news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Peneliti Ungkap Alasan Orang Jadi Teroris

11 Januari 2019 9:33 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi teroris (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi teroris (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Banyak orang mengklaim mereka termotivasi jadi teroris karena alasan agama atau pandangan politik. Tapi para ahli sosiologi berpendapat lain.
ADVERTISEMENT
Para sosiolog berpendapat bahwa orang-orang memilih menjadi teroris lebih sering karena merasa terasing dibanding mengikuti alasan agama atau pandangan politik.
Untuk menguji dugaan itu, tim ahli psikologi gabungan dari beberapa universitas di seluruh dunia melakukan riset. Hasil riset mereka yang telah dipublikasikan di jurnal Frontiers in Psychology ini ternyata mendukung dugaan bahwa perasaan tidak diterima oleh masyarakat lah yang mendasari seseorang menjadi teroris.
Dalam riset ini, para ahli melakukan survei terhadap 535 pemuda di Barcelona, Spanyol, yang berasal dari Maroko. Para pemuda itu diminta untuk menjelaskan pandangan mereka atas penggunaan kekerasan untuk menyebarkan Islam. Selain itu, para peneliti juga menggunakan mesin pemindaian fMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging) untuk memindai otak para pemuda itu.
Hasil rontgen MRI  (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Hasil rontgen MRI (Foto: Thinkstock)
Kota Barcelona dipilih berdasarkan temuan bahwa pendatang Maroko di sana kurang terintegrasi dibanding daerah-daerah lain di Eropa. Bahkan menurut laporan IFL Science, Barcelona mengalami serangan teroris saat riset ini sedang berlangsung.
ADVERTISEMENT
Setelah menjawab pertanyaan survei, para peserta diminta untuk bermain game bernama Cyberball. Game tersebut dirancang untuk mempelajari pengasingan sosial, bullying, dan diskriminasi.
Jadi dalam game itu, setengah dari peserta dibuat diabaikan oleh pemain lain, pemain virtual yang diberikan nama dan penampakan orang Spanyol. Setelah bermain mereka diminta untuk menjawab pertanyaan sambil otaknya dipindai oleh fMRI.
Pada mereka yang dari awal menyatakan keinginan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, hasil pemindaian menunjukkan adanya aktivitas tinggi di bagian kiri inferior frontal gyrus di otak. Area tersebut berhubungan dengan hal-hal yang orang anggap terlalu penting untuk diubah.
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
Menariknya, mereka yang saat bermain game diabaikan menunjukkan keinginan yang lebih tinggi untuk berkelahi dan mati dalam mencapai tujuannya. Selain itu, bagian kiri inferior frontal gyrus otak mereka juga menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Bahkan ketika mereka ditanya atas topik-topik yang sebelumnya mereka anggap tidak perlu penggunaan kekerasan, para peserta yang diabaikan saat main game malah menunjukkan aktivitas otak yang sama saat mereka mendiskusikan masalah yang dianggap fundamental atau tidak bisa diubah.
Jadi, perasaan terasing atau dikucilkan di dunia daring, meski sebentar, cukup untuk meningkatkan aktivitas otak mirip teroris pada topik yang sebelumnya aman. Bayangkan dampak perasaan tersebut pada sepanjang hidup seseorang.
"Kami tidak mengatakan bahwa pengasingan sosial adalah satu-satunya faktor yang memotivasi tindakan kekerasan, tapi itu adalah salah satu yang terpenting," papar anggota tim peneliti Nafees Hamid dikutip dari IFL Science.
Jika klaim Hamid dan ahli psikologi lainnya benar, maka setiap tindakan yang membuat etnik atau kelompok minoritas merasa tidak diinginkan di negaranya bisa meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan.
ADVERTISEMENT
Jadi bisa dibilang bahwa ketika terjadi aksi terorisme dan orang-orang menggeneralisasi teroris dari suatu kelompok tertentu serta menyalahkan kehadiran mereka, malah mempermudah teroris untuk merekrut anggota baru.