Depresi yang Tak Diobati Akan Ubah Kondisi Otak

1 Maret 2018 16:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Depresi (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Depresi (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Masih banyak di antara kita yang menganggap depresi bukan sebagai hal yang berbahaya. Padahal menurut studi terbaru, penyakit itu dapat memberi dampak buruk bagi otak si penderita.
ADVERTISEMENT
Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal The Lancet Psychiatry, memberikan bukti atas perubahan di otak mereka yang mengalami depresi lebih dari 10 tahun. Studi ini dilakukan oleh tim peneliti yang sama, yang berhasil mengidentifikasi hubungan antara radang otak dengan depresi.
Dengan riset tambahan, temuan ini telah mulai mengubah pemahaman atas pengobatan depresi. Bukti baru ini telah menunjukkan kemungkinan bahwa depresi bukanlah suatu kelainan biologis dengan implikasi langsung.
Depresi menahun dapat membuat otak berubah dan membutuhkan jenis pengobatan atau terapi lain, yang berbeda dari yang ada sekarang.
Depresi (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Depresi (Foto: Thinkstock)
Eksperimen Studi Terbaru
Studi ini diikuti oleh 80 orang peserta eksperimen. 25 orang mengalami depresi selama lebih dari satu dekade tanpa pernah diobati, 25 orang mengalami depresi kurang dari 10 tahun, dan 30 orang yang belum didiagnosis.
ADVERTISEMENT
Seluruh peserta dievaluasi dengan menggunakan PET Scan (positron emission tomography) yang dapat mendata jenis protein spesifik, yang muncul sebagai respons radang otak terhadap penyakit atau cedera.
Di tubuh manusia, radang sebenarnya terjadi untuk melindungi kita dari penyakit serta membantu menyehatkan ketika cedera. Tetapi terlalu sering mengalami radang dapat menyebabkan terjadinya penyakit seperti penyakit jantung, Alzheimer dan Parkinson.
Ilustrasi Sel otak (Foto: Thinstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sel otak (Foto: Thinstock)
Jika depresi jangka panjang memang membuat radang yang lebih besar, para peneliti akan menemukan lebih banyak lagi protein di otak orang-orang yang menderita depresi dan tidak pernah dirawat.
Dan hal itulah yang tim peneliti temukan. Orang-orang yang menderita depresi dan tidak pernah dirawat memiliki tingkat protein yang tinggi di daerah prefrontal cortex, area tengah otak yang berfungsi sebagai tempat berpikir, menilai, mengkontrol emosi serta fungsi eksekutif lainnya.
ADVERTISEMENT
Dan seperti yang diketahui, depresi memang mengganggu fungsi eksekutif tersebut.
Jika nantinya temuan ini dapat diperkuat oleh riset lain dengan jumlah peserta eksperimen yang lebih banyak, hal ini bisa menjadi sebuah bukti penting bahwa depresi memiliki kesamaan dengan kelainan seperti Alzheimer.
"Radang besar di otak adalah respons yang biasa terjadi saat proses penyakit pada otak, seperti Alzheimer dan Parkinson," ujar Jeff Meyer, penulis senior studi dan juga peneliti dari Centre for Addiction and Mental Health (CAMH) di University of Toronto, dilansir Forbes.
Ilustrasi depresi. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi depresi. (Foto: Pixabay)
Lanjutan dari Studi Sebelumnya
Temuan ini mengacu pada sebuah studi lain yang dipublikasikan pada 2016. Studi tersebut menunjukkan bahwa pasien dengan depresi memiliki tingkat C-Reactive Protein (CRP), protein penanda terjadinya radang di tubuh, yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Meski studi ini hanyalah studi observasi untuk mencari suatu hubungan (korelasi) antara depresi dengan radang, tetapi hasilnya cukup signifikan. Ditemukan bahwa mereka yang mengalami depresi, memiliki tingkat CPR 30 persen lebih tinggi dari mereka yang tidak.
Apa yang ditemukan dari semua riset ini adalah indikasi bahwa kita harus mengubah pemahaman atas depresi serta dampaknya.
Bukti ini menegaskan bahwa depresi adalah suatu kelainan biologis yang terjadi di otak. Jika tidak diobati dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan pada otak yang mungkin sama dengan penyakit degenerasi otak lainnya.
Untuk menangani penyakit depresi, diperlukan pengembangan perawatan yang lebih efektif dari petugas medis, serta usaha dari semua pihak untuk menyingkirkan stigma terhadap para penderita depresi.
ADVERTISEMENT