Makan Enak Saat Silaturahmi Lebaran dan Ingatan dalam Otak Perut

16 Juni 2018 18:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketupat (Foto: thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ketupat (Foto: thinkstock)
ADVERTISEMENT
Makan enak memang bukan tujuan utama saat pergi untuk bersilaturahmi Lebaran ke tempat saudara atau handai tolan lainnya. Namun ternyata menurut sebuah penelitian, makanan enak mungkin bisa membuat Anda lebih mengingat tempat yang Anda kunjungi itu.
ADVERTISEMENT
Dalam hasil studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications itu, dijelaskan bahwa otak perut atau gut brain, organ yang memiliki peran mengontrol jumlah makanan yang bisa kita makan, diduga juga memiliki peran penting dalam membentuk ingatan atas suatu tempat atau objek di lingkungan kita.
Dalam studi terbaru ini para peneliti mempelajari tikus, bukan manusia. Namun menurut Scott Kanoski, asisten profesor ilmu biologi di University of Southern California sekaligus anggota studi, hal yang sama juga dapat ditemukan pada manusia.
Ilustrasi makan (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi makan (Foto: Thinkstock)
Saraf Komunikasi antara Perut dan Otak
Perut dan otak biasanya berkomunikasi melalui saraf vagus, saraf terpanjang di tubuh. Dalam studi baru ini, para peneliti mencoba melihat apa yang akan terjadi pada tikus jika ada bagian saraf tersebut dipotong dan tak bisa lagi mengirimkan sinyal dari perut ke otak.
ADVERTISEMENT
Karena biasanya hubungan antara perut dan otak terjadi ketika binatang sedang makan, para peneliti menduga bahwa hubungan tersebut membantu hewan untuk mengingat di mana letak makanan enak di lingkungannya.
"Ini mungkin penting bagi hewan, karena hubungan itu membuat mereka memahami posisi mereka dan kemudian bisa menemukan posisi makanan enak itu lagi," ujar Kanoski dikutip dari Live Science.
Kanoski dan timnya menyiapkan beberapa tantangan bagi si tikus untuk menemukan serta mengingat lokasi atau objek di suatu tempat di sekitar mereka.
Ilustrasi tikus. (Foto: jarleeknes via Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tikus. (Foto: jarleeknes via Pixabay)
Dalam salah satu eksperimen, para peneliti menyinari si tikus dengan cahaya sangat terang, memaksanya untuk kabur dari cahaya tersebut.
Pada tikus dengan saraf vagus yang masih lengkap, si tikus dapat mengingat lokasi sebelum ia dipaksa kabur karena diganggu oleh silau cahaya. Namun pada tikus yang saraf vagusnya telah diubah melalui operasi, ia mengalami kesulitan untuk mengingat lokasi awalnya.
ADVERTISEMENT
Para peneliti juga menemukan hal yang sama saat membuat para tikus untuk menemukan suatu objek yang sebelumnya telah ditemukan.
Hipokampus, Bagian Otak untuk Mengingat Memori Spesifik
Ketika otak dari para tikus dipelajari, para peneliti menemukan adanya pengurangan aktivitas di bagian otak bernama hipokampus, bagian yang terlibat pada mengingat suatu memori yang spesifik. Salah satu fungsi bagian otak ini adalah membantu si hewan untuk mengetahui posisinya sendiri, tikus lain, dan juga suatu objek.
Secara spesifik, tikus tersebut mengalami penurunan jumlah dari beberapa protein yang ada di hipokampus, yang bertanggung jawab membuat neuron baru. Tampaknya temuan ini hanya berlaku pada memori yang berkaitan dengan menemukan lokasi suatu objek. Menurut Kanoski, memutus saraf tersebut tidak menyebabkan hilangnya memori secara umum.
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
Jika hal yang sama juga bisa ditemukan pada manusia, Kanoski menjelaskan bahwa banyak implikasi lain dari temuan tersebut. Salah satunya adalah obat-obatan yang diketahui mengganggu saraf vagus. Jadi, obat-obatan yang mengganggu fungsi saraf vagus berpotensi menyebabkan bahaya bagi ingatan seseorang, tambah Kanoski.
ADVERTISEMENT
Namun begitu, menurutnya, dengan meningkatkan sambungan saraf tersebut ada kemungkinan kita bisa meningkatkan fungsi memori. Akan, tetapi, ia menambahkan, masih diperlukan studi lain untuk memperkuat dugaan ini.
Jika dugaan tersebut ternyata benar, maka terapi yang fokus pada saraf vagus tersebut juga dapat membantu melawan penyakit seperti Alzheimer.
"Meski ini tidak langsung menjadi obat bagi Alzheimer dan juga gangguan kognitif lainnya. Mengetahui bagaimana fungsi memori diregulasi dapat berpotensi memberikan kita suatu metode perawatan baru," imbuh Kanoski.