Peneliti di AS Klaim Berhasil Bikin Otak di Luar Tubuh Tetap Hidup

28 April 2018 13:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak babi (Foto: Thinstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak babi (Foto: Thinstock)
ADVERTISEMENT
Sekelompok peneliti dari Yale University, AS, mengumumkan bahwa mereka berhasil membuat otak babi tetap hidup meski telah dikeluarkan dari tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Eksperimen unik sekaligus menyeramkan ini menunjukkan bahwa otak tersebut dapat bertahan hidup hingga 36 jam tanpa tubuh dan dapat mengubah pemahaman kita mengenai kematian.
Dilansir Science Alert, pengumuman ini mendapat sambutan gembira sekalaigus kekhawatiran atas etika. Karena jika hal yang sama dapat dilakukan pada otak manusia, maka temuan ini bisa membuka kemungkinan baru bagi upaya memperpanjang hidup.
Ahli saraf dari Yale University, Nenad Sestan, mendeskripsikan eksperimen timnya ini pada pertemuan National Institutes of Health Rabu (28/3) lalu. Pertemuan itu sendiri memang memiliki tugas untuk menginvestigasi isu etik pada riset-riset terbaru dari ilmu saraf.
Menurut Sestan, timnya telah melakukan eksperimen tersebut pada 100 hingga 200 babi yang diambil dari rumah pemotongan daging.
Christopher, babi yang suka traveling  (Foto: Instagram/@christopher_the_pig)
zoom-in-whitePerbesar
Christopher, babi yang suka traveling (Foto: Instagram/@christopher_the_pig)
Untuk bisa membuat otak tetap hidup, tim tersebut menggunakan sistem peredaran darah buatan, pemanas, dan pompa agar bisa mengembalikan sirkulasi dari otak babi yang kepalanya telah dipotong pada empat jam sebelumnya. Teknik yang dinamai BrainEx ini dapat membuat otak bisa kembali "hidup" selama kurang lebih 36 jam.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, tidak ada bukti bahwa otak tersebut sadar atas kondisinya. Dari hasil tes elektroensefalografi (EEG), terlihat bahwa otak tersebut mengeluarkan suatu gelombang otak yang datar, sama dengan keadaan otak yang sedang koma.
Namun, tim tersebut juga menemukan bahwa ada miliaran sel otak individu yang sehat dan dapat melakukan aktivitas normal. Secara teknis, otak tersebut bisa dibilang dalam keadaan hidup.
"Otak-otak ini mungkin telah rusak, namun jika sel-selnya tetap hidup, itu adalah organ yang hidup," terang Steve Hyman, direktur penelitian psikiatri di Broad Institute di Cambridge, Massachusetts, AS.
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
"Ini adalah pengetahuan teknis pada tingkat tinggi, tapi sebenarnya tak begitu berbeda dengan cara menjaga ginjal (untuk transplantasi)," jelasnya.
Yang menjadi masalah sebenarnya adalah hasil temuan Sestan dan timnya belum dipublikasikan pada peer review suatu jurnal manapun. Jadi, Sestan memaparkan bahwa dirinya menolak untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai eksperimen tersebut hingga nanti studinya telah dipublikasikan secara penuh.
ADVERTISEMENT
Artinya, kita harus menanti hingga ada sumber jurnal yang valid dan terpercaya yang mempublikasikan hasil riset tersebut untuk mengetahui kebenaran dan detail dari hasil eksperimen Sestan dan timnya itu.
Selain memulai terjadinya debat etik terkait apakah otak manusia yang diperlakukan dengan cara yang sama bisa dibilang hidup, riset tersebut akan memiliki dampak positif bagi komunitas laboratorium. Sebab, hal ini memberikan kesempatan bagi para peneliti untuk mempelajari otak dalam kondisi lengkap dan sehat dengan mendetail.
Sestan dan timnya menciptakan teknik tersebut dengan harapan bisa membuat suatu peta lengkap atas koneksi antara sel otak manusia. Selain itu, mereka juga berharap teknik ini dapat menawarkan model organ percobaan yang lebih baik untuk mempelajari Alzheimer dan juga kanker otak.
ADVERTISEMENT
Cara BrainEx Bekerja
Ilustrasi penyumbatan darah di otak. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penyumbatan darah di otak. (Foto: Thinkstock)
Meski detail mengenai teknik tersebut masih sangat kurang dijabarkan, dilaporkan bahwa teknologi BrainEx perlu menghubungkan otak dengan suatu tabung yang mengedarkan darah buatan ke sel-sel otak sehingga membuat oksigen tetap mengalir ke seluruh bagian otak.
Cara yang sama juga digunakan para peneliti untuk menjaga organ lain seperti jantung atau paru-paru agar tidak rusak sebelum transplantasi.
Dalam sesi presentasi, Sestan mengakui bahwa teknik tersebut dapat bekerja pada spesies manapun, termasuk primata. Meski Sestan masih berspekulasi mengenai potensi digunakannya teknik tersebut pada manusia, ia yakin tidak ada perdebatan pada kasus otak babi tersebut.
"Otak hewan itu tidak menyadari segala sesuatunya, saya sangat yakin atas hal itu," ujar Sestan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Hyman juga menambahkan bahwa teknik ini dapat membawa opsi baru pada usaha memperpanjang nyawa. "Mungkin suatu saat kita akan sampai pada titik ketika orang akan lebih memilih mengatakan 'cari tubuh baru bagiku' ketimbang 'setop otakku’," katanya.
Mungkin karena urusan inilah, 17 ahli saraf serta ahli bioetika, termasuk Sestan, mempublikasikan suatu tulisan editorial di jurnal Nature yang menyoroti perlunya aturan serta perlindungan baru bagi eksperimen pada otak manusia.
"Kami tidak menganggap bahwa pertanyaan sulit ini membuat riset harus tertunda," tulis para peneliti.
"Tapi untuk memastikan keberhasilan serta penerimaan sosial dari riset ini, diperlukan suatu kerangka kerja etis selagi pengembangan teknologi otak ini masih pada tahap awal."