Letusan Gunung Tambora 200 Tahun Lalu Sebabkan Kekalahan Napoleon

28 Agustus 2018 16:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Napoleon Bonaparte (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Napoleon Bonaparte (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Letusan Gunung Tambora pada 1815 merupakan salah satu letusan gunung api terdahsyat yang pernah dicatat umat manusia. Menurut hasil riset terbaru, letusan tersebut mempengaruhi banyak sejarah umat manusia dan dianggap sebagai penyebab kekalahan Napoleon Bonaparte.
ADVERTISEMENT
Riset yang telah dipublikasikan di jurnal Geology itu dilakukan oleh Matthew Genge, peneliti dari Imperial College London. Ia menemukan bahwa letusan Tambora membuat terjadinya hujan deras di seluruh Eropa.
Cuaca buruk tersebut dianggap berkontribusi pada kekalahan Napoleon Bonaparte di pertempuran terakhirnya, yakni Pertempuran Waterloo.
"Di novel Les Miserables, Victor Hugo menyinggung Pertempuran Waterloo dengan 'langit berawan di luar musim yang tampaknya membuat keruntuhan dunia'. Dan sekarang kita selangkah lebih dekat untuk memahami dampak letusan Tambora pada suatu pertempuran yang terjadi di ujung dunia lain," ujar Genge dikutip dari laman Imperial College London.
Pertempuran Waterloo terjadi pada 18 Juni 1815 tak jauh dari Brussels. Pada saat itu tentara Prancis yang dipimpin Napoleon kewalahan menghadapi kondisi hujan lebat dan lumpur tebal. Para sejarawan meyakini, kondisi cuaca yang tidak bersahabat itu memainkan peran penting dalam kekalahan pasukan Napoleon. Dan cuaca ekstrem ini diyakini akibat meletusnya Gunung Tambora.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, dua bulan sebelum terjadinya Pertempuran Waterloo, sejarah mencatat bahwa Gunung Tambora telah meletus sehingga menewaskan 100 ribu orang dan membuat Bumi mengalami "tahun tanpa musim panas" pada 1816.
Selain itu, akibat letusan tersebut, partikel kecil yang berasal dari abu vulkanik seperti sulfur dioksida, ternyata menahan lewatnya cahaya Matahari. Hal tersebut menyebabkan terjadinya efek pendinginan di belahan Bumi sebelah utara.
Banyak tanaman pertanian yang kemudian mati. Dan hal ini kemudian menyebabkan banyak orang meninggal karena kelaparan dan kedinginan.
Genge berpendapat bahwa sulfur dioksida tersebut belum mencapai Eropa saat Pertempuran Waterloo terjadi. Namun efek erupsi tersebut tetap bisa terasa hingga ke sana.
Korslet di Ionosfer
Dalam riset ini Genge menemukan bahwa abu vulkanik yang mengandung tegangan listrik dapat mencapai dan mengganggu aliran listrik di ionosfer, bagian atmosfer tempat awan terbentuk, di ketinggian antara sekitar 50-75 kilometer.
ADVERTISEMENT
Genge berpendapat, ketika Tambora meletus, abu vulkanik menyebabkan terjadinya "korslet" yang membuat terbentuknya awan hujan sehingga meningkatkan curah hujan.
"Sebelumnya, para ahli geologi menduga bahwa abu vulkanik terjebak di bagian bawah atmosfer, hal itu karena asap letusan naik ke atas dengan ringan," kata Genge sebagaimana dilansir Science Alert.
"Sementara riset saya menunjukkan bahwa abu vulkanik bisa ditembakkan ke bagian atas atmosfer dengan bantuan energi listrik," tambah dia.
Kaldera Gunung Tambora (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Kaldera Gunung Tambora (Foto: Wikimedia Commons)
Dalam riset ini Genge mengatakan sulit menemukan data cuaca ketika Gunung Tambora meletus. Namun Genge bisa melakukan beberapa simulasi komputer untuk menunjukkan bahwa pengangkatan secara elektrostatis dapat menerbangkan partikel vulkanik di bawah ukuran 500 nanometer setinggi 100 kilometer dan menyebabkan perubahan di atmosfer.
ADVERTISEMENT
"Asap letusan gunung berapi dan debunya dapat memiliki tegangan listrik negatif. Jadi asap letusan gunung api bisa mendorong debu yang keluar hingga ke atmosfer," jelas Genge.
"Efek yang sama bisa kita lihat pada dua magnet yang saling mendorong karena dua kutub yang sama didekatkan," tambah dia
Meski data letusan Tambora tidak banyak ditemukan, Genge bisa melakukan referensi silang dengan letusan gunung api lain yang serupa. Ia mempelajari efek erupsi Gunung Krakatau yang terjadi pada Agustus 1883.
Lava pijar dari Gunung Anak Krakatau di perairan Selat Sunda, Kalianda, Lampung Selatan, Kamis (19/7). (Foto: ANTARA FOTO/El Shinta)
zoom-in-whitePerbesar
Lava pijar dari Gunung Anak Krakatau di perairan Selat Sunda, Kalianda, Lampung Selatan, Kamis (19/7). (Foto: ANTARA FOTO/El Shinta)
Kala erupsi Gunung Krakatau ditemukan penurunan curah hujan, yang mengindikasikan adanya penekanan pembentukan formasi awan hujan. Setelah erupsi ditemukan adanya peningkatan awan noktilusen, yang biasanya terbentuk di ionosfer.
Selain itu, Genge menemukan adanya gangguan di ionosfer ketika Gunung Pinatubo di Filipina meletus di tahun 1991.
ADVERTISEMENT
Dua erupsi ini terbilang besar. Berdasarkan indeks letusan gunung berapi (volcanic explosivity index), letusan Krakatau dan Pinatubo berada pada nilai 6. Sementara Tambora berada pada nilai 7, dan merupakan erupsi dengan nilai 7 yang paling baru terjadi.