news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Teori Terakhir Stephen Hawking tentang Alam Semesta Akhirnya Terungkap

4 Mei 2018 9:51 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stephen Hawking (Foto: REUTERS/Toby Melville)
zoom-in-whitePerbesar
Stephen Hawking (Foto: REUTERS/Toby Melville)
ADVERTISEMENT
Sebelum wafat pada Maret 2018 lalu, Stephen Hawking sempat menuliskan teori terbarunya mengenai alam semesta yang akhirnya dipublikasikan baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
Teori tersebut, yang Hawking kerjakan bersama dengan Thomas Hertog dari KU Leuven, memberikan detail atas pemikirannya mengenai asal muasal alam semesta dan dipublikasikan dalam Journal of High Energy Physics.
Dalam teorinya, mereka berpendapat bahwa alam semesta tidaklah serumit yang dipaparkan oleh teori multisemesta atau multiverse yang ada sekarang.
Teori multisemesta tersebut dibangun berdasarkan suatu konsep yang disebut eternal inflation atau inflasi abadi yang diperkenalkan pada 1979 dan dipublikasikan dalam jurnal Physical Review D pada 1981.
Jadi, setelah kejadian Big Bang, alam semesta mengalami suatu periode inflasi eksponensial. Kemudian inflasi tersebut melambat, dan energinya dikonversikan menjadi zat dan radiasi.
Ilustrasi Antariksa (Foto: Yuri B/pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Antariksa (Foto: Yuri B/pixabay)
Namun menurut teori inflasi abadi, ada suatu gelembung alam semesta yang berhenti atau melambat dalam berinflasi, yang kemudian membuat suatu pecahan kecil yang statis.
ADVERTISEMENT
Sementara di 'gelembung' alam semesta lainnya, akibat efek dari inflasi kuantum tersebut tak pernah berhenti dan kemudian menyebabkan terbentuknya multisemesta yang tak terbatas.
Menurut teori multisemesta, semua yang bisa dilihat di dalam alam semesta kita ini, berada dalam salah satu gelembung tersebut, yang sudah tidak terjadi lagi inflasi. Hal itulah yang membuat galaksi, bintang, serta planet baru bisa terbentuk.
"Teori inflasi abadi memberikan prediksi bahwa secara keseluruhan alam semesta kita itu seperti pecahan yang tak terhitung, dengan mosaik yang berbeda bagi masing-masing gelembung alam semesta, dipisahkan oleh suatu samudera yang terus berkembang," jelas Hawking, seperti dikutip dari laman resmi University of Cambridge.
"Hukum fisika dan kimia dari tiap gelembung alam semesta bisa berbeda satu sama lainnya. Mereka bersama-sama membentuk multisemesta ini. Tapi saya tidak menyetujui multisemesta. Jika skala dari alam semesta lain dalam multisemesta lebih besar atau tak terbatas, teori tersebut tidak akan bisa diuji," tambahnya.
Stephen Hawking (Foto: REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Stephen Hawking (Foto: REUTERS)
Hawking dan Hertog menjelaskan bahwa teori inflasi abadi itu ternyata salah. Hal ini karena teori relativitas umum milik Einstein 'rusak' pada skala kuantum.
ADVERTISEMENT
"Yang menjadi masalah pada inflasi abadi adalah ia mengasumsikan latar belakang dari suatu alam semesta yang berkembang berdasarkan teori relativitas umum Einstein dan menganggap efek kuantum sebagai suatu gejolak kecil di sekitarnya," jelas Hertog.
"Meski demikian, dinamika dari inflasi abadi menghapus pemisah antara fisika klasik dan fisika kuantum. Konsekuensinya adalah, teori Einstein itu rusak di inflasi abadi," tambahnya.
Banyak hal belum terungkap di semesta. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Banyak hal belum terungkap di semesta. (Foto: Thinkstock)
Sementara itu, teori baru ini juga dibangun berdasarkan string theory atau teori dawai. Teori dawai sendiri adalah suatu usaha untuk menghubungkan relativitas umum dengan teori kuantum.
Dalam teori dawai, dijelaskan bahwa volume dari alam semesta dapat dideskripsikan pada suatu batas dimensi yang rendah. Jadi, alam semesta itu seperti suatu hologram yang di mana realitas di ruang 3D dapat secara matematika direduksi menjadi proyeksi 2D.
ADVERTISEMENT
Para peneliti mengembangkan suatu varisi dari prinsip holografik yang bisa memproyeksikan dimensi waktu dalam inflasi abadi, yang bisa membantu mereka untuk mengembangkan konsep baru tanpa harus mengandalkan teori relativitas umum.
"Ketika kami melacak evolusi dari alam semesta di masa lampau, di suatu titik ketika kami mencapai ambang dari inflasi abadi, pemahaman kita atas waktu tidak memiliki arti apa pun," kata Hertog.
Perbedaan teori lama dan baru
Sebelumnya pada 1983, Hawking dan ahli fisika James Hartle mengusulkan suatu teori bernama Hartle-Hawking State. Dalam teori tersebut, mereka menjelaskan bahwa sebelum Big Bang, telah ada alam semesta, tapi tidak ada waktu.
Jadi alam semesta, pada awalnya, berkembang dari suatu titik, tapi tidak memiliki suatu batasan.
ADVERTISEMENT
Sementara menurut teori baru, awal dari alam semesta memang memiliki suatu batasan, dan batasan tersebut memberikan kesempatan bagi Hawking dan Hertog untuk menurunkan suatu prediksi yang lebih baik atas struktur alam semesta.
"Kami memprediksi bahwa alam semesta, pada skala terbesar, sangatlah halus dan terbatas secara keseluruhan. Jadi itu (alam semesta) bukanlah suatu struktur yang terpecah-pecah," kata Hawking, dikutip dari Science Alert.
Stephen Hawking. (Foto: Reuters/Mike Hutchings)
zoom-in-whitePerbesar
Stephen Hawking. (Foto: Reuters/Mike Hutchings)
Temuan ini tidaklah menyangkal keberadaan multisemesta atau multiverse, tapi ia mengurangi ukurannya menjadi lebih kecil, yang artinya teori multisemesta dapat lebih mudah diuji di masa depan.
Hertog berencana untuk menguji hal itu dengan mencari gelombang gravitasi yang mungkin tercipta oleh inflasi abadi. Gelombang tersebut memang terlalu besar untuk dideteksi oleh LIGO (Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory) atau observatorium gelombang gravitasi.
ADVERTISEMENT
Tapi, pendeteksi gelobang gravitasi seperti LISA (Laser Interferometer Space Antenna) milik NASA, dan juga studi lain di masa depan mengenai latar belakang gelombang mikro kosmik dapat membantu mengungkap misteri multisemesta.