Donald Trump Disebut Gunakan 62 Neurosaintis untuk Kampanye Pemilu

23 Desember 2018 16:31 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Donald Trump kampanye di AS (Foto:  REUTERS/Carlos Barria  )
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Donald Trump kampanye di AS (Foto: REUTERS/Carlos Barria )
ADVERTISEMENT
Pilihan politik seseorang ternyata lebih dalam akarnya dari sekadar siapa yang ia pilih saat Pemilu nanti. Sebab, pilihan politik seseorang ternyata bisa berawal dari sirkuit-sirkuit yang ada di dalam otaknya. Perbedaan sirkuit yang dominan, dapat menentukan apakah seseorang akan menjadi konservatif atau liberal.
ADVERTISEMENT
Ahli bedah saraf Rumah Sakit Mayapada Tangerang, dr. Roslan Yusni Hasan menjelaskan, orang yang memiliki anterior cingulate cortex lebih besar, cenderung akan lebih liberal.
Sebaliknya, orang yang memiliki talamus, hipokampus, dan amigdala lebih besar, maka ia akan cenderung menjadi seseorang yang lebih konservatif dan peka terhadap rasa takut.
Di antara kedua kubu yang berseberangan tersebut, ada satu kubu lagi yang berada di tengah-tengah, yaitu orang yang memiliki orbital frontal cortex (OFC) yang lebih dominan.
"Orbital frontal cortex ini yang bisa dimanipulasi. Itu yang dilakukan Donald Trump," kata dokter yang akrab disapa Ryu ini saat memberikan penjelasan di acara FGD Media Neuroscience, Politik, dan Peran Media dalam Mengedukasi Kesehatan Emosional, Sosial, dan Ekologikal Masyarakat Indonesia di Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (21/12).
ADVERTISEMENT
"Orang yang di tengah itu bisa ke kiri atau ke kanan. Tapi kalau yang sudah (ke kanan atau ke kiri) itu sudah susah."
dr. Roslan Yusni Hasan. (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
dr. Roslan Yusni Hasan. (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
Lebih lanjut, Ryu mengatakan bahwa ide Trump untuk menggunakan neurosains dalam politik muncul berkat sebuah gambar otak dari The New York Times tahun 2007.
Artikel berjudul 'This Is Your Brain on Politics' tersebut terbit pada 11 November 2007 dan menampilkan bagaimana perbedaan penampakan otak manusia tergantung pada pilihan politiknya.
"Kemudian Donald Trump yakin, manusia dapat dipengaruhi kalau kita memegang yang namanya neuroscience."
Tidak tanggung-tanggung, menurut Ryu, sebanyak 62 neurosaintis kemudian melakukan penelitian untuk membantu kemenangan Trump melawan Hillary Clinton. Trump meminta para neurosaintis untuk mengambil sampel di 42 negara bagian di AS sehingga caranya berbicara di setiap wilayah pun berbeda.
ADVERTISEMENT
"Kenapa? Yang dia sampaikan di California berbeda dengan yang dia sampaikan di Alabama. Narasinya itu berbeda. Kenapa? Lah risetnya mengatakan itu berbeda."
Saat Presiden Donald Trump berpidato di kamp Angkatan Darat Amerika, New York, Amerika Serikat (14/08/2018). (Foto: REUTERS/Carlos Barria)
zoom-in-whitePerbesar
Saat Presiden Donald Trump berpidato di kamp Angkatan Darat Amerika, New York, Amerika Serikat (14/08/2018). (Foto: REUTERS/Carlos Barria)
Efek dari pidato kampanye Trump pun hanya jangka pendek. Maka tidak aneh, setelah Pemilu selesai dan Trump menjadi presiden, banyak orang Amerika yang kemudian malah kebingungan, kenapa seorang Trump yang banyak dibenci dan di-bully saat kampanye justru keluar jadi pemenang.
"Narasi Trump dalam waktu tiga bulan itu betul-betul menghipnotis orang Amerika."
Narasi yang berulang-ulang pun akan lebih cepat masuk ke otak, tepatnya bagian otak yang lebih mengutamakan emosi. Dan lebih lanjut, Ryu juga mengatakan, bahwa saat mengambil keputusan, manusia cenderung lebih mengutamakan otak emosi daripada rasional.
"Keputusan otak 98 persen lebih itu keputusan emosional bukan rasional," ungkap Ryu.
dr. Roslan Yusni Hasan. (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
dr. Roslan Yusni Hasan. (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
Salah satu cara yang dimanfaatkan oleh Trump untuk berkampanye adalah dengan mengeluarkan pidato yang berbau 'ancaman'. Hal ini pula yang belakangan juga dilakukan Prabowo dengan mengatakan Indonesia akan punah jika ia kalah dalam pemilu 2019 mendatang. Ryu menilai, pada dasarnya manusia memang lebih akan takut bila diancam.
ADVERTISEMENT
"Manusia itu lebih takut ancaman daripada memilih hope," tegas Ryu.
"Bukan 'saya (Trump) lebih baik dari Hillary' atau 'Hillary lebih jelek dari saya' (yang diucapkan Trump), tapi 'kalian akan mengalami kengerian kalau kalian tidak milih saya', itu yang dilakukan," beber Ryu.