Mau Bantu Kaum Tunawicara, Peneliti Sukses Ubah Sinyal Otak Jadi Suara

26 April 2019 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi otak manusia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi otak manusia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Ada kabar baik bagi mereka yang kehilangan kemampuan berbicara (tunawicara) akibat stroke atau kondisi medis lainnya. Sekarang para peneliti telah berhasil mengubah sinyal otak menjadi suara. Menurut para peneliti, ini membuat kita lebih dekat dalam membuat alat yang bisa membantu orang-orang tersebut untuk berbicara.
ADVERTISEMENT
Kesuksesan itu dilakukan oleh para peneliti dari University of California, San Francisco, AS. Laporan detail mengenai hasil riset ini telah dipublikasikan di jurnal Nature.
Dalam riset ini para peneliti mendapat bantuan dari beberapa sukarelawan. Para sukarelawan itu merelakan otaknya diberi implan elektroda oleh para peneliti.
Pemasangan elektroda ini dilakukan agar peneliti bisa menangkap sinyal di bagian otak mereka yang punya tugas mengurus hal berbicara. Selanjutnya periset menerjemahkan sinyal di bagian otak itu dan memberikannya ke komputer untuk dijadikan suara dengan bantuan alat.
Hasilnya memang belum sempurna. Suara yang dihasilkan terkadang agak cadel, tapi masih lumayan jelas. Jadi hal ini saja sudah bisa meningkatkan harapan di antara para peneliti.
Mereka berpendapat bahwa temuan mereka ini bisa menjadi awal dari pembuatan alat pengubah sinyal otak jadi suara.
ADVERTISEMENT
"Kami terkejut ketika pertama kali mendengar hasilnya. Kami tidak mempercayai telinga kami. Ini benar-benar luar biasa bahwa banyak aspek dari kemampuan berbicara bisa ditemukan dari hasil komputer," ujar Josh Cartier, salah satu peneliti dalam riset.
"Memang masih diperlukan riset lebih lanjut untuk membuat suara terdengar lebih natural dan jelas. Tapi kami sangat kagum atas berapa banyak yang bisa diterjemahkan dari aktivitas otak," lanjutnya, seperti dilansir Reuters.
Ada beberapa penyakit dan kondisi medis yang bisa membuat seseorang kehilangan kemampuan berbicaranya. Contohnya, penderita penyakit cerebral palsy, Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS), atau cedera otak.
Ada orang yang menggunakan alat yang mengikuti gerak mata atau gerak otot wajah untuk "berbicara". Alat itu membantu mereka untuk menulis satu per satu huruf untuk satu kata yang kemudian dikeluarkan berupa suara atau teks.
ADVERTISEMENT
Cara ini sangat lambat. Biasanya tiap menit orang hanya akan bisa membuat 10 kata. Sementara jika berbicara normal, orang bisa membuat 100 hingga 150 kata per menit.
Ada lima sukarelawan yang terlibat dalam riset ini. Semuanya bisa berbicara dengan normal. Mereka dipilih untuk membantu riset karena kelimanya adalah penderita epilepsi.
Menyehatkan otak Foto: Thinkstock
Kelima orang itu sudah memiliki elektroda di otaknya karena otak mereka sedang dipetakan untuk kepentingan prosedur pengobatan yang akan mereka lakukan.
Para sukarelawan ini diminta untuk membaca keras-keras sewaktu sinyal di otak mereka sedang dilacak. Para peneliti juga menciptakan saluran penghasil suara virtual bagi masing-masing peserta. Ini bisa dikontrol oleh aktivitas otak masing-masing peserta dan bisa memproduksi suara bicara buatan.
ADVERTISEMENT
"Sangat sedikit dari kita yang mengetahui dengan pasti, apa yang terjadi di mulut saat kita sedang berbicara," kata anggota tim peneliti Edward Chang.
"Otak menerjemahkan apa yang ingin kita katakan menjadi gerakan saluran penghasil suara, dan itu yang kami sedang coba terjemahkan," lanjutnya.
Para peneliti bisa sukses menciptakan suara-suara, seperti "sh". Tapi Kurang berhasil saat menciptakan suara, seperti "b" dan "p". Selain itu, teknologi ini juga tidak bekerja dengan baik ketika peneliti mencoba menerjemahkan langsung aktivitas otak ke suara bicara tanpa menggunakan saluran penghasil suara virtual.
Chartier mengatakan bahwa ia dan timnya masih berusaha menciptakan suara bicara buatan yang tidak terlalu terdengar cadel. Ia optimis seiring teknologi ini berkembang maka hasilnya juga akan semakin baik.
ADVERTISEMENT
"Kami berharap temuan ini memberi harapan bagi orang-orang dengan kondisi yang menghalangi mereka untuk mengekspresikan diri mereka sendiri, suatu hari bisa kembali memiliki kemampuan berkomunikasi, yang merupakan bagian penting bagi kita sebagai manusia," ujar Chartier.