Mimika, Papua, Aksi

PR Besar Pemerintah untuk Tuntaskan Akar Masalah di Papua

21 Agustus 2019 13:38 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga melakukan aksi dengan pengawalan prajurut TNI di Bundaran Timika Indah, Mimika, Papua. Foto: ANTARA FOTO/Jeremias Rahadat
zoom-in-whitePerbesar
Warga melakukan aksi dengan pengawalan prajurut TNI di Bundaran Timika Indah, Mimika, Papua. Foto: ANTARA FOTO/Jeremias Rahadat
ADVERTISEMENT
Sejumlah unjuk rasa yang berujung kerusuhan terjadi di beberapa titik di Papua, mulai dari Manokwari hingga Jayapura pada Senin (19/8). Hingga Selasa (20/8), penumpukan massa juga masih terlihat di beberapa lokasi di Papua, seperti misalnya di Sorong. Bahkan, pada Rabu (21/8) pagi ini, aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan kembali pecah di Fakfak dan Mimika.
ADVERTISEMENT
Unjuk rasa atau demonstrasi ini dipicu oleh kejadian pengepungan dan perusakan Asrama Mahasiswa Papua (AMP) di Surabaya pada Jumat (16/8). Dalam banyak video yang beredar, sejumlah orang tampak mengepung asrama tersebut dan beberapa orang, yang di antaranya berpakaian seperti anggota TNI, meneriakkan kata-kata yang tidak pantas, misalnya dengan sebutan nama-nama hewan, terhadap mahasiswa-mahasiswi asal Papua tersebut.
Adriana Elisabeth, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang memiliki fokus kajian pada konflik dan perdamaian Papua, menjelaskan bahwa kerusuhan yang terjadi di beberapa titik di Papua tersebut memang disebabkan oleh pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya beberapa hari sebelumnya.
Perempuan yang menjabat sebagai Koordinator Jaringan Damai Papua itu mengatakan bahwa pemicu utama aksi di beberapa titik di Papua adalah perlakukan diskriminasi rasial yang diterima mahasiswa-mahasiswa Papua di Surabaya tersebut.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya yang memicu itu 'kan persoalan diskriminasi rasialnya. Karena orang Papua disamakan dengan binatang. Nah itu kalau bicara tentang identitas ke-Papua-an, memang itu sebuah bentuk penghinaan yang menurut saya cukup serius. Karena bagaimanapun, Papua itu bagian dari Indonesia. Mereka sebenarnya setara dengan kita juga, kenapa harus muncul ungkapan-ungkapan seperti itu?” jelas Adriana, saat dihubungi kumparanSAINS, Selasa (20/8) malam.
Masyarakat dari berbagai latar belakang dan suku berdoa dan mendeklarasikan #PancasilaPower untuk Papua bersama menggalang solidaritas kepada Papua di Lapangan Tugu Proklamasi, Jakarta, Selasa (20/8). Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
Perempuan yang telah meneliti masyarakat Papua sejak tahun 2004 itu menyayangkan kejadian di Surabaya, mengingat selama ini tidak ada masalah antara orang Papua dengan orang pendatang di Papua. Kenapa orang Papua yang datang di Surabaya malah diperlakukan tidak manusiawi?
“Pendatang di Papua 'kan tidak pernah dipersoalkan oleh orang-orang Papua. Memang ada kecemburuan sosial, tapi kan tidak pernah ada orang pendatang di Papua yang diusir seperti orang Papua diusir dari Jawa,” kata perempuan bergelar PhD dari University of Wollongong itu.
Angota DPR Rieke Diah Pitaloka (tengah) yang juga ketua penggagas aksi, bersama-sama warga berdoa dan mendeklarasikan #PancasilaPower untuk Papua bersama menggalang solidaritas kepada saudara Papua di Lapangan Tugu Proklamasi, Jakarta, Selasa (20/8). Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
Lebih lanjut, Adriana menyatakan konflik di Papua akan terus rentan terjadi selama pemerintah Indonesia tidak menyelesaikan akar-akar permasalahan Papua. Di dalam buku Papua Road Map yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2009 telah dituliskan akar-akar masalah Papua yang meliputi beberapa hal berikut ini.
ADVERTISEMENT
1. Peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia.
2. Tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua.
3. Proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas.
4. Siklus kekerasan politik yang belum tertangani, bahkan meluas.
5. Pelanggaran HAM yang belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior, Wamena, dan Paniai.
Ratusan mahasiswa Papua di Yogyakarta berkumpul di Titik Nol KM menggelar aksi solidaritas terkait kericuhan dan rasisme yang terjadi di Surabaya dan kota lain beberapa waktu lalu. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Menurut Adriana, akar-akar permasalahan itulah yang harus segera diselesaikan pemerintah Indonesia. Ia mengambil contoh soal pembangunan di Papua misalnya.
“Pembangunan di Papua dalam sektor ekonomi siapa, sih, yang menguasai? Kan pendatang, bukan orang Papua sendiri. Itu kan juga soal,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Adriana menuturkan pembangunan secara fisik memang perlu dilakukan di Indonesia, tapi ia mempertanyakan soal pembangunan masyarakat Papua yang masih minim, misalnya terkait pendidikan dan kesehatan mereka.
“Secara fisik pembangunan (di Papua) konektivitasnya bagus, tapi manusia Papuanya kan tidak dibangun dalam arti diperlakukan dengan setara, kemudian dibuat pintar, dibuat sehat, dibuat nyaman untuk tinggal di Papua dan menjadi bagian dari Indonesia.”
“Kemudian soal kekerasan. Kekerasan ini ada kekerasan aparat, kekerasan kelompok sipil, tapi juga mengata-ngatai orang Papua secara verbal, itu juga bentuk kekerasan. Jadi kekerasan verbal itu juga ada dan itu dialami oleh orang-orang Papua selama ini,” imbuhnya lagi.
Menurutnya, kerusuhan yang berulang kali terjadi Papua telah mengonfirmasi bahwa memang selama ini akar-akar persoalan tersebut memang tidak pernah diselesaikan.
Ratusan mahasiswa Papua di Yogyakarta berkumpul di Titik Nol KM menggelar aksi solidaritas terkait kericuhan dan rasisme yang terjadi di Surabaya dan kota lain beberapa waktu lalu. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagian Masyarakat Indonesia Masih Rasial dan Diskriminatif
Peristiwa yang terjadi di Surabaya menunjukkan sebagian masyarakat Indonesia masih kerap bersikap rasial terhadap orang-orang Papua. Padahal, menurut Adriana, di Papua sendiri tidak ada masalah antara orang Papua dan orang pendatang.
Kalau misalnya ada sebagian masyarakat di Jawa yang tidak suka terhadap orang-orang Papua karena menganggap mereka suka mabuk, misalnya, Adriana mengatakan orang-orang dari suku lain kan juga ada yang suka mabuk.
“Kalau mabuk sendiri tapi tidak membikin rusuh yang lain memangnya kenapa? Tidak hanya orang Papua kan yang mabuk? Ya, artinya itu ada stigma bahwa orang Papua itu berbeda. Nah, selama itu masih ada di kepala kita, berarti selama itu kita memperlakukan orang-orang di Papua itu dengan cara-cara yang tidak adil.”
Ratusan mahasiswa Papua di Yogyakarta berkumpul di Titik Nol KM menggelar aksi solidaritas terkait kericuhan dan rasisme yang terjadi di Surabaya dan kota lain beberapa waktu lalu. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Adriana memberi saran agar kita mengecek sikap kita masing-masing, apakah kita juga masih berpikir rasial terhadap orang-orang Papua. Apakah kita juga masih memandang orang-orang Papua secara diskriminatif?
ADVERTISEMENT
“Kalau kita sendiri masih berpikir bahwa orang Papua itu, maaf, bodoh, orang Papua itu jorok, itu berarti kita diskriminatif, lho. Memangnya yang lain tidak seperti itu? Suku lain juga sama sebetulnya, ada yang bodoh, ada yang jorok, dan sebagainya,” katanya. “Nah, selama kita masih berpikir seperti itu, berarti kita masih belum bisa memperlakukan orang-orang Papua secara setara."
Banyak pandangan buruk lain yang disematkan oleh sebagian masyarakat Indonesia non-Papua terhadap orang-orang Papua. Salah satunya, sebagian masyarakat Indonesia masih berpikir bahwa orang-orang Papua adalah orang-orang separatis yang ingin memecahkan diri dari Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap masyarakat Papua selama 15 tahun, Adriana tidak bisa menampik bahwa memang ada sebagian orang Papua yang mau merdeka dari Indonesia. “Itu memang ada. Kita tidak bisa bilang itu tidak ada.”
Sejumlah massa dari Front Perjuangan Rakyat menggelar membawa poster saat melakukan aksi di kawasan Monumen Nasional. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Namun begitu, Adriana mengingatkan, kenapa seseorang ingin merdeka itu tentu ada sebabnya. Jadi, kita harus memahami perasaan orang-orang Papua.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi, orang-orang Papua yang berteriak merdeka itu hanya cari perhatian, tutur Adriana. Karena mereka tidak diperhatikan makanya mereka berteriak sesuatu yang mereka harap membuat mereka diperhatikan. Misalnya, mereka berteriak merdeka karena mereka ingin akar-akar permasalahan di atas segera diselesaikan oleh pemerintah.
“Ini yang harus saya tegaskan, bahwa jangan semua hal itu dikaitan dengan separatis. Itu juga stigma,” tekan Adriana. “Orang Papua tidak suka dengan pemerintah Indonesia boleh dong sebagai warga negara. Kita misalnya kalau tidak suka dengan pemerintah Indonesia juga bukan berarti kita separatis kan?”
Ratusan mahasiswa Papua di Yogyakarta berkumpul di Titik Nol KM menggelar aksi solidaritas terkait kericuhan dan rasisme yang terjadi di Surabaya dan kota lain beberapa waktu lalu. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Adanya stigma dan perlakuan diskriminatif seperti inilah, menurut Adriana, yang memicu pengepungan terhadap Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Persoalan tiang bendera merah putih yang rusak bisa saja terjadi di depan gedung atau rumah warga lainnya, tapi mungkin tidak akan dibesar-besarkan jika bukan terjadi di depan Asrama Mahasiswa Papua.
ADVERTISEMENT
“Misalnya nih terbukti orang Papua melakukan perusakan terhadap bendera merah putih. Kalau yang lain merusak mungkin treatment-nya tidak sama dengan kalau orang Papua yang melakukannya,” katanya. “Jadi kalau misalnya masih ada di pikiran kita bahwa orang Papua berbeda dan kita membesarkan perbedaan itu, kemudian di mana slogan keberagaman Indonesia?”
Adriana menegaskan, jangan sampai kita atau bahkan orang-orang Papua sendiri berpikir bahwa menjadi Papua di Indonesia adalah hal yang seolah-olah salah. Orang Papua dilahirkan sebagai Papua dan kita harus terima itu.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten