Peneliti Ungkap Penyebab Ada Banyak Orang Menolak Sains

22 Januari 2018 18:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
March For Science di Washington. (Foto: REUTERS/Aaron P. Bernstein)
zoom-in-whitePerbesar
March For Science di Washington. (Foto: REUTERS/Aaron P. Bernstein)
ADVERTISEMENT
Seiring majunya perkembangan teknologi beberapa tahun terakhir ini, jumlah hoaks alias berita palsu justru semakin banyak. Tak hanya itu, muncul juga beberapa gerakan yang malah menyesatkan dan memberikan informasi yang salah kepada orang luas, seperti Gerakan Bumi Datar, Bumi Berongga, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Dilansir Science Alert, sebuah tim peneliti yang terdiri dari para psikolog berhasil mengidentifikasi salah satu faktor kunci penyebab seseorang untuk menolak sains. Ternyata, faktor tersebut tidak ada hubungannya dengan edukasi dan kepintaran.
Bahkan para peneliti juga menemukan bahwa mereka yang menolak konsensus sains seperti perubahan iklim dan keamanan vaksin biasanya juga merupakan seseorang yang tertarik dengan sains.
Pilih-Pilih Fakta Jadi Penyebab
Ilustrasi fakta. (Foto: Geralt via Pixabay (CC0 Creative Commons))
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi fakta. (Foto: Geralt via Pixabay (CC0 Creative Commons))
Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah sikap pilih-pilih fakta yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Ketika orang-orang itu berbicara mengenai fakta, kebanyakan orang lebih banyak berpikir seperti seorang pengacara dibanding seorang ilmuwan.
Artinya, mereka akan memilih fakta dan studi yang mendukung pemahaman mereka, bukan pemahaman sesungguhnya. Hal ini dikenal juga dengan nama bias kognitif.
ADVERTISEMENT
"Kami menemukan bahwa orang akan lari dari fakta untuk melindungi segala macam hal yang mereka percayai, termasuk keyakinan religius, keyakinan politik, dan bahkan hingga hal kecil seperti keyakinan bahwa mereka hebat dalam memilih web browser," kata Troy Campbell, salah seorang peneliti asal University of Oregon.
"Orang memperlakukan fakta secara relevan ketika hal tersebut mendukung opini mereka. Ketika fakta tidak sesuai opini mereka, mereka tidak menentang fakta tersebut, tapi mereka mengatakan bahwa fakta itu tidak relevan."
Metode Penelitian
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah berdasarkan pada beberapa wawancara dan juga meta analisis dari riset yang telah dipubikasikan. Kesimpulan ini telah dipresentasikan di sebuah simposium tahunan Society for Personality and Social Psychology di San Antonio, Texas, AS..
ADVERTISEMENT
Tujuan dari riset ini adalah untuk mempelajari kesalahan pada komunikasi sains pada 2017 dan bagaimana mengkoreksi hal tersebut.
Yang perlu menjadi catatan, riset ini belumlah dipublikasikan di jurnal resmi. Jadi, hasilnya belum pasti.
Ilustrasi penelitian. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penelitian. (Foto: Pixabay)
Akan tetapi, dari riset ini kita menemukan bahwa memfokuskan pada bukti dan data belum tentu cukup untuk mengubah pikiran seseorang.
"Ketika ada konflik atas risiko sosial, mulai dari perubahan iklim hingga tenaga nuklir, kedua sisi akan berlomba-lomba mengenakan mantel sains," kata Dan Kahan, salah seorang peneliti dalam riset ini yang berasal dari Yale University.
Para peneliti menyarankan untuk mencari sumber ketidaksukaan seseorang pada konsensus sains hingga ke akarnya, dan mencoba untuk menemukan kesamaan untuk menerima ide baru.
ADVERTISEMENT
Asal Penolakan Sains
Jadi dari mana asal penolakan ini? Salah satu bagian besar dari masalah adalah orang-orang mengasosiasikan kesimpulan sains dengan afiliasi politik atau sosial.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Kahan, ditemukan bahwa orang memang selalu memilih fakta yang sesuai dengan pandangan mereka dalam hal sains. Tetapi hal tersebut bukanlah masalah besar di masa lampau, karena kesimpulan sains biasanya disetujui oleh pemimpin politik dan budaya, lalu disebarkan sesuai dengan apa adanya.
Sekarang fakta sains digunakan bagaikan sebuah senjata dalam persaingan budaya dan menurut Kahan hasilnya adalah "lingkungan komunikasi sains yang tercemar".
Kini tim peneliti sedang mengumpulkan data lanjutan sebelum studi mereka ini dipublikasikan. Mereka sebelumnya telah mempresentasikan hasil kerja mereka pada komunitas sains untuk didiskusikan lebih lanjut.
Ilustrasi ibu berpikir (Foto: Thisntock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu berpikir (Foto: Thisntock)
ADVERTISEMENT
Saatnya Memerangi Gerakan Antisains
Menurut Matthew Hornsey, anggota tim peneliti asal University of Queensland, sudah tidak mungkin lagi bagi kita untuk mendiamkan gerakan antisains tersebut.
"Gerakan anti vaksin menyebabkan hilangnya nyawa. Skeptisme pada perubahan iklim memperlambat respons pada ancaman sosial, ekonomi dan ekologi terbesar saat ini," jelas Hornsey.
"Tetapi meningkatnya skeptisme atas perubahan iklim dan gerakan anti vaksin membuat kita sadar bahwa nilai tersebut sedang diserang," imbuhnya.