Dari Depok ke Bogor Menyelidiki Pohon Berambut yang Tumbuh di Kuburan

9 Januari 2018 7:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pohon berambut di Kelurahan Duren Mekar (Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pohon berambut di Kelurahan Duren Mekar (Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sabtu pagi (6/1), saya membaca berita di kumparan (kumparan.com) yang berjudul ‘Heboh Penampakan Pohon Berambut di Pemakaman di Depok’. Sebelum membaca penuh artikel itu, saya sudah menduga, pohon ini memiliki keanehan yang berbau mistis, apalagi setelah membaca kata ‘pemakaman’ pada judulnya.
ADVERTISEMENT
Mungkin memang sudah jadi stereotip banyak orang termasuk saya, setiap hal yang berhubungan dengan ‘pemakaman’, biasa akan ada hubungannya dengan mistik.
Ya, ternyata dugaan saya tidak salah. Artikel ini memang membahas tentang munculnya pohon di tengah-tengah makam yang memiliki keanehan. Rambut-rambut kasar seperti serabut ijuk tumbuh di batang pohon tersebut. Tumbuhnya tidak rapat-rapat, tetapi jarang-jarang.
Konon, menurut artikel itu, setiap orang yang memetik rambut-rambut di pohon itu akan mengalami dampak dengan skenario yang tipikal pada orang-orang yang mengganggu benda keramat. Yang pertama akan kesurupan, atau yang kedua akan diganggu oleh makhluk halus.
Sejujurnya, saya adalah seorang yang selalu skeptis setiap kali mendengar atau membaca berita-berita mistis. Bukan karena saya 100 persen menganggap makhluk gaib itu tidak ada.
ADVERTISEMENT
Namun, menurut saya, segala sesuatu itu semestinya memiliki penjelasan ilmiahnya sendiri, termasuk juga pohon berambut ini.
Sebab, seingat saya pada pelajaran yang membahas tentang tanaman, rambut-rambut di pohon bukanlah hal yang aneh. Seperti pohon beringin di depan rumah saya di Bogor misalnya, ia juga ditumbuhi ‘rambut-rambut’ panjang.
Sebelum saya tahu bahwa rambut-rambut di pohon beringin itu adalah sulur yang berfungsi sama seperti akar, saya pikir itu tempat Tarzan bergelantungan. Mungkin saja sulur seperti itu jugalah yang tumbuh di pohon ‘berambut’ di kuburan dalam berita tadi.
Pohon Berambut di Kelurahan Duren Mekar (Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pohon Berambut di Kelurahan Duren Mekar (Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan)
Soal tanaman, saya memang saya tidak jago-jago amat. Karena itulah, sebaiknya saya mencari seseorang yang bisa saya tanyai soal pohon berambut di kuburan ini.
ADVERTISEMENT
Siapa yang bisa saya hubungi untuk dimintai keterangan soal pohon ini? Saya akhirnya menghubungi seorang teman yang merupakan lulusan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor via aplikasi pesan WhatsApp untuk meminta saran padanya.
Dari percakapan di WhatsApp itu, saya akhirnya mendapatkan nomor kontak Ibu Tutie Djarwaningsih, mantan pembimbing skripsi teman saya ini yang juga menjabat sebagai Peneliti Utama Bidang Taksonomi. di Pusat Penelitian Biologi Bidang Botani Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dengan semangat ’45, saya langsung menghubungi Ibu Tutie untuk meminta keterangan darinya. Harapan saya, hari itu menelepon, hari itu juga saya bisa mendapatkan jawaban darinya. Dengan begitu, saya bisa segera menulis artikel, publish, and end of story.
Kuburan tua tempat pohon berambut tumbuh (Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kuburan tua tempat pohon berambut tumbuh (Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan)
Setelah memperkenalkan nama, kemudian menjelaskan maksud menelepon Ibu Tutie, saya menanyakan, jenis pohon apa sebenarnya pohon berambut itu?
ADVERTISEMENT
“Waduh, saya juga baru dengar, Mbak, soal pohon itu. Saya tidak bisa menentukan kalau hanya dari foto. Kalau mau, Mbak ambil contohnya, contoh daun, contoh bunga. Kalau ada, buahnya, rambut-rambutnya juga (diambil),” tutur Ibu Tutie.
Wah, berat juga kalau saya harus ke Depok untuk mengambil sampel, pikir saya dalam hati. Yang menjadi masalah bagi saya bukanlah jarak yang harus saya tempuh dari Bogor ke Depok, melainkan karena cerita dari salah satu senior mengenai kenapa reporter berita sebelumnya tidak mau mengambil sampel dari pohon berambut.
“Iya, dia dengar ada yang kesurupan terus enggak berani mau ngambil,” ujar senior saya saat itu.
Tapi apa daya, sudah kepalang basah saya berjanji kepada Ibu Tutie dan saya sendiri juga sudah sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pohon yang tumbuh di sebuah pemakaman di Duren Mekar, Bojongsari, Depok itu.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, keesokan harinya, Minggu (7/1), saya tempuh juga perjalanan ke Depok untuk mencari pohon berambut ini. Niat saya untuk mengunjungi kuburan tempat pohon berambut itu tumbuh awalnya tidak mendapat restu dari ibu saya, apalagi saya akan ke sana sendirian.
Pohon Berambut (Foto: Zahrina Yustisia Noorputeri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pohon Berambut (Foto: Zahrina Yustisia Noorputeri/kumparan)
Sebelum sampai ke lokasi, sudah banyak tantangan yang mendatangi saya. Mungkin memang alam tidak merestui juga, pikir saya.
Sebelum saya pergi, hujan besar turun di Bogor sejak pagi. Terpaksa perjalanan ditunda sampai siang. Begitu berhasil sampai Stasiun Bogor dan naik kereta, saya baru ingat lupa membawa kartu pers saya. Terpaksa saya balik lagi ke rumah.
Dari rumah saya kembali lagi ke Stasiun Bogor menuju Stasiun Depok Baru. Saya pergi ke Stasiun Depok Baru karena mendapat advice dari reporter yang kemarin sudah ke lokasi kuburan itu.
ADVERTISEMENT
Namun ketika saya sudah mendapat ojek online dari Stasiun Depok Baru, saya malah mendapat komentar yang membuat saya tepok jidat.
“Mbak dari mana? Ini jauh banget tujuannya,” tanya bapak driver ojek online yang mengantar saya ke Jalan Makam, Bojongsari. “Ini hampir 12 kilo(meter). Udah dekat Bogor.”
Hah?
“Saya dari Bogor, Pak,” jawab saya lemas.
“Oh, kenapa enggak naik bus aja Mbak yang ke Parung? Ini mah lebih dekat dari Bogor,” kata bapak itu.
Dalam hati, saya semakin yakin perjalanan ini memang sepertinya tidak direstui oleh alam.
Pohon Berambut (Foto: Zahrina Yustisia Noorputeri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pohon Berambut (Foto: Zahrina Yustisia Noorputeri/kumparan)
Setelah berputar-putar dari Stasiun Depok Baru menuju Sawangan, lalu ke Bojongsari, dan menghadapi komentar pedas driver yang kerap kali mengeluhkan betapa jauhnya tujuan saya dan saya sendiri tidak tahu ke mana tujuan saya, akhirnya sampai juga saya di depan sebuah jalan kecil bernama Jalan Makam.
ADVERTISEMENT
Di sebelah kanan depan Jalan Makam ada perumahan kecil yang berisi kurang dari sepuluh rumah, sedangkan di sebelah kiri depannya ada kebun bambu.
Jalan Makam, Bojongsari, Depok (Foto: Rizki Baiquni/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jalan Makam, Bojongsari, Depok (Foto: Rizki Baiquni/kumparan)
Memasuki jalan kecil itu, tepat di belakang perumahan ada area pemakaman tempat pohon berambut itu tumbuh. Area pemakaman itu berhadap-hadapan dengan kebun singkong yang tepat berada di belakang kebun bambu tadi.
Sebelum ke lokasi pohon tersebut, saya lebih dulu berkeliling mencari rumah Ketua RT setempat, Bapak Sumardi. Menurut informasi yang saya dapatkan sebelumnya, rumah Pak Sumardi berada di dekat musala.
Warga pertama yang saya tanyakan tidak tahu orang bernama Sumardi. Untungnya, warga kedua yang merupakan penjaga area pemakaman itu kenal dan tahu lokasi rumah Pak Sumardi.
ADVERTISEMENT
Pak Sumardi inilah yang kemudian mengantarkan saya ke lokasi tempat pohon itu tumbuh dan menceritakan lebih jauh soal pohon misterius ini.
Pohon Berambut (Foto: Zahrina Yustisia Noorputeri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pohon Berambut (Foto: Zahrina Yustisia Noorputeri/kumparan)
Meski saya adalah orang yang skeptis dan selalu (berusaha untuk) logis, saya tetap masih termasuk generasi yang menganggap kuburan itu menakutkan. Beda dengan sebagian orang dari generasi milenial yang bahkan berani pacaran di kuburan.
“Boleh ambil, Pak, buat dibawa ke LIPI?”
“Boleh, tapi permisi-permisi, ya,” jawab Pak Sumardi.
Berkali-kali saya mengucapkan salam dan mengatakan ‘punten (permisi)’ sambil memetik daun, bunga, dan rambut-rambut di pohon tersebut. Lega rasanya ketika akhirnya saya bisa meninggalkan area pemakaman itu
Pohon Berambut yang Saya Bawa ke LIPI (Foto: Zahrina Yustisia/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pohon Berambut yang Saya Bawa ke LIPI (Foto: Zahrina Yustisia/kumparan)
Sepulang dari kuburan itu, saya bertanya-tanya apakah benar orang yang mengambil rambut dari pohon itu akan mengalami hal-hal mistis? Di sini saya membuktikan sendiri bahwa mungkin saya memang ‘diganggu’.
ADVERTISEMENT
Pukul 24.00 WIB malam, saya sudah siap untuk tidur. Lampu sudah saya matikan semua, laptop juga sudah mati, dan saya pun sudah memejamkan mata.
Baru sejenak saya menutup mata, terdengar bunyi ‘bruk’ entah dari mana, tapi bunyi itu membuat saya terbangun. Tapi ya sudah, saya mencoba tidur lagi.
Baru sejenak memejamkan mati kembali, ada lagi suara seperti benda jatuh. Di situ, saya sudah tidak bisa berpikiran positif.
Setiap mencoba tidur, lagi-lagi saya terbangun. Pukul 01.00 WIB dini hari (ya, hari sudah berganti jadi Senin, 8 Januari) saya tiba-tiba merasa tidak bisa bernapas. Saya berpikir mungkin saya mengalami sleep apnea, gangguan tidur serius berupa berhentinya pernapasan selama tidur.
ADVERTISEMENT
Malam itu napas saya tiba-tiba berhenti ketika tidur dan jantung saya berdetak kencang. Sebelumnya, saya sama sekali tidak pernah mengalami hal seperti ini.
Akhirnya, saya memutuskan untuk menyalakan lampu kamar dan lampu depan kamar, serta menyalakan game The Simpsons di laptop. Maksudnya, supaya ada suara-suara lain dan saya tidak perlu lagi mendengar suara-suara yang tidak saya inginkan.
Tapi tetap saja, saya terbangun lagi dan lagi. Baru ketika ada azan subuh berkumandang sekitar pukul empat pagi, saya mulai bisa tidur dengan nyenyak.
Karena kebetulan pada hari itu saya janji bertemu dengan Ibu Tutie di Pusat Penelitian Biologi LIPI di Cibinong pukul 11 siang, saya bisa tidur sampai agak siang untuk membayar waktu tidur malam saya yang terganggu, entah oleh makhluk apa.
ADVERTISEMENT
Kesialan sewaktu saya berangkat ke Depok tidak terulang lagi sewaktu saya ke Cibinong. Hanya saja sewaktu masuk ke dalam Gedung Bidang Botani dan Mikrobiologi, ada salah satu pegawai yang menatap saya heran dan tertawa kecil.
Sepertinya ia mengira saya pegawai LIPI yang ‘salah kostum’. Sebab pada hari itu semua pegawai memakai baju putih, sementara saya memakai hitam-hitam.
Menjumpai saya, Ibu Tutie menyambut dengan ramah. Ia dengan senang hati menerima sampel tumbuhan yang saya bawa yang ternyata sudah mulai rusak.
“Mestinya pakai koran saja, Mbak,” katanya.
Saya langsung malu hati karena memberikan sampel yang agak rusak seperti itu. Namun begitu, Ibu Tutie tetap bersemangat meneliti sampel yang saya bawa. Dengan hati-hati, beliau mengamati daun, bunga, serta rambut-rambut yang saya bawa.
Pohon Berambut yang Saya Bawa ke LIPI (Foto: Zahrina Yustisia/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pohon Berambut yang Saya Bawa ke LIPI (Foto: Zahrina Yustisia/kumparan)
“Saya juga baru lihat yang seperti ini. Kalau pohonnya saya pernah lihat, waktu itu saya di Serang, Banten. Saya ketemu yang seperti ini banyak. Tapi saya lupa namanya, apa, yah? Sebentar, Mbak. Enggak buru-buru, kan?” tanya Bu Tutie.
ADVERTISEMENT
Ia masuk kembali ke ruangannya untuk mengambil buku panduan nama-nama tanaman. Satu persatu tumbuhan dalam buku yang beliau rasa mirip dengan pohon berambut itu ia amati, tapi belum ada yang benar-benar tepat dengan ciri-ciri sampel yang saya bawa.
“Nanti yah, Mbak. Saya cari dulu. Nanti kalau ketemu langsung saya WA (WhatsApp). Ini juga saya baru lihat. Kalau di tanaman palem-paleman memang ada rambutnya, tapi rapat tidak tidak seperti ini. Kalau saya lihat dari gambarnya, jarang-jarang. Saya rasa ini jamur, tapi nanti saya tanya lagi.”
Singkat cerita, akhirnya saya kembali ke kantor sambil harap-harap cemas karena belum mendapatkan jawaban pohon apa itu dan rambut-rambut di pohon itu berfungsi apa. Dalam hati saya khawatir, jangan sampai dua hari perjuangan saya ini tidak membuahkan hasil apa pun.
ADVERTISEMENT
Untunglah, segera setelah saya kembali ke kantor, saya mendapatkan jawabannya. Ibu Tutie mengirimkan pesan kepada saya melalui WA.
Ternyata, pohon tersebut bernama Microcos tomentosa J.E. Smith dan rambut di pohon itu adalah rhizomorph, jalinan hifa padat dan berguna untuk mengatasi kondisi buruk. Sulur-sulur rambut itu tumbuh mungkin dikarenakan pohon itu memiliki penyakit.
​Tutie Djarwaningsih (Foto: Zahrina Yustisia Noorputeri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
​Tutie Djarwaningsih (Foto: Zahrina Yustisia Noorputeri/kumparan)
Apakah saya mendapatkan penjelasan ilmiah dari rambut di pohon tersebut? Ya tentu.
Namun meski sampai saat ini saya selalu merasa bahwa semua hal bisa diselesaikan secara ilmiah, saya ternyata tetap memiliki rasa takut pada hal-hal yang berada di luar nalar saya.
Kejadian yang menimpa saya sehingga saya merasa sulit bernapas dan terus terbangun di malam hari mungkin bisa saya logikakan bahwa saya mengalami sleep apnea.
ADVERTISEMENT
Tapi kenapa saya mengalami gangguan tidur, seperti mendengar bunyi-bunyi aneh? Ya mungkin karena di dalam diri saya memang masih ada rasa takut. Apalagi sejak pertama kali membaca berita terkait pohon berambut ini, saya sudah disuguhkan pada cerita-cerita gaib terkait pohon ini.
Jadi, apakah pada malam itu saya memang diganggu makhluk gaib? Dulu, mungkin saya akan dengan lantang mengatakan tidak.
Tapi kini, setelah mengalami hal aneh itu, saya akan berpikir dua kali sebelum mengatakan tidak. Sebab, sekarang saya telah menyadari bahwa usaha saya untuk tetap logis, ternyata tidak bisa menutup ketakutan saya pada cerita-cerita gaib itu.