Dokter: Tanaman Bajakah Belum Bisa Disebut Sebagai Obat Kanker

17 Agustus 2019 17:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tanaman bajakah yang diklaim sebagai obat kanker. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Tanaman bajakah yang diklaim sebagai obat kanker. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Indonesia heboh. Tanaman bajakah mendadak viral sebagai obat kanker. Bahkan, mulai muncul orang berjualan bajakah di berbagai marketplace dengan harga lumayan.
ADVERTISEMENT
Semua dimulai ketika hasil studi tiga pelajar SMAN 2 Palangkaraya, Yazid Rafly Akbar, Aysa Aurelya Maharani, dan Anggina Rafitri, meraih medali emas di ajang World Invention Creativity (WICO) di Korea Selatan pada Juli 2019. Penghargaan itu mereka dapatkan berkat studi atas ekstrak tanaman bajakah yang diklaim mampu membunuh sel kanker.
Prestasi mereka membanggakan Indonesia. Tapi, penyebutan studi mereka sebagai obat kanker di banyak media Indonesia terbilang salah kaprah. Sebab, ekstrak bajakah harus melewati sederet tahapan penelitian untuk membuktikan keampuhan dan keamanannya sebelum bisa disebut demikian.
Hal itu dibenarkan Dr. dr. Andhika Rachman, SpPD, KHOM, dokter spesialis penyakit dalam RSCM. Menurut dia, ada risiko munculnya efek samping berbahaya saat menggunakan tanaman yang belum diteliti dengan baik sebagai obat suatu penyakit pada manusia.
ADVERTISEMENT
"Kita tidak semudah itu untuk bisa mengklaim sesuatu itu obat kanker atau tidak. Karena, untuk sampai pada kesimpulan bahwa ini obat kanker atau tidak dia harus melalui pemeriksaan dan penelitian," ujar Andhika saat dihubungi kumparanSAINS, Jumat (16/8).
Andhika mencontohkan obat kemoterapi bernama Paclitaxel. Ia mengatakan, bahwa obat itu menggunakan kulit pohon cemara dan perlu waktu sekitar 10 tahun sejak pertama ditemukan khasiatnya hingga dipakai sebagai obat kemoterapi.
“Jarak itu digunakan untuk penelitian mulai dari cawan petri di laboratorium, efeknya pada tikus, kemudian baru diekstrapolasi ke manusia,” tutur Andhika.
Ilustrasi ilmuwan meneliti di laboratorium. Foto: Pixabay
Berbagai tahapan itu harus dilalui obat, jelas Andhika. Sebab, sering kali ada obat yang tidak lulus uji pada hewan. Menurutnya, ini karena ada enzim tertentu yang bisa menghalangi kerja obat itu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, setiap ras manusia bisa memiliki reaksi berbeda pada suatu obat. Andhika mencontohkan, orang Asia yang memiliki hati sensitif dan tubuh yang lebih kecil dibanding orang kulit putih mungkin akan lebih cepat merasakan efek samping dari suatu obat.
"Jadi, jangan buru-buru mengambil kesimpulan," kata Andhika. "Jalannya masih panjang, sebelum tanaman ini bisa disebut sebagai obat kanker."