Kisah Kades di Kalteng yang Ajak Warga Buka Lahan Tanpa Bakar Hutan
ADVERTISEMENT
Aktivitas perkebunan atau pertanian yang dilakukan dengan land clearing atau pembukaan lahan melalui pembakaran hutan bisa berdampak sangat fatal. Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla ) akibat pembukaan lahan ini dapat berdampak buruk pada berbagai sendi kehidupan, mulai dari segi sosial, ekonomi, hingga ekologi.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada kekacauan yang terjadi akibat karhutla di sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan, apakah masih mungkin bagi korporasi atau individu untuk melakukan praktik pembukaan lahan tanpa merusak alam?
Hariwung, Kepala Desa Sebangau Mulya yang berlokasi di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, menjawab kemungkinan tersebut. Perlu diketahui, Desa Sebangau Mulya sendiri terletak berdekatan dengan Taman Nasional Sebangau yang lahannya turut menjadi amukan si jago merah tahun ini.
Melalui pemberdayaan masyarakat di desanya, Hariwung mengaku tak pernah patah arang untuk mengupayakan pembukaan lahan yang ramah lingkungan tanpa harus membakar lahan gambut. Hal ini dilakukan untuk mendorong perekonomian masyarakat sekaligus mencegah kerusakan alam akibat karhutla. Upaya tersebut telah ia lakukan semenjak tiga tahun lalu.
ADVERTISEMENT
“Saya dan masyarakat membuka lahan tanpa bakar dengan memanfaatkan dana desa,” kisah Hariwung melalui telewicara dengan rekan media di acara WWF Indonesia “Indonesia Darurat Karhutla dan Upaya penyelamatan Hutan yang Tersisa” di Graha Simatupang, Jakarta Selatan, Selasa (17/9).
Menurut Hariwung, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk menghapuskan praktik pembukaan lahan secara ilegal. “Pada 2015, terjadi kebakaran luar biasa. Pascainsiden itu, saya mulai melakukan pemberdayaan masyarakat agar kegiatan ekonomi yang penekanannya di sisi pembakaran hutan tidak ada lagi,” ujar Hariwung.
Hariwung pun mencari cara agar dana desa yang mencapai Rp 300 juta bisa tersalurkan dengan efisien. Ia menekankan, pengelolaan dana bernilai ratusan juta rupiah itu bukan digunakan untuk penanggulangan karhutla, melainkan untuk pencegahan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, dibuatlah tumpang sari di lahan gambut. “Karena lahan gambut juga identik dengan ikan-ikan lokal, saya buatkan juga sejenis kolam ikan yang sifatnya alami tanpa menggunakan alat,” beber Hariwung yang ingin lebih memberdayakan masyarakat ekonomi lemah di setiap upayanya tersebut.
Dari sistem tanam tumpang sari, Hariwung dan warganya bisa menanam padi dengan hasil panen yang cukup menjanjikan. “Setidaknya ada 4,5 ton beras yang kami hasilkan tanpa harus merusak lahan,” katanya.
Upaya pemberdayaan masyarakat terkait pencegahan dan penanggulangan Karhutla sebenarnya juga telah diinisiasi oleh World Wide Fund for Nature (WWF), organisasi nirlaba yang bergerak untuk menangani masalah lingkungan. WWF bahkan menyosialisasikan hal ini semenjak 2016 hingga 2018 silam di sejumlah desa sekitar Hutan Lindung Gambut Londerang Provinsi Jambi.
ADVERTISEMENT
“Kami sejak tahun 2016 hingga 2018 waktu itu melakukan kegiatan di lima desa untuk pelatihan Kelompok Peduli Api. Kami melatih desa-desa sekitar Londerang untuk melakukan upaya pemadaman kalau terjadi kebakaran,” ujar Tri Agung Rooswiadji, Team Leader RIMBA Sumatera dan Hutan Lindung Gambut Londerang.
Menurut Tri, saat itu pihaknya juga dibantu oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah setempat, serta Dinas Kehutanan. Manfaat pelatihan tersebut, imbuh Tri, saat ini betul-betul dirasakan masyarakat ketika terjadi karhutla hebat yang juga melanda wilayah Londerang.
“Seperti kita tahu, kondisi kebakaran di Londerang sangat massif. Peralatan seperti pompa air, terus juga alat-alat itu sudah cukup sebenarnya untuk menangani tingkat kebakaran. Namun upaya ini tetap dilakukan terutama untuk menjaga desa-desa mereka,” kata Tri.
ADVERTISEMENT