Peneliti Temukan Warna Tertua di Dunia

10 Juli 2018 19:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peneliti Nur Gueneli memegang hasil temuan pigmen warna tertua di dunia. (Foto: Australian National University)
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti Nur Gueneli memegang hasil temuan pigmen warna tertua di dunia. (Foto: Australian National University)
ADVERTISEMENT
Sekelompok peneliti baru saja menemukan warna tertua yang pernah ditemukan dalam rekam geologi. Sebuah pigmen berwarna merah jambu (pink) cerah berusia 1,1 miliar tahun ditemukan dalam sebuah batu di Gurun Sahara, Afrika.
ADVERTISEMENT
Menurut Nur Gueneli, peneliti dari Australian National University (ANU), pigmen ini berasal dari sebuah fosil hewan laut yang usianya sekitar setengah miliar tahun lebih tua dibanding temuan pigmen sebelumnya.
"Pigmen berwarna pink cerah merupakan fosil molekular dari klorofil yang diproduksi oleh suatu organisme berfotosintetis masa lampau yang hidup di lautan yang telah lama hilang," ujar Gueneli.
Peneliti Nur Gueneli memegang hasil temuan pigmen warna tertua di dunia. (Foto: Australian National University)
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti Nur Gueneli memegang hasil temuan pigmen warna tertua di dunia. (Foto: Australian National University)
Temuan ini sendiri telah dipublikasikan dalam jurnal PNAS. Makalah tersebut menyebutkan, dalam bentuk konsentratnya, fosil memiliki rentang warna antara merah darah hingga ungu.
Fosil baru menunjukkan warna pink cerahnya setelah diberikan air atau diencerkan.
Para peneliti sendiri mempelajari fosil ini dengan membuat batu fosil itu menjadi bubuk. Mereka kemudian mengekstrak serta menganalisis molekul atas organisme kuno itu dari bubuk tersebut.
ADVERTISEMENT
"Analisis yang tepat atas pigmen kuno tersebut mengkonfirmasi bahwa cyanobacteria atau bakteri hijau-biru mendominasi bagian dasar dari rantai makan di lautan pada miliaran tahun lalu, hal ini membantu menjelaskan mengapa hewan belum eksis pada waktu itu," kata Gueneli.
Jadi kemunculan dari organisme besar dan aktif kemungkinan besar terhalangi oleh kurangnya suplai partikel makanan yang lebih besar, seperti ganggang.
"Ganggang, meski bentuknya masih mikroskopik, ribuan kali lebih besar dibanding cyanobacteria, dan merupakan sumber makanan yang lebih kaya," ujar Jochen Brocks, profesor geokimia di ANU sekaligus anggota tim peneliti.
Brocks juga menjelaskan bahwa kehadiran ganggang membantu terjadinya evolusi di muka Bumi.
"Cyanobacteria di lautan punah pada 650 juta tahun yang lalu, tepat ketika ganggang mulai menyebar luas dan memberikan pasokan energi yang dibutuhkan agar evolusi dari suatu ekosistem yang kompleks, ketika hewan besar, termasuk manusia, dapat hidup di Bumi," imbuhnya.
ADVERTISEMENT