Jarang Ada Perempuan yang Jadi Pembunuh Massal, Mengapa?

4 April 2018 17:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nasim Najafi Aghdam, penembak di kantor YouTube. (Foto: Facebook)
zoom-in-whitePerbesar
Nasim Najafi Aghdam, penembak di kantor YouTube. (Foto: Facebook)
ADVERTISEMENT
Penembakan massal kembali terjadi di Amerika Serikat. Kali ini yang menjadi sasaran penembakan adalah kantor Youtube di San Bruno, California. Penembakan massal di kantor situs berbagi video itu terjadi pada Selasa (3/4) waktu setempat.
ADVERTISEMENT
Yang mengejutkan, pelaku penembakan massal ini ternyata adalah seorang perempuan, sesuatu yang sangat jarang sekali terjadi.
Menurut James Garbarino, psikolog dari Loyola University di Chicago, pembunuhan massal yang dilakukan perempuan sangatlah jarang terjadi sehingga tidak banyak penelitian mengenai hal ini.
Di Amerika Serikat sendiri, hanya 10 hingga 13 persen kasus pembunuhan yang dilakukan oleh perempuan, menurut Adam Lankford, dosen hukum kriminal yang juga penulis buku ‘The Myth of Martyrdom: What Really Drives Suicide Bombers, Rampage Shooters, and Other Self-Destructive Killers’, sebagaimana dilansir Live Science.
Penembakan di kantor Youtube. (Foto: REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Penembakan di kantor Youtube. (Foto: REUTERS)
Selain itu, senjata api biasanya bukan pilihan utama perempuan yang melakukan pembunuhan. Sebesar 40 persen pembunuhan oleh perempuan dilakukan dengan menggunakan racun, sementara 20 persen lainnya berhubungan dengan api, dan hanya delapan persen perempuan yang melakukan pembunuhan dengan senjata api.
ADVERTISEMENT
Meski jarang, penembakan massal yang dilakukan perempuan bukanlah peristiwa yang baru pertama kali terjadi. Pada 2 Desember 2015, seorang perempuan melakukan penembakan massal di San Bernardino, California, AS. Dalam kejadian itu, sepasang suami istri melakukan penembakan pada sebuah pesta hingga menewaskan 14 orang.
Salah satu cara untuk menjelaskan mengapa perempuan jarang menjadi pelaku pembunuhan massal adalah dengan melihat sisi evolusi manusia.
Selama ratusan ribu tahun, laki-laki memang lebih banyak melakukan tindakan agresif daripada perempuan. Hal ini juga bisa diamati pada kerabat terdekat manusia, simpanse. Bagi manusia laki-laki maupun simpanse jantan, kekerasan merupakan cara untuk mendapatkan status dan memberikan mereka kesempatan lebih besar untuk mendapatkan pasangan kawin.
Penembakan di kantor Youtube. (Foto: Josh Edelson/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Penembakan di kantor Youtube. (Foto: Josh Edelson/AFP)
Selain itu, menurut sosiolog Katherine Newman dari University of Massachusetts, akibat pengaruh budaya, laki-laki seringkali menyamakan kekerasan dengan maskulinitas. Mereka ingin diterima dalam kelompok sosial. Apabila tidak diterima, mereka menggunakan kekerasan untuk menutupi rasa kecewa dan terhina.
ADVERTISEMENT
Sementara perempuan menanggapi hal seperti ini dengan cara yang berbeda, kata Newman. Daripada menggunakan kekerasan, perempuan yang tidak diterima dalam kelompok sosial menanggapi hal ini dengan menyakiti diri sendiri atau dengan menggunakan gosip.
Tak cuma karena ingin mendapat status, pasangan, dan kelompok, laki-laki juga lebih rentan untuk melakukan kejahatan karena adanya variasi gen yang disebut MAOA, juga bila digabungkan dengan pemicu lain seperti obat-obatan dan sejarah kekerasan, maka ini akan menaikkan kemungkinan mereka untuk menjadi pelaku kejahatan.
Faktor lain yang mungkin mendorong pria untuk lebih cenderung melakukan kekerasan adalah frustasi seksual, terutama karena adanya peraturan agama. Seperti yang terjadi pada teroris kasus 11 September 2001, Mohamed Atta. Ia digambarkan sebagai orang yang pemalu terhadap lawan jenis.
Ilustrasi terorisme. (Foto: ThinkStock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi terorisme. (Foto: ThinkStock)
Selain itu teroris Umar Farouk Abdujlmutallab juga mengatakan bahwa keinginan seksual memang harus dipendam agar anak muda lebih semangat untuk “berjihad”.
ADVERTISEMENT
Perasaan frustasi seksual juga bisa terlihat dari tulisan para laki-laki pelaku penembakan massal. Seringkali pelaku menuliskan kebencian mereka kepada wanita dan laki-laki yang mudah mendapatkan pasangan.
Apakah perempuan yang menjadi pelaku penembakan massal di kantor pusat Youtube telah merencanakan aksinya masih tidak diketahui. Namun menurut Mary Ellen O’Toole, pensiunan FBI, tidak mungkin aksi penembakan massal terjadi begitu saja.
Pasangan pelaku penembakan di San Bernardino misalnya, mereka sudah merencanakan aksi tersebut meskipun pada hari-hari sebelum kejadian mereka terlihat seperti orang biasa. Menurut, O’Toole, banyak orang bisa berpura-pura merasa bahagia, normal, dan biasa-biasa saja sebelum melakukan kejahatan besar.
“(Pelaku pembunuhan massal) ini adalah perempuan berdarah dingin, dan saya saya tidak bisa mengatakan berapa banyak kasus orang tua yang tega membunuh anak sendiri yang telah saya kerjakan di FBI,” kata O’Toole pada tahun 2015 saat mengomentari pembunuhan massal di San Bernardino lalu.
ADVERTISEMENT