Polemik Jokowi, Kebakaran Hutan, dan Lahan Konsesi

1 Maret 2019 8:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kedua Pasangan Capres menyampaikan pendapatnya saat debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Foto: ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
zoom-in-whitePerbesar
Kedua Pasangan Capres menyampaikan pendapatnya saat debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Foto: ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
ADVERTISEMENT
Dalam Debat Kedua Pilpres 2019 pada 17 Februari, Capres Nomor Urut 01 Joko Widodo menyebutkan kebakaran hutan dan kebakaran lahan gambut sudah tidak pernah terjadi lagi dalam tiga tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
“Di bidang lingkungan hidup kita ingin kebakaran hutan kebakaran lahan gambut tidak terjadi lagi dan ini sudah bisa kita atasi dalam tiga tahun ini tidak terjadi kebakaran lahan, hutan, kebakaran lahan gambut dan itu adalah kerja keras kita semuanya,” ungkap Jokowi.
Tak lama setelah acara debat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) membantah klaim Jokowi tersebut. Berdasarkan laporan Walhi, pada 2018 terdapat 3.427 titik api yang berasal dari lahan gambut. Sementara itu, secara keseluruhan total titik api berjumlah 8.617 pada tahun yang sama.
Satu hari berselang, 18 Februari 2019, Jokowi mengklarifikasi ucapannya di panggung debat. "Saya sampaikan kami bisa mengatasi kebakaran dalam tiga tahun ini, artinya bukan tidak ada, tapi turun drastis, turun 85 persen lebih," katanya.
Presiden Joko Widodo (tengah), satu hari setelah debat. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Pernyataan Jokowi mengenai penurunan kebakaran hutan ini pun meragukan. Pasalnya berdasarkan data Walhi, dari tahun 2017 ke 2018 saja terdapat kenaikan jumlah titik panas dari 2.924 titik menjadi 8.617 titik.
ADVERTISEMENT
Titik panas ini merupakan istilah untuk sebuah piksel yang memiliki nilai temperatur di atas ambang batas yang digunakan sebagai indikasi kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Titik Panas di Gambut. Foto: Dok. WALHI
Saling Kelindan Lahan Konsesi dan Kebakaran Hutan
Dalam acara debat yang sama Jokowi juga sempat menyindir pengelolaan lahan konsesi yang besar oleh Capres Nomor Urut 02 Prabowo Subianto di Kalimantan Timur dan Aceh. Jokowi mengklaim dirinya sedang berupaya membagikan lahan untuk rakyat kecil.
“Saya tahu Pak Prabowo memiliki lahan yang sangat luas di Kaltim, sebesar 220 ribu hektare, juga di Aceh Tengah ada 120 ribu hektare," sentil Jokowi.
Dalam debat itu Prabowo langsung mengakui punya konsesi lahan yang sangat luas tersebut dan menyebut statusnya sebagai Hak Guna Usaha (HGU).
ADVERTISEMENT
"Saya ingin minta izin, (tadi) disinggung tanah yang katanya saya kuasai ratusan ribu (hektare) dari beberapa tempat, itu benar. Tapi itu adalah HGU, itu milik negara. Jadi setiap saat negara bisa ambil kembali dan kalau untuk negara saya rela mengembalikan itu semua," jawab Prabowo.
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto menyampaikan pendapatnya saat debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sepekan berselang, 24 Februari 2019, Jokowi kembali membahas soal lahan konsesi. Konsesi sendiri artinya adalah pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah terhadap pihak korporasi untuk digunakan dalam usaha seperti pertambangan, perkebunan lain-lain.
"Program perhutanan sosial kita, telah membagikan konsesi. Kita sudah bagikan 2,6 juta hektare, ini adalah konsesi tanah untuk rakyat. Konsesi tanah untuk rakyat kecil," ucap Jokowi bersemangat saat pidato di acara 'Konvensi Rakyat' di SICC, Sentul, Bogor.
ADVERTISEMENT
"Nah, jika ada penerima konsesi besar yang mau mengembalikan ke negara... Saya ulang, saya ulang, jadi, kalau ada yang ingin mengembalikan konsesinya kepada negara..." lanjutnya.
Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato kebangsaan di SICC Sentul, Bogor, Minggu (24/2/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Pernyataan ini mengundang polemik. Karena selain Prabowo yang punya lahan konsesi luas, ada pula menteri di kabinet Jokowi yang punya lahan konsesi besar, yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
"Saya punya saham di Toba Bara Sejahtera, saya tinggal punya 10 persen dari 8 ribu hektare," katanya menjawab pertanyaan wartawan di Kantor Kemenko Maritim, Rabu (27/2).
Wartawan kemudian menanyakan lagi, keberadaan bisnis perkebunan milik Luhut. "Iya sama itu (perkebunan). Itu udah termasuk perkebunan. Ya perkebunan HGU lah,” jawabnya.
Menko Maritim Luhut Panjaitan. Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan
Yang menarik, berdasarkan data dari Walhi, banyak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia yang berlokasi di wilayah lahan konsesi korporasi. Bahkan menurut Manajer Kampanye Pangan, Air, & Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu A Perdana, lahan konsesi korporasi ini merupakan akar masalah kebakaran lahan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Selama akar masalah kebakaran hutan tidak diselesaikan, khususnya pada kawasan konsesi korporasi yang berada pada ekosistem rawa gambut, maka persoalan karhutla akan menjadi persoalan berulang setiap tahunnya,” tegas Wahyu dalam siaran pers Walhi kepada kumparan.
Walhi menyebut banyak karhutla di Indonesia adalah akibat kejahatan korporasi. Pernyataan ini mereka dasarkan pada fakta bahwa sebagian besar titik panas di Indonesia berada di wilayah konsesi korporasi, termasuk HGU.
“Setidaknya dari 1-25 agustus tahun 2018 tercatat di seluruh Pulau Sumatera 1.155 titik panas, 1.076 diantaranya berada pada kawasan KHG (Kesatuan Hidrologi Gambut), HT (Hutan Tanaman), HA (Hutan Alam), dan HGU. Dan di seluruh pulau Kalimantan 2 .423 titik panas, 1.008 diantaranya berada pada kawasan KHG, HT, HA dan HGU,” beber Walhi.
Personel Kepolisian Resor Dumai memadamkan kebakaran lahan gambut di Kota Dumai, Riau, Selasa (26/2/2019). Foto: ANTARA FOTO/FB Anggoro
Dilihat sisi penegakan hukum perdata, Walhi mencatat secara akumulatif dari tahun 2015-2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebenarnya telah mengantongi deposit kemenangan terhadap korporasi dalam gugatan kerugian dan pemulihan lingkungan hidup. Rinciannya sebesar Rp 16,94 triliun untuk kerugian lingkungan hidup dan Rp 1,37 triliun untuk biaya pemulihan.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, menurut pantauan mereka, belum ada satu pun dari putusan pengadilan ini yang sudah dieksekusi.