Curahan Hati Para Orang Tua Pasien Penyakit Langka

1 Maret 2018 12:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Syafa, Penderita MPS Tipe II (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Syafa, Penderita MPS Tipe II (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tiga tahun yang lalu, Syafa awalnya adalah seorang bocah kecil biasa yang berusia tiga tahun. Suatu hari, ketika sedang bermain, tiba-tiba ia terjatuh. Anak kecil terjatuh saat bermain mungkin memang hal yang biasa, namun tidak bagi Syafa.
ADVERTISEMENT
Setelah jatuh, fungsi tubuh Syafa mengalami kemunduran, hingga akhirnya Syafa harus dibawa ke dokter.
“Setelah jatuh itu dia dibawa ke dokter, tapi menurut dokter itu bukan penyebab dia sakit, tapi pemicu adanya muncul penyakit,” tutur Murhani, orang tua dari Syafa saat menghadiri peringatan Hari Penyakit Langka (Rare Disease Day) 2018 di Auditorium IMERI Universitas Indonesia, Rabu (28/2).
Syafa awalnya didiagnosis menderita epilepsi dan cerebral palsy. Tapi setelah diobati, keadaan Syafa tidak kunjung membaik, malah semakin mengalami kemunduran.
Syafa, Penderita MPS Tipe II  (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Syafa, Penderita MPS Tipe II (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
Lama kelamaan, Syafa jadi sering jatuh, mengalami tremor (gemetar), kejang dan mudah kehilangan keseimbangan, hingga akhirnya ia tidak bisa berjalan. Tentu keadaan ini membuat orang tua Syafa panik.
Bukan hanya tidak bisa berjalan, lama kelamaan, Syafa juga tidak bisa berbicara, bahkan menangis pun tidak bisa. Selain itu, Syafa juga sempat mengalami koma sehingga akhirnya harus dibawa ke Jakarta dari tempat tinggal asalnya di Jambi.
ADVERTISEMENT
Banyaknya biaya yang sudah dikeluarkan untuk penyembuhan putrinya itu, membuat Murhani berpindah dari pembiayaan pribadi ke BPJS. Belum lagi, pemeriksaan Syafa tidak bisa dilakukan di Indonesia, ia harus dibawa ke Jerman untuk memastikan penyakitnya.
Pada akhirnya Syafa diketahui menderita mukopolisakaridosis (MPS).
Kini, Syafa yang sudah berusia enam tahun harus menjalani pengobatan untuk kejang yang masih sering ia alami dan menggunakan susu khusus untuk penderita kejang. Ia tidak bisa mengkonsumsi makanan lain selain susu tersebut.
Syafa Tidak Sendiri
Faiz dan kedua orang tuanya (Foto: Zahrina Yustisia/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Faiz dan kedua orang tuanya (Foto: Zahrina Yustisia/kumparan)
Selain Syafa, ada juga Faiz yang berusia empat tahun. Sepintas Faiz tampak seperti anak biasa yang tampil keren dengan jaket merah. Ia datang ke acara peringatan Hari Penyakit Langka 2018 dengan kedua orang tuanya, Siti Rohmah dan Supriyanto.
ADVERTISEMENT
Faiz adalah penderita penyakit MPS tipe II. Namun kondisi Faiz lebih beruntung daripada Syafa karena ia masih bisa makan seperti biasa dan tidak perlu susu khusus. Namun, hingga usia empat tahun kini, Faiz tidak kunjung bisa bicara.
“Baru kemarin Agustus ketahuannya. Ada dokter yang pernah melihat anak seperti Faiz,” kata Siti. Ia sendiri tidak pernah tahu atau curiga kalau anaknya menderita penyakit langka itu.
Saat ini, Faiz rutin melakukan sulih enzim dan terapi untuk meningkatkan konsentrasinya.
Faiz, pasien MPS tipe II (Foto: Zahrina Yustisia/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Faiz, pasien MPS tipe II (Foto: Zahrina Yustisia/kumparan)
Penyakit Alisya Beda dengan Syafa dan Faiz
Tak cuma MPS, di Indonesia ini juga ada anak-anak yang menderita penyakit langka lainnya. Salah satunya dialami oleh Alisya, anak berusia tiga tahun yang memiliki kelainan bernama Maple Syrup Urine Disorder (MSUD).
ADVERTISEMENT
Kelainan ini membuat Alisya tidak bisa makan atau minum, bahkan ASI dari ibunya sendiri karena tubuhnya tidak bisa menerima protein.
“Alisya itu lahir kembar. Usia lima hari, Alisya enggak mau minum susu,” kata Ibu Irry, orang tua dari Alisya. “Terus dibawa ke klinik tempat lahirannya. Awalnya dia dibilang dehidrasi, jadi dibawa ke rumah sakit yang lebih besar. Ke Hermina Podomoro.”
Awalnya Irry tidak berpikir Alisya menderita penyakit aneh, hanya dehidrasi biasa. Tapi akhirnya Alisya malah mengalami koma ketika dibawa ke rumah sakit. Alisya pun dirawat selama satu bulan di ruang ICU dengan biaya pribadi.
Meski Alisya sempat sadar, Irry tetap melihat keanehan pada anaknya tersebut. Misalnya, mata Alisya terus melihat ke atas.
ADVERTISEMENT
Irry pun akhirnya meminta agar anaknya dirujuk ke RSIA Hermina Jatinegara untuk melakukan pemeriksaan.
Alisya, pasien MSUD (Foto: Dok. Irry Murniasih)
zoom-in-whitePerbesar
Alisya, pasien MSUD (Foto: Dok. Irry Murniasih)
Dokter silih berganti datang untuk memeriksakan Alisya sampai akhirnya diketahui ia memiliki penyakit metabolik. Terakhir, ia bertemu dengan dr. Damayanti, pakar nutrisi dan penyakit metabolik di RSCM yang menyarankan agar Alisya melakukan screening metabolik di Malaysia.
“Hasilnya positif MSUD.”
Kebingungan melanda keluarga Alisya karena dengan hasil positif tersebut, berarti mereka harus memberikan Alisya susu khusus tanpa protein. Untunglah pada saat itu Alisya tidak sendiri. Bersama dengan orang tua pasien MSUD lainnya dan dr. Damayanti, mereka berjuang mencari susu tersebut.
Masalah selanjutnya adalah meski susu sudah ditemukan, susu tersebut malah tertahan di Bea Cukai.
“Kemudian Dokter Damayanti menghadap (Bea Cukai). Akhirnya susu bisa diambil, tapi itu pun hanya satu. Untungnya pada saat itu Alisya minumnya belum banyak.”
ADVERTISEMENT
Susu pun akhirnya bisa masuk ke Indonesia setelah dibantu oleh salah satu perusahaan makanan dan nutrisi untuk bayi.
Namun bahkan setelah mendapat berbagai bantuan, harga susu tetap mahal, yaitu Rp 750 ribu. Apalagi, Alisya itu kembar dan saudara kembarnya juga memiliki penyakit yang sama. Sayangnya, nyawa adik kembar Alisya tidak tertolong.
“Kendala kami itu di susunya. Karena susu itu adalah obatnya. Jadi dia tidak makan apa-apa lagi.”
Alisya, pasien MSUD (Foto: Dok. Irry Murniasih)
zoom-in-whitePerbesar
Alisya, pasien MSUD (Foto: Dok. Irry Murniasih)
Sampai saat ini para orang tua dari anak-anak penderita penyakit langka ini terus berharap yang terbaik untuk anak mereka. Mereka terus mengikuti perkembangan dunia kedokteran sambil berharap ada keajaiban yang menyembuhkan anak-anak mereka.
“Kemarin katanya sudah ada percobaan untuk penyembuhan di Argentina. Kami sedang memperjuangkan agar Syafa bisa ikut. Kalau bisa (ikut), berarti tahun depan,” kata Murhani dengan penuh harap sambil melihat anaknya, Syafa, yang berbaring di kursi roda rebah. Syafa terlihat sangat cantik dengan menggunakan kaus putih dan rambut yang diikat dengan karet warna-warni.
ADVERTISEMENT
Harapan dan rasa syukur juga diucapkan oleh Irry, ibunda Alisya. Sebelumnya, nyawa pasien lain yang menderita penyakit MSUD tidak bisa terselamatkan. Oleh karena itu, Irry sangat bersyukur karena Alisya masih bisa selamat hingga saat ini.
“Walau katanya terlambat, tapi untunglah Alisya masih bsia tertolong. Karena ketemu Dokter Damayanti, yah. Kalau enggak ketemu, enggak tahu jadinya kayak apa,” ujarnya.
Irry pun bersyukur ia masih bisa memenuhi kebutuhan anaknya walau kadang-kadang ia merasa tersendat-sendat karena tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan.
Setiap satu bulan sekali Irry harus ke Malaysia untuk memeriksakan keadaan Alisya. Selain itu obat yang digunakan untuk menetralisisasi protein, yakni valin dan isoleucin, untuk Alisya juga harus diimpor dari Eropa. Kedua obat tersebut dibeli oleh Irry dengan bantuan kerabatnya di Jerman dan dikirim ke Indonesia.
Para Penderita Penyakit Langka dan Keluarganya  (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Para Penderita Penyakit Langka dan Keluarganya (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
Keberadaan Yayasan MPS dan Penyakit Langka dianggap sangat membantu bagi mereka yang memiliki anak dengan penyakit langka. Berbagai dukungan diberikan antarkeluarga, termasuk saling bertukar informasi mengenai susu dan obat.
ADVERTISEMENT
Menurut Peni Utami, ketua dari yayasan ini ketika ditemui kumparanSAINS, tujuan dari Yayasan MPS adalah untuk mengadvokasi pemerintah untuk memperjuangkan hak-hak pasien. Misalnya adalah mendorong pembebasan pajak dan kemudahan akses untuk obat dan makanan khusus para pasien penyakit langka.
Selain itu, untuk membantu para anggotanya terutama yang memiliki kesulitan biaya, yayasan ini mendorong agar produsen obat memberikan donasi sebagai bentuk corporate social responsibility (CSR) mereka.
Lalu, bagaimana dengan masa depan anak-anak yang menderita penyakit langka seperti Alisya? Akankah mereka bisa bersekolah dan bermain di kemudian hari seperti anak-anak lainnya?
“Saya juga berpikir ingin seperti itu, tapi menurut dokter tidak perlu berpikiran ke sana dulu. Yang penting fokus agar Alisya bisa mandiri. Maksudnya supaya ia bisa makan sendiri, bicara, jalan, seperti itu saja dulu,” tutup Irry.
ADVERTISEMENT