Racun Kalajengking Bisa Bantu Deteksi Tumor Otak

13 Mei 2019 10:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kalajengking. Foto: 41330 via Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kalajengking. Foto: 41330 via Pixabay
ADVERTISEMENT
Ada kabar baik terkait perkembangan penyembuhan tumor otak. Peneliti berhasil memanfaatkan racun kalajengking untuk mendeteksi tumor otak. Hal ini mereka lakukan dengan cara membuat teknik pencitraan menggunakan versi sintetis dari sebuah senyawa dalam racun kalajengking.
ADVERTISEMENT
Teknik ini membuat tumor otak jadi lebih mudah terlihat. Teknik pencitraan akan membuat tumor seolah-olah "menyala". Ini membantu ahli bedah untuk mengetahui lokasi dan pertumbuhan ganas tumor tersebut.
Tim peneliti yang menemukan terobosan ini berasal dari Cedars-Sinai Medical Center di Los Angeles dan Blaze Bioscience Inc. Mereka mengembangkan sebuah senyawa sintetis bernama tozuleristide atau BLZ-100. Senyawa itu tidak bersifat beracun dan bisa mengikat sel tumor.
Teknik pencitraannya dimulai dengan memberi pasien tumor otak BLZ-100. Lalu pasien juga diberi pewarna fluoresens yang bisa bercahaya ketika distimulasi oleh laser inframerah.
Para peneliti berharap, teknik pencitraan ini bisa membuat batasan antara sel sehat dengan sel tumor menjadi lebih jelas. Ini ketika keduanya dilihat melalui kamera inframerah yang spesial dikembangkan dengan sensitivitas tinggi.
ADVERTISEMENT
"Dengan fluoresens ini, Anda bisa melihat tumor jauh lebih jelas karena ia jadi bercahaya," ujar Adam Mamelak, investigator senior atas uji klinis teknik ini sekaligus spesialis operasi endoskopi tengkorak, dilansir Newsweek.
Ilustrasi otak manusia. Foto: Shutterstock
Kemampuan untuk bisa melihat tumor dengan lebih jelas akan sangat bermanfaat bagi para ahli bedah saraf. Ini karena bisa mempermudah pengangkatan sel tumor ganas dengan lebih mudah.
Misalnya, dalam kasus glioma, tumor otak mematikan, pengangkatan tumor ganas bisa menjadi sangat sulit. Ini karena sulit membedakannya dengan jaringan otak yang normal.
Sementara itu, glioma adalah satu per tiga dari semua kasus tumor otak yang terjadi. Glioma ini biasanya tidak merespons pada pengobatan tradisional, seperti kemoterapi atau terapi radiasi. Jadi pengangkatan tumor adalah satu-satunya cara agar pasien bisa selamat.
ADVERTISEMENT
Dalam uji klinis, yang mempelajari 17 pasien glioma dewasa, para peneliti memberi masing-masing pasien dosis BLZ-100 berbeda. Dosis diberikan sebelum pasien melakukan operasi.
Menurut hasil riset, yang dipublikasikan di jurnal Neurosurgery, pemberian dosis membuat tumor pasien jadi bersifat fluoresens.
Ilustrasi kalajengking. Foto: Pexels via Pixabay
Menggunakan kamera spesial tadi, para ahli bedah bisa melihat keberadaan tumor yang menyala saat operasi. Setelah operasi, para peneliti memonitor kondisi para pasien selama 30 hari. Setelahnya para peneliti menyimpulkan bahwa hasil operasi mengindikasikan bahwa sistem ini aman digunakan.
"Bagi ahli bedah, integrasi atas pencitraan fluoresens ke mikroskop bedah sangat bermanfaat," ujar Mamelak.
Perlu riset tambahan
Riset ini masih memiliki batasan dan perlu dilakukan riset lanjutan untuk menilai keamanannya. Salah satu batasan adalah jumlah responden yang hanya 17 orang.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, sekarang teknik ini sudah menjalani percobaan lain. Salah satu bagian yang perlu ditingkatkan adalah kamera. Kemampuan kamera harus ditingkatkan agar bisa digunakan dengan mudah oleh para ahli bedah di meja operasi.
Menurut para peneliti, teknik ini sangat menjanjikan. Teknik ini juga berpotensi membantu pencitraan kanker jenis lainnya.
"Tujuan utamanya adalah untuk memberi presisi yang lebih baik atas perawatan operasi yang kita berikan bagi para pasien," tutur Keith Black, Kepala Department of Neurosurgery di Cedars-Sinai.