Setelah Fenomena Dwi Hartanto

19 Oktober 2017 11:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pengakuan Dwi Hartanto atas kebohongannya selama dua tahun menjadi momen introspeksi bagi banyak pihak.
ADVERTISEMENT
Dwi kini tengah menjalani serangkaian investigasi dan sidang kode etik di kampusnya. Sidang disertasinya yang semula dijadwalkan pada 13 September lalu terpaksa ditunda. Penghargaan untuknya dari KBRI di Belanda pun dicabut sejak 15 September.
Tak hanya sanksi administratif seperti pencabutan penghargaan, Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin berpendapat, sanksi yang begitu berat lainnya telah diterima Dwi Hartanto.
“Yang sekarang ia terima jelas sanksi moral dan sanksi sosial,” ujar Thomas.
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
Senada, Dirjen SDM Kemenristekdikti ALi Ghufron Mukti mengatakan, “Menurut saya hukuman sosialnya luar biasa. Bayangkan sekian juta orang membicarakan dia dari sisi negatifnya,” ujar Ali, Kamis (12/10).
Dwi Hartanto diakui oleh rekan-rekan dan mantan dosennya di IST APKRIND sebagai sosok cerdas. Lulus tepat waktu berpredikat cum laude dengan IPK 3,88 bukan hal mudah. Semasa di kampusnya, Dwi juga aktif di beberapa kegiatan kampus termasuk tim robotika.
ADVERTISEMENT
“Dwi ini memang sangat terobsesi dengan hal-hal canggih. Dulu dia pernah ngomong ingin jadi bagian dari salah satu tim balap mobil Formula 1,” ujar M. Didik R Wahyudi, mantan dosen Dwi semasa di IST APKRIND pada kumparan.
Sementara Yuliana Rahmawati, mantan dosen pembimbing Dwi, menceritakan Dwi mahasiswa yang cerdas dan menonjol di antara teman-temannya. “Kami masih ingin dia bisa memperbaiki sikapnya. Ibu mana yang tidak ingin anaknya mejadi baik,” tuturnya seperti dikutip dari Malang Post (10/10).
Pencabutan penghargaan Dwi Hartanto (Foto: Dwi Hartanto/ina.indonesia.nl)
Berry Juliandi, anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), berpendapat “Jika ini dianggap pelanggaran ringan dan TU Delft masih ingin membina yang bersangkutan, saya rasa patut diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan karena yang dia lakukan bukanlah pemanipulasian data ilmiah, tapi pemanipulasian status.”
ADVERTISEMENT
Bagi Berry yang kini aktif sebagai pengajar di Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor, kasus Dwi Hartanto belum tergolong pelanggaran berat yang membuatnya harus dikeluarkan dan dihilangkan dari komunitas ilmiah.
Berry Juliandi, Anggota ALMI (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
“Saya lihat setiap anak muda pasti pernah membuat kesalahan, jadi tinggal bagaimana caranya mengarahkan atau memberdayakan anak-anak muda seperti DH supaya kembali ke jalan yang benar,” kata dia.
Pengakuan dan permohonan maaf Dwi Hartanto yang muncul tak lama setelah dugaan kasus plagiasi dan jual beli gelar doktor di UNJ terjadi, menjadi momen penting bagi komunitas ilmiah.
“Kami kan sedang menangani sebuah universitas yang leadership-nya bermasalah. Nah dalam menyelesaikan itu, tidak lama, hampir bersamaan, muncul DH (Dwi Hartanto) ini. Ini berarti integritas menjadi masalah serius di Indonesia. Integritas akademik itu harus dibangun secara bersama-sama,” kata Ali Ghufron Mukti.
ADVERTISEMENT
Dugaan kuat kasus plagiasi dan jual beli ijazah ini disampaikan oleh Supriadi Rustad, Ketua Tim Evaluasi Kinerja Akademik. Rektor UNJ Djaali pun diberhentikan sementara selama proses investigasi dilakukan.
Ali Ghufron Mukti (Foto: Utomo P/kumparan)
Bagi Ali, kasus Dwi Hartanto terjadi di tengah masyarakat yang haus akan ilmuwan kelas dunia, ditambah peran media massa di dalamnya, selain dari motif terkenal secara instan.
Padahal seorang ilmuwan, menurut Berry, bisa terkenal jika apa yang bisa ia hasilkan itu dibaca dan menginspirasi masyarakat.
“Ini introspeksi bagi kami sendiri untuk lebih aktif dalam menanggapi kasus-kasus ilmiah seperti ini. Bukan hanya tentang DH, tapi hal lain misalnya penemuan baru atau ada sesuatu di masyarakat,” kata Berry.
Klaim vs Fakta Dwi Hartanto (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Berry menyatakan, kini para ilmuwan tanah air tengah didorong untuk lebih aktif menyosialisasikan penelitiannya dan tidak berada di “menara gading”, terpisah dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tentu saja kasus ini menjadi pelajaran bukan hanya bagi Dwi Hartanto, pemerintah, dan komunitas ilmiah, tetapi juga media massa.
“Baik peneliti atau ilmuwan dan media massa harus menuliskan apa yang sebetulnya terjadi atau faktanya, bukan dengan bahasa-bahasa yang mungkin dapat disalahartikan oleh masyarakat,” kata Berry.
Satu kata dari Ali Ghufron Mukti patut dipegang semua pihak: integritas.
Setelah Fenomena Dwi Hartanto (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)