Gerakan Anti Vaksin Bikin Eropa Kembali Diserang Campak

22 Oktober 2018 20:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak kena campak. (Foto: Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak kena campak. (Foto: Flickr)
ADVERTISEMENT
Pada 2018, tercatat sudah ada lebih dari 41 ribu kasus campak di Eropa. NBC News bahkan melaporkan korban tewas akibat campak di Eropa sudah mencapai 40 orang. Menurut para ahli, tren ini bisa menyebar jika kelompok anti vaksin terus berkembang dan anggotanya semakin banyak.
ADVERTISEMENT
Dijelaskan bahwa sejumlah negara di Eropa memiliki banyak penduduk yang memegang sikap anti vaksin. Mereka biasanya adalah orang dewasa yang memilih untuk tidak memberikan vaksin pada anaknya.
Kondisi ini juga ditemukan di Indonesia. Mereka menolak vaksinasi dengan berbagai alasan, mulai dari alasan religius sampai konspiratif, yang ironisnya tidak didukung dengan data yang kuat.
Anca Paduraru, staff Komisi Eropa di Brussels, Belgia, berkata tren meningkatnya anggota kelompok anti vaksin merupakan faktor utama penyebab campak muncul kembali di Eropa. Itu mengapa tren ini, menurut Paduraru, harus segera dihentikan.
"Sangat tidak bisa diterima bahwa kita di abad ke-21 masih terkena penyakit yang seharusnya telah dan bisa diberantas," ujar Paduraru dikutip dari Newsweek.
Sementara itu, Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) mengatakan, untuk mencegah terjadinya wabah suatu penyakit menular, minimal 95 persen populasi harus mendapatkan dua dosis vaksin. Namun di beberapa negara Eropa, jumlah populasi yang divaksinasi berada di bawah 70 persen, menurut laporan Newsweek.
ADVERTISEMENT
Di AS sendiri telah terjadi peningkatan kasus campak pada 2018. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (Center for Disease Control/CDC) melaporkan, ada 137 kasus campak di AS per 8 September 2018. Pada 2017, tercatat hanya ada 118 kasus campak di AS.
Ilustrasi rubella pada wanita. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rubella pada wanita. (Foto: Thinkstock)
Selain itu, CDC juga menjelaskan bahwa memang ada tahun-tahun di mana terjadi peningkatan angka kasus campak karena suatu kejadian tak terduga. Misal pada 2015 lalu, sempat terjadi wabah campak yang penyebarannya dihubungkan dengan taman hiburan.
"Kemunduran ini menunjukkan bahwa setiap orang yang tidak imun tetap rentan terkena penyakit, tak peduli di mana ia tinggal, dan setiap negara harus terus mendorong untuk meningkatkan cangkupan serta menutup celah rentan itu," kata dokter WHO Nedret Emiroglu kepada NBC News.
ADVERTISEMENT
Di AS sendiri dilaporkan bahwa jumlah anak yang tidak diberikan vaksi meningkat setiap tahunnya. Newsweek melaporkan hal ini terjadi karena banyak orang tua di AS termakan rumor tidak jelas, seperti misalnya vaksin bisa menyebabkan autisme.
CDC sendiri mengatakan telah banyak riset yang dilakukan untuk mempelajari hubungan antara vaksinasi dengan autisme. Namun tidak ada penelitian yang menunjukkan korelasi atau pun hubungan sebab-akibat di antara keduanya.
Petugas menunjukan Vaksin Campak dan Rubella (MR) sebelum melakukan imuniasasi kepada anak. (Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa)
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menunjukan Vaksin Campak dan Rubella (MR) sebelum melakukan imuniasasi kepada anak. (Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa)
Pada 2001 hanya 0,3 persen anak-anak yang tidak diberikan vaksin terhadap 14 penyakit menular. Namun pada 2015, menurut laporan USA Today, jumlahnya mencapai 1,3 persen.
CDC menyarankan kepada para orang tua yang tidak memberikan vaksin kepada anaknya untuk bersiap menghadapi wabah. Seperti misalnya harus melarang anak ke sekolah dalam jangka waktu yang cukup lama ketika terjadi wabah atau harus mempersiapkan daftar khusus vaksin yang tidak didapatkan si anak saat kejadian medis darurat.
ADVERTISEMENT
Menurut CDC, hal ini tak hanya untuk menjaga si anak yang tidak divaksin tetap aman, tapi juga untuk melindungi orang lain dari paparan penyakit menular yang mungkin menyerang dari si anak yang beljum diberi vaksin ke orang lain.