LIPI: Rumah di Wilayah Likuefaksi Palu Bergeser hingga 6 Kilometer

16 Januari 2019 8:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga melintasi jalanan yang rusak akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR), di kawasan Kampung Petobo, Palu, Sulawesi Tengah. (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
zoom-in-whitePerbesar
Warga melintasi jalanan yang rusak akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR), di kawasan Kampung Petobo, Palu, Sulawesi Tengah. (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
ADVERTISEMENT
Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK-LIPI) telah melakukan kajian cepat terkait penanganan pascabencana yang terjadi di Palu, serta di Donggala dan Sigi, Sulawesi Tengah pada 28 September lalu.
ADVERTISEMENT
Beberapa masalah yang disorot dalam kajian ini adalah mengenai dampak bencana terhadap tempat tinggal dan mata pencaharian warga setempat.
“Isu hilangnya kepemilikan lahan bisa menjadi besar dan menjadi konflik nomor satu di berbagai (wilayah) bencana. Terkait kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, marginalisasi, kemudian masalah akses terhadap properti,” kata Gusti Ayu Ketut Surtiari, peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, saat memaparkan hasil kajian cepat ini di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Gusti Ayu Ketut Surtiari, peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gusti Ayu Ketut Surtiari, peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. (Foto: Zahrina Noorputeri/kumparan)
Salah satu temuan yang didapat dari hasil kajian ini adalah besarnya dampak bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di wilayah Sulawesi Tengah tersebut terhadap lahan dan tempat tinggal warga.
Dampak likuefaksi pada tempat tinggal warga misalnya, telah menyebabkan beberapa rumah warga tenggelam dan hilang. Bahkan ada juga rumah di wilayah likuefaksi yang mengalami pergeseran hingga tiga sampai enam kilometer jauhnya.
ADVERTISEMENT
Sementara dari dampak tsunami dan gempa, ada rumah-rumah yang hancur dan ada juga yang hanya mengalami kerusakan ringan.
Adapun terkait dampak terhadap mata pencaharian warga, Ayu mengatakan ada tiga profesi yang menjadi fokus dalam kajian ini, yaitu petani, nelayan, dan pekerjaan di sektor informal lain seperti pedagang, tukang ojek, dan supir.
Tim peneliti menyelidiki bagaimana bencana mempengaruhi ketiga profesi tersebut dan siasat apa yang dipakai untuk tetap bekerja setelah bencana.
“Lintasan tsunami itu (membuat) tanah hitam, sangat pekat dan itu mengganggu petani garam. Dari hari kedua mereka mencoba memperbaiki, tapi itu pekat sekali,” kata Ayu. Akibatnya, meskipun ada beberapa petani yang bisa mengolah garam seperti biasa, kualitas garam mereka berubah dan akhirnya membuat mereka memutuskan untuk tidak menjual garam tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain masalah tempat tinggal dan mata pencaharian, masalah hunian sementara (huntara) warga terdampak bencana juga dibahas di dalam kajian ini. Salah satu hasilnya adalah ditemukan adanya perbedaan kualitas pada sejumlah huntara yang dibangun.
Hal ini, menurut mereka, dikarenakan pembangunan huntara ternyata dilakukan oleh pengembang dan donatur yang berbeda-beda. Ada pengembang yang membangun huntara dengan baik, namun ada juga yang membangun dengan kurang baik. Padahal, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menetapkan standar untuk pembangunan huntara tersebut.
“Kementerian PUPR yang bertanggungjawab pada desainnya. Kemudian pembangunan atau pengelolaannya diberikan pada donatur atau pengembang,” kata Ayu.
Fasilitas MCK dan air bersih menjadi salah satu masalah yang ada di huntara. Selain itu, beberapa huntara juga berada di dekat sungai sehingga rawan banjir.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono (kedua kiri) meninjau pembangunan hunian sementara (huntara) di Petobo. (Foto: ANTARA FOTO/Rolex Malaha)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono (kedua kiri) meninjau pembangunan hunian sementara (huntara) di Petobo. (Foto: ANTARA FOTO/Rolex Malaha)
Dari kajian ini, tim IPSK-LIPI kemudian mengeluarkan beberapa rekomendasi untuk membantu membangun huntara yang lebih optimal serta untuk upaya pemulihan kehidupan para penyintas bencana yang lebih baik ke depannya.
ADVERTISEMENT
Untuk pembangunan huntara, IPSK-LIPI memberikan rekomendasi agar pemerintah melibatkan tokoh masyarakat, memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam perencanaan, merekrut warga dalam pembangunan huntara, membuat desain huntara dengan konsep aman, nyaman, sehat, dan fungsi pemulihan trauma, dan sebagainya.
Sementara untuk pemulihan kehidupan, saran-saran yang diberikan di antaranya adalah pemberian bantuan seperti modal usaha, penyediaan pekerjaan padat karya, serta peningkatan akses informasi, teknologi, dan keterampilan warga di sana.
Bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah pada akhir September lalu telah menewaskan lebih dari 2.000 orang dan hampir 5.000 orang lainnya mengalami luka-luka.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, akibat bencana ini, lebih dari 200.000 orang terpaksa mengungsi. Selain itu, BNPB juga menaksir bahwa kerugian akibat bencana ini adalah mencapai Rp 18 triliun.
Foto satelit wilayah Petobo sesudah terjadi fenomena likuifaksi. (Foto: Dok. LAPAN)
zoom-in-whitePerbesar
Foto satelit wilayah Petobo sesudah terjadi fenomena likuifaksi. (Foto: Dok. LAPAN)
ADVERTISEMENT