news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Penjelasan Ilmiah: Bagaimana Tes Darah Bisa Deteksi Autisme pada Anak?

20 Februari 2018 20:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi peneliti di laboratorium. (Foto: jarmoluk/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi peneliti di laboratorium. (Foto: jarmoluk/Pixabay)
ADVERTISEMENT
Tes baru yang dikembangkan oleh para peneliti di Inggris untuk mendeteksi autisme pada anak melibatkan cairan darah dan urine. Tes ini dilakukan dengan menganalisis darah dan urine dari si anak.
ADVERTISEMENT
Para peneliti dari University of Warwick itu meyakini metode tersebut adalah tes pertama di dunia yang dapat membantu diagnosis awal gangguan autisme atau autism spectrum disorders (ASD) pada anak.
Darah Mengandung Protein
Menurut hasil riset mereka, cara terbaik untuk mendeteksi autisme pada anak adalah dengan memeriksa protein dalam darahnya.
Dalam riset yang telah dipublikasikan di jurnal Molecular Autism, mereka menemukan hubungan antara autisme dengan kerusakan protein dalam plasma darah.
Pada anak penderita ASD, darah mereka akan mengandung dityrosine (DT) yang menandakan oksidasi dan juga sebuah zat modifikasi gula yang disebut advanced glycation end-products (AGEs).
Ilustrasi anak cemas. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak cemas. (Foto: Thinkstock)
Selama ini, faktor genetis sering disebut menjadi penyebab terbesar autisme. Sementara sisanya diduga terjadi akibat faktor lingkungan, mutasi, dan juga variasi gen langka.
ADVERTISEMENT
Para peneliti mempercayai tes baru buatan mereka ini dapat menemukan salah satu penyebab autisme yang belum diidentifikasi tersebut.
Perbedaan Anak Autisme dan Bukan
Dalam penelitian ini, tim dari University of Warwick bekerja sama dengan University of Bologna di Italia. Mereka merekrut 38 anak yang telah didiagnosis mengidap autisme dan grup kontrol sehat yang terdiri dari 31 anak berumur antara 5 dan 12 tahun. Para peneliti kemudian mengambil sampel darah dan urine dari anak-anak tersebut untuk dianalisis.
Tim dari University of Warwick kemudian menemukan adanya perbedaan zat kimia antara dua grup anak-anak tersebut.
Autism Spectrum Disorder. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Autism Spectrum Disorder. (Foto: Thinkstock)
Penggunaan Kecerdasan Buatan
Setelah menemukan perbedaan zat kimia yang berbeda itu, tim peneliti kemudian melakukan kolaborasi dengan para ahli di University of Birmingham. Mereka menggunakan kecerdasan buatan (AI) yang kemudian menghasilkan sebuah hitung-hitungan matematika yang digunakan untuk membedakan antara grup ASD dan grup kontrol yang sehat.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, adalah tes diagnosis untuk mendeteksi autisme pada anak tersebut.
Tim peneliti menjelaskan langkah mereka selanjutnya adalah mengulang studi dengan jumlah peserta percobaan yang lebih besar. Hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasi kemampuan diagnosis tes baru tersebut serta untuk menilai apakah tesnya dapat mengidentifikasi autisme sejak usia dini.
"Temuan kami dapat membawa kita pada diagnosis lebih awal dan pencegahan (autisme). Kami harap tesnya dapat menunjukkan faktor penyebab autisme yang baru," ujar Naila Rabbani, pemimpin tim riset dari University of Warwick. Selain itu, anak yang mengidap autisme diharapkan juga bisa mendapat perawatan yang tepat sejak usia dini.
"Dengan uji coba lebih banyak, kita dapat mengungkap sebuah plasma darah dan jenis urine atau 'sidik jari' yang mengandung senyawa yang memiliki potensi merusak. Hal ini dapat membantu kita meningkatkan kemampuan diagnosis ASD dan menunjukkan penyebab ASD yang belum diketahui," imbuhnya.
Ilustrasi kecerdasan buatan. (Foto: Gerlat/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kecerdasan buatan. (Foto: Gerlat/Pixabay)
Autisme atau ASD sendiri adalah kelainan yang mengganggu interaksi sosial dan juga komunikasi dari penderitanya. Gejala dari autisme adalah gangguan bicara, perilaku kompulsif, hiperaktif, kegelisahan, dan kesulitan untuk beradaptasi terhadap lingkungan baru.
ADVERTISEMENT
Karena sangat banyaknya gejala ASD, diagnosis melalui pengamatan perilaku fisik akan sangat sulit dilakukan dan sering tidak pasti, terutama pada tahap awal perkembangan sang anak.
Tes darah dan urine yang dikembangkan para peneliti ini telah memberikan alternatif metode diagnosis yang baru.