerang polisi. (Foto: dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Duo Siska berencana menyerang polisi. (Foto: dok. Istimewa)
ADVERTISEMENT
Pada Mei 2018 sebuah rangkaian teror mematikan melanda beberapa tempat di Jawa Timur, Indonesia. Menurut pihak kepolisian, jaringan ektremis lokal yang berafiliasi dengan ISIS, yakni, Jama’ah Ansharud Daulah (JAD), adalah otak di balik rangkaian teror tersebut.
ADVERTISEMENT
Yang menyedihkan dari rangkaian teror kala itu adalah adanya keterlibatan perempuan yang berperan sebagai bomber. Bahkan pelaku perempuan pengeboman bernama Puji Kuswati (42) tega menggandeng dua putrinya, Fadhila Sari (12 tahun) dan Famela Rizqita (9 tahun), untuk meledakkan diri mereka di halaman Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro, Surabaya.
Kejadian tersebut tentunya membuat banyak orang terkejut. Pelaku teror pengeboman yang biasanya dilakukan oleh laki-laki, kali ini juga dilakukan oleh perempuan.
Keluarga Pelaku Teror  (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga Pelaku Teror (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)
2 Motif Penting
Dua peneliti asal Indonesia yang berkiprah di Victoria University of Wellington, Eva Nisa dan Faried F. Saenong, memaparkan hasil analisis mereka tentang bagaimana cara jaringan teroris yang berafiliasi dengan ISIS meradikalisasi perempuan Indonesia. Di The Conversation, mereka menuliskan bahwa motif paling penting yang mendorong keterlibatan perempuan Indonesia masuk ke dalam kelompok teroris tersebut motif ideologi.
ADVERTISEMENT
Para perempuan ini pada dasarnya hanya ingin menjadi "Muslim sejati". Sementara itu jaringan ISIS menanamkan ideologi kepada para pengikutnya bahwa Muslim sejati harus mengikuti panggilan pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi pindah ke Suriah untuk membangun dan mengembangkan wilayah ISIS.
Terkait seruan kepada perempuan untuk juga pergi ke Suriah, “ISIS membutuhkan perempuan sebagai istri dan ibu untuk melahirkan generasi penerus mereka,” tulis dua peneliti tersebut.
Motif penting lainnya, menurut kedua peneliti, adalah kekecewaan para perempuan ini terhadap kondisi di tanah air mereka. Kemampuan ISIS dalam menciptakan propaganda, melalui berbagai media, terutama media sosial dan video, telah berhasil meyakinkan beberapa perempuan Muslim untuk bermigrasi ke wilayah ISIS demi hidup yang lebih baik di bawah naungan daulah Islamiyah (negara Islam).
ADVERTISEMENT
Namun tidak semua pengikut ISIS bisa bermigrasi dengan mudah ke wilayah ISIS, termasuk pengikut ISIS yang masih berada di Indonesia.
Aksi Teroris Perempuan (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Teroris Perempuan (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Martir Perempuan Indonesia
Sebenarnya elit dari berbagai kelompok teroris, termasuk ISIS, sering menyebutkan bahwa melibatkan perempuan seharusnya menjadi pilihan terakhir dalam kasus “darurat”, termasuk kurangnya pejuang laki-laki.
“Di Indonesia, pemenjaraan teroris yang berafiliasi dengan berbagai kelompok teroris, termasuk ISIS, mendorong pemimpin teroris lokal untuk menyerukan keterlibatan perempuan yang lebih aktif. Mereka meyakini potensi keberhasilan aksi teroris yang melibatkan perempuan karena perempuan jarang dicurigai dan terdeteksi sebagai teroris,” tulis para peneliti.
Para perempuan yang hendak menjadi pelaku serangan bom bunuh diri telah memiliki keyakinan kuat soal keistimewaan seorang syahid (martir). “Termasuk dalam keyakinan ini adalah kesucian martir membuat mereka dapat dikubur langsung dengan pakaian mereka, tanpa dimandikan, dan bahwa mereka akan diberikan posisi tertinggi dekat dengan singgasana Sang Pencipta,” papar para peneliti.
ADVERTISEMENT
Selain itu, para perempuan ini juga percaya bahwa kesuksesan membesarkan anak-anak mereka menjadi pejuang (mujahidin untuk laki-laki dan muhajidat untuk perempuan) adalah sebuah garansi untuk mendapatkan bagian dari pahala anak-anak mereka.
Pada 2010, salah satu dari peneliti ini bertemu seorang perempuan yang memanggil dirinya Umm Mujahid (ibu pejuang laki-laki). Ditanya alasan soal memakai nama tersebut, perempuan itu menjawab, “Saya ingin panggilan saya (Umm Mujahid) ini menjadi doa. Saya berharap putra saya menjadi mujahid di masa depan, sehingga ia bisa membawa saya ke surga Sang Pencipta.”
Menurut kedua peneliti tersebut, ideologi semacam inilah yang telah terpatri ke dalam hati dan pikiran perempuan yang teradikalisasi. “Karena itu, tidak mengherankan jika pengeboman di Indonesia mulai melibatkan perempuan dan anak-anak,” ujar mereka.
ADVERTISEMENT