Kronologi Kasus Bedak Johnson and Johnson yang Dinilai Sebabkan Kanker

19 Juli 2018 7:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bedak Johnson and Johnson. (Foto: Lucas Jackson/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Bedak Johnson and Johnson. (Foto: Lucas Jackson/Reuters)
ADVERTISEMENT
Kekalahan perusahaan produk kesehatan dan kosmetik Johnson and Johnson (J&J) dalam pengadilan di Missouri, Amerika Serikat, pada Juli 2018 ini merupakan kekalahan terbesar yang pernah dialami oleh perusahaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Akibat kekalahan ini, J&J harus diharuskan membayar sejumlah uang ganti rugi kepada 22 perempuan di AS yang mengklaim bedak buatan perusahaan itu telah menyebabkan kanker ovarium pada diri mereka. Total uang yang harus dibayarkan adalah mencapai Rp 67,6 triliun.
Uniknya, ini bukanlah kali pertama J&J menghadapi tuntutan hukum karena bedaknya dan bukan pertama kali juga perusahaan asal Amerika Serikat ini kalah di pengadilan serta harus membayar ganti rugi kepada penuntutnya.
Berikut ini ringkasan kronologi mengenai bedak talk J&J dan kasus hukumnya.
1893
Dr. Frederick Kilmer menemukan Johnson’s Baby Powder untuk pertama kalinya. Baby powder ini diciptakan untuk mengurangi luka lecet pada bayi saat memakai popok. Johnson’s Baby Powder pun lepas ke pasaran pada 1894.
ADVERTISEMENT
1971
Studi yang dilakukan oleh W.J. Henderson dari Tenovus Institute for Cancer Research, Wales, menjadi studi pertama yang menunjukkan adanya hubungan antara kanker ovarium dengan talk. Dari 13 subjek penelitian yang semuanya memiliki kanker ovarium ataupun kanker serviks, pada 10 orang di antaranya ditemukan partikel talk pada sampel jaringan mereka.
Namun hasil studi tersebut tidak menunjukkan mengapa talk menyebabkan kanker. Selain itu, ditemukan juga kandungan asbestos pada talk tersebut.
Bedak bayi (Foto: Dok. Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Bedak bayi (Foto: Dok. Thinkstock)
1976
Sejak 1976 kesadaran akan bahaya asbestos yang terkandung pada kosmetik semakin besar. Karena itu, Food and Drug Administration (FDA) di AS mengeluarkan peraturan agar talk yang digunakan untuk kosmetik harus terbukti bebas dari asbestos.
2009-2010
FDA melakukan survei terhadap berbagai jenis merek kosmetik, termasuk J&J, Maybelline, Revlon, Urban Decay, dan banyak lagi. Hasilnya, tidak ada satu pun dari kosmetik tersebut yang mengandung asbestos.
ADVERTISEMENT
2013
Untuk pertama kalinya, J&J menghadapi tuntutan dengan tuduhan bedaknya menyebabkan kanker ovarium. Deane Berg didiagnosis menderita kanker ovarium pada 2006.
Dilansir New York Post, Berg mengaku bukan perokok dan tidak kelebihan berat badan. Satu-satunya kemungkinan penyebab kanker, menurutnya, adalah kebiasaannya menggunakan talk di selangkangannya sejak usia 18 tahun. Meskipun hakim dalam persidangan setuju bahwa bedak J&J menambah risiko kanker pada Berg, Berg tidak mendapat uang ganti rugi.
Bedak Johnson and Johnson. (Foto: Shannon Stapleton/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Bedak Johnson and Johnson. (Foto: Shannon Stapleton/Reuters)
Februari 2016 – Oktober 2017
Keluarga dari Jacqueline Fox, warga Alabama, AS, menuntut J&J dengan tuduhan bedaknya menyebabkan kanker ovarium setelah pemakaian selama 35 tahun. Fox meninggal dunia pada 2015, empat bulan sebelum persidangan. Pihak Fox menang dan J&J diharuskan membayar 72 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,04 miliar.
ADVERTISEMENT
Namun pada Oktober 2017, keputusan banding dari pihak J&J keluar dan kali ini, pihak J&J yang menang. Tak hanya mendapat tuntutan hukum dari keluarga Fox, menurut trulaw.com, saat ini J&J menghadapi 9.000 tuntutan karena bedak talknya.
6 Juni 2018
J&J menghadapi tuntutan hukum terbesar. Sebanyak 22 orang perempuan menuntut ganti rugi pada J&J karena dianggap telah menyebabkan kanker ovarium setelah pemakaian selama puluhan tahun. Pengacara J&J, Peter Bicks, membantah tuduhan adanya asbestos di produk mereka dan telah melakukan pengujian di laboratorium mereka.
12 Juli 2018
Pengadilan menyatakan J&J bertanggung jawab pada kasus kanker 22 perempuan tersebut dan diharuskan untuk membayar uang sebesar Rp 7,9 miliar ke masing-masing orang, dan juga ganti rugi sebesar Rp 58,9 triliun.
ADVERTISEMENT