Hutan Larangan dan Perannya dalam Sediakan Air Bersih bagi Masyarakat

25 Mei 2018 20:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hutan Aokigahara, hutan bunuh diri di Jepang (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Hutan Aokigahara, hutan bunuh diri di Jepang (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Nama hutan adat atau hutan larangan biasanya diberikan pada suatu kawasan hutan yang disakralkan oleh penduduk daerah sekitar hutan tersebut.
ADVERTISEMENT
Meski namanya terkesan menyeramkan, sebenarnya hutan larangan atau hutan adat merupakan salah satu cara masyarakat untuk melindungi lingkungan sekitarnya. Salah satu yang mereka lindungi adalah mata air.
Menurut penjelasan Herry Yogaswara, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, hutan larangan atau hutan adat bisa dibilang sebagai cara masyarakat, secara tidak langsung, untuk menjaga lingkungan dan sumber air bersih mereka.
"Ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai timbal jasa lingkungan," ujar Herry di acar diskusi Pola Hidup Bersih di Gedung LIPI, Jakarta, Jumat (25/5).
"Di semua hutan adat ini kalau kita pelajari secara ilmiah, rata-rata memiliki sumber air. Jadi artinya hutan-hutan ini sebetulnya juga punya fungsi dalam hal penyediaan air," tambahnya.
Peneliti LIPI Herry Yogaswara. (Foto: Sayid Mulki Razqa/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti LIPI Herry Yogaswara. (Foto: Sayid Mulki Razqa/kumparan)
Herry menambahkan, pemerintah juga telah memanfaatkan adanya hutan adat untuk perlindungan lingkungan dengan mengeluarkan SK resmi status hutan tersebut sebagai hutan adat.
ADVERTISEMENT
Menurut data yang tim kumparan dapatkan dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada 23 hutan adat yang telah secara resmi ditetapkan sebagai hutan adat oleh pemerintah. Ke-23 hutan adat itu adalah Hutan Tombak Haminjon, Hutan Suku Anak Dalam, Hutan Bukit Sembahyang dan Bukit Padun Gelanggang, Hutan Bukit Tinggai, Hutan Tigo Luhah Permenti, Hutan Tigo Luhah Kemantan, Hutan Marga Sarampas, Hutan Ammatoa Kajang, Hutan Wana Posangke, dan Hutan Kasepuhan Karang.
Ilustrasi hutan adat. (Foto: Schwoaze via pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hutan adat. (Foto: Schwoaze via pixabay)
Lalu ada juga Hutan Tawang Panyai, Hutan Marena, Hutan Hemaq Beniung, Hutan Bukit Bujang, Hutan Bukit Bujang, Hutan Belukar Panjang, Hutan Batu Kerbau, Hutan Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo, Hutan Bukit Pintu Koto, Hutan Baru Pelepat, Hutan Rimbo Bulim, Hutan Imbo Larangan Pematang dan Imbo Larangan Inum Sakit, Hutan Pikul, dan Hutan Leuweng Gede.
ADVERTISEMENT
Selain 23 hutan tersebut, ada pula lima hutan lainnya yang sedang dalam proses verifikasi untuk mendapatkan status resmi dari pemerintah. Lima hutan itu adalah Hutan Nenek Limo, Hutan Ulu Air, Hutan Marena, Hutan Orong, dan Hutan Baringin.
Dijelaskan, luas total dari ke-28 hutan adat ini adalah sekitar 107.203 hektare.
Sebagian besar dari hutan adat yang telah mendapat status resmi oleh pemerintah kebanyakan berada di Jambi, sementara sisanya tersebar dari daerah-daerah lain.
"Ini mirip dengan konsep hutan desa, yang di mana desa diberikan mandat untuk mengelola suatu kawasan hutan. Bedanya kalau hutan desa memiliki masa tenure (kepemilikan) 35 tahun, hutan adat akan terus selamanya memiliki status itu," papar Herry.