Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Kata-kata, sungguh, bisa membunuh. Karena kata-kata yang menyesatkan, Jansen Ongko mendapati kondisi kesehatan ayahnya kian memburuk. Karena kata-kata yang menipu, penyakit diabetes melitus ayah Jansen bertambah parah, komplikasi penyakit lain menghampiri, dan akhirnya sang ayah mengembuskan napas terakhir.
ADVERTISEMENT
Jansen masih ingat betul peristiwa pahit yang menimpa keluarganya sekitar dua dasawarsa lalu. Peristiwa itu bermula pada tahun 1998 ketika ayahnya, Hingki O.S., didiagnosis menderita penyakit diabetes melitus alias kencing manis.
Hingki dan keluarga kemudian mencari berbagai metode pengobatan untuk menyembuhkan diabetesnya tersebut. Sayangnya, kata-kata yang muncul dari orang-orang di sekitar Hingki, lebih banyak berisi saran agar ia menjalani metode pengobatan alternatif, alih-alih menjalani perawatan di bawah arahan dokter rumah sakit.
“Jadi di beberapa pakar pengobatan alternatif itu malah menyarankan untuk setop mengonsumsi obat tertentu (dari dokter), tapi mengonsumsi jamu-jamu dan ramuan yang diolah oleh dia,” tutur Jansen yang mengisahkan ayahnya sempat berobat ke dokter, tapi karena termakan oleh kata-kata dari orang-orang sekitar, sang ayah selanjutnya lebih memilih untuk menempuh pengobatan alternatif saja.
Alhasil, kondisi kesehatan Hingki justru memburuk. Penyakit ginjal dan organ dalam lain muncul menyertai penyakit diabetesnya. Dan pada tahun 2000, ketika Jansen masih SMA, Hingki meninggal dunia karena diabetes dan komplikasi penyakit lainnya tersebut.
ADVERTISEMENT
“Setelah bertahun-tahun bukannya makin baik, justru makin parah kondisinya. Tidak ada perkembangan yang signifikan. Pertama kami tidak tahu penyebabnya. Kami kira penyakitnya tambah parah. Ternyata, selidik punya selidik, itu lebih dikarenakan cara pengobatan dan treatment yang keliru,” ungkap Jansen saat ditemui kumparanSAINS pekan lalu di Fitness Embassy, Jakarta.
Berkaca pada pengalaman yang menimpa ayahnya, Jansen kini paham betul bahwa informasi kesehatan yang keliru --biasa disebut sebagai hoaks kesehatan yang juga melingkupi hoaks pengobatan atau hoaks medis -- merupakan hal yang sangat berbahaya. Kata-kata dalam informasi tersebut dapat sangat menipu dan menyesatkan karena bisa dianggap sebagai petunjuk yang benar, patut diikuti, dan bahkan disebarluaskan kepada banyak orang lainnya.
Hoaks atau berita bohong atau informasi palsu secara umum, tak hanya yang terkait kesehatan, nyatanya memang banyak tersebar di Indonesia. Dulu dari mulut ke mulut seperti yang dialami keluarga Jansen, sekarang banyak tersebar melalui internet.
ADVERTISEMENT
Yang menyedihkan, ada banyak orang Indonesia yang gampang percaya hoaks dan belum punya kemampuan untuk membedakan antara informasi sahih dan informasi bohong. Hasil riset pada 2018 oleh DailySocial.id, sebuah blog teknologi asal Jakarta, yang bekerja sama dengan JakPat, penyedia platform survei online, menjadi buktinya. Hasil riset itu mencatat masih banyak orang Indonesia yang tidak dapat mencerna informasi dengan utuh dan benar, tetapi memiliki keinginan kuat untuk segera membagikannya dengan orang lain.
Riset tersebut menemukan, dari 2.032 orang Indonesia yang disurvei, sebanyak 44,19 persen responden mengaku tidak yakin punya kepiawaian dalam mendeteksi berita hoaks. Riset juga mengungkap, hanya sekitar 55 persen responden yang selalu melakukan verifikasi (fact check) atas keakuratan informasi yang mereka baca.
ADVERTISEMENT
Jenis Hoaks Terbanyak Ketiga di Indonesia
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), organisasi masyarakat sipil antihoaks yang berdiri sejak November 2016, pernah mendata jumlah laporan hoaks yang mereka terima sepanjang tahun 2018. Hasilnya, ada 997 hoaks yang berhasil mereka deteksi dalam setahun itu. Ini berarti, dalam sebulan rata-rata terdapat 83 hoaks.
Jumlah keseluruhan hoaks yang benar-benar tersebar di Indonesia sepanjang tahun lalu sangat mungkin lebih banyak dari angka tersebut. Sebab, Mafindo baru melakukan pengecekan fakta (fact check) terhadap konten-konten hoaks berdasarkan laporan yang mereka terima.
“Jadi, berbasisnya laporan. Kami tidak melakukannya dengan crawling (red: metode pengumpulan informasi di situs-situs internet secara otomatis melalui program atau aplikasi). Kalau crawling itu kan semacam kita membangun data dan analisis. Kami tidak ke arah situ ya, atau mungkin belum ke situ,” kata Septiaji Eko Nugroho, Ketua Mafindo, kepada kumparanSAINS.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, data Mafindo ini menunjukkan bahwa hoaks kesehatan merupakan jenis hoaks terbanyak ketiga yang mereka deteksi, setelah hoaks politik dan hoaks agama.
Hasil survei yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), lembaga nirlaba yang membawahi seluruh pelaku usaha, peminat, dan pengamat di bidang telekomunikasi di Indonesia, juga menunjukkan hasil serupa. Menurut hasil survei mereka pada 2017, hoaks kesehatan menduduki peringkat ketiga jenis hoaks yang paling banyak dijumpai masyarakat Indonesia, setelah hoaks sosial politik dan hoaks SARA.
Dari 1.116 responden yang disurvei, 41,2 persen di antaranya mengaku pernah menemukan hoaks kesehatan. Mereka bisa mengetahui konten yang mereka lihat atau baca adalah hoaks antara lain karena ada koreksi atau klarifikasi di media sosial, ada koreksi atau klarifikasi di media massa, memiliki teman atau sumber yang dapat dipercaya, atau juga karena mereka telah mengetahui fakta yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan 58,8 persen responden lainnya? Apakah mereka memang tidak pernah menemukan hoaks kesehatan atau justru mereka tidak bisa mendeteksi mana info kesehatan yang merupakan hoaks? Mastel belum meneliti sejauh itu.
Jenis Hoaks Kesehatan yang Paling Banyak Beredar
Aji, sapaan Septiaji, menuturkan ada tiga jenis konten hoaks kesehatan yang paling sering Mafindo deteksi. Pria pemegang gelar sarjana dari Institut Teknologi Bandung dan magister dari Technische Universität München di Jerman itu membeberkan ketiganya adalah konten berisi metode pengobatan yang menyesatkan, anjuran untuk menolak vaksin, dan ancaman penyakit yang mengerikan.
Pada dasarnya, konten-konten hoaks kesehatan semacam itu adalah jenis konten yang bisa tersebar dan menjadi viral berulang kali. Misalnya, suatu konten hoaks kesehatan sebenarnya telah viral pada tahun 2018. Lalu pada tahun 2019 konten itu tiba-tiba menjadi ramai kembali.
ADVERTISEMENT
Aji sendiri pernah beberapa kali mendeteksi konten hoaks semacam itu selama berkegiatan di Mafindo. Dia pernah menerima laporan konten hoaks yang sama pada tahun-tahun yang berbeda.
Salah satu konten hoaks kesehatan atau hoaks medis yang sering Aji dan kawan-kawannya di Mafindo temukan adalah tips pertolongan pertama pada orang yang mengalami serangan stroke. Narasi dalam hoaks tersebut menyebutkan bahwa telinga atau jari kaki orang yang terkena serangan stroke perlu segera ditusuk dengan menggunakan jarum sampai keluar darah.
“Isu kesehatan tentang stroke itu sampai sekarang masih sering muncul di media sosial. Korbannya ini sudah banyak sekali. Di grup WA kami, kami sudah menemukan dua kasus. Isu ini kami kira seperti puncak gunung es, yang ketahuan sedikit, yang tidak kejadian bisa lebih banyak lagi,” kata Aji.
Dua laporan kasus yang diterima Aji menyebutkan kedua penderita stroke yang jarinya ditusuk itu akhirnya meninggal dunia. Penyebabnya sama, kedua orang yang terserang stroke itu tidak segera dibawa ke rumah sakit, tapi jari kakinya malah ditusuk dengan jarum.
ADVERTISEMENT
Salah satu korban dilaporkan terserang stroke saat berada di kantor. “Padahal jarak kantornya hanya 10 menit (dari rumah sakit), tapi tidak langsung dibawa ke rumah sakit, tapi ditusuk-tusuk itu. Jadinya terlambat dibawa ke rumah sakit, sehingga jadi tidak tertolong,” tutur Aji yang di luar Mafindo berprofesi sebagai wirausahawan di bidang teknologi informasi (TI) dan menjabat sebagai Direktur PT Thrust Multidaya Indonesia dan CV Bavaria Infotech Utama.
Vito Anggarita Damay, dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah yang juga peduli pada permasalahan hoaks medis, mengatakan bahwa metode tusuk jarum itu memang tidak berfaedah sama sekali. Jarum yang tidak steril justru bisa menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit lain.
“Menusuk jari, telinga atau apa pun sampai mengeluarkan darah tidak ada hubungannya dengan proses terjadinya stroke. Stroke ada yang dikarenakan penyumbatan dan ada pula yang disebabkan perdarahan di otak. Tidak ada proses stroke yang bisa ditunda dengan mengeluarkan darah dari ujung jari,” jelas Vito kepada kumparanSAINS.
ADVERTISEMENT
Jadi, menurutnya, pertolongan pertama pada penderita serangan stroke yang tepat adalah sesegera mungkin membawa si pasien ke rumah sakit terdekat dan tidak menundanya. “Sambil membawa pasien ke RS, maka longgarkan pakaian (pasien) dan biarkan (pasien) bernapas selega mungkin dengan posisi yang nyaman,” papar dokter yang menulis buku berjudul Sebelum Anda Pergi ke Dokter Jantung itu.
Buku tersebut Vito tulis karena ia merasa perlu meluruskan banyak hoaks mengenai kesehatan jantung. Selain itu, Vito juga mengisi buku tersebut dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seputar kesehatan jantung. Berdasarkan pengalamannya selama 11 tahun menjadi dokter, Vito telah menjumpai banyak pertanyaan dan hoaks mengenai penyakit kardiovaskular.
“Hoaks tersebut berbahaya karena menyebabkan pasien-pasien saya mengalami komplikasi sebelum akhirnya bertemu pertolongan medis, terlambat tertolong, menghabiskan uang banyak, dan tetap menderita karena sakitnya,” kata pria yang berpraktik di Siloam Hospitals Lippo Village, Karawaci itu.
Maka dari itu, Vito merasa harus menulis buku agar banyak orang mendapat edukasi dan informasi yang benar mengenai kesehatan jantung. “Jika hanya mengandalkan penjelasan saat praktik, maka cuma beberapa orang saja yang mendengar penjelasan tersebut. Jika sebagai dosen memberikan kuliah, mungkin 200 mahasiswa bisa mendengar isi kuliah. Ketika memberikan edukasi di televisi, mungkin juga masih ada orang yang tidak sempat menonton,” ujar dokter yang juga berstatus sebagai dosen tetap di Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan dan pembawa acara program Ayo Hidup Sehat di salah satu stasiun televisi swasta itu.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya, Vito memberi klarifikasi bahwa batuk-batuk dengan keras bukanlah pertolongan pertama pada serangan jantung karena tidak ada pengaruhnya pada penyumbatan pembuluh darah koroner mendadak. Selain itu, dalam buku tersebut, ia juga menerangkan bahwa tangan yang berkeringat bisa saja merupakan salah satu tanda lemah jantung, terutama bila keringat itu muncul setiap kali orang yang bersangkutan melakukan aktivitas. Namun begitu, tangan yang berkeringat bisa juga disebabkan hal lain seperti gelisah, kondisi tubuh kurang fit, dan sebagainya.
Selain soal hal-hal di atas, Vito juga pernah menemukan sejumlah hoaks lain yang menyebut minum obat darah tinggi bikin sakit ginjal, gerakan senam dan mengusap dada bisa menghancurkan plak pada pembuluh darah jantung, dan ramuan bawang putih bisa menyembuhkan penyakit jantung koroner.
ADVERTISEMENT
Tak Mau Orang Lain Tertipu Hoaks Medis
Sebagaimana Vito yang menemukan banyak hoaks seputar kesehatan jantung, Jansen belakangan juga menyadari bahwa kebanyakan info seputar penyakit diabetes yang diterima mendiang ayahnya adalah hoaks belaka. Dia kini berani menyebut hampir semua saran yang dulu orang-orang berikan kepada mendiang ayahnya ternyata salah.
Jansen berani menyebut demikian karena setelah lulus SMA, tak lama setelah ayahnya meninggal pada tahun 2000, ia memutuskan untuk mempelajari lebih dalam mengenai ilmu gizi dan olahraga dengan berkuliah di jurusan Nutrition, Dietetics, and Food Science di California State University, Amerika Serikat, dan melanjutkan studi Master of Science in Kinesiology di kampus yang sama.
“Pada saat beliau (ayah saya) meninggal, keinginan saya untuk memperdalam ilmu gizi dan olahraga baru muncul. Dan setelah mengumpulkan dari berbagai sumber dari formal maupun informal, di situ saya melihat 95 persen advice yang diberikan (untuk ayah saya) itu salah,” kata pria kelahiran Banjarmasin, 14 Januari 1982 lalu itu.
ADVERTISEMENT
Salah satu saran yang keliru menyebut bahwa penderita diabetes tidak boleh berolahraga. Lebih lanjut, penderita diabetes dianjurkan untuk beristirahat saja, tidak boleh merasa lelah.
“Itu justru bertentangan dengan ilmu olahraga yang sebenarnya, seperti membangun massa otot untuk penderita diabetes. Padahal masa otot sangatlah penting untuk penderita diabetes. Bukannya dianjurkan lebih aktif hidupnya, malah disarankan pasif, malah sangat-sangat pasif,” tutur Jansen yang kini berprofesi sebagai pakar kesehatan dan kebugaran.
Soal larangan olahraga bagi penderita diabetes, Ketut Suastika juga menyatakan itu hal yang keliru. Dokter spesialis penyakit dalam yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Perkumpulan Endokrinologi Indonesia itu mengatakan penderita diabetes justru wajib berolahraga atau beraktivitas fisik minimal 150 menit per minggu.
ADVERTISEMENT
"Ini bisa dilakukan dengan berselang seling. Misalnya, dibagi dalam lima hari dalam seminggu tiap harinya 30 menit. Olahraganya bisa aerobik, seperti jalan, jogging, berenang, atau bersepeda," jelasnya saat dihubungi kumparanSAINS.
Jansen yang telah kehilangan ayahnya lebih cepat akibat tertipu “hoaks medis”, kini punya misi menyebarluaskan informasi kesehatan yang tepat kepada sebanyak mungkin orang. Dia tak mau ada orang lain “mengalami kejadian seperti saya.”
Oleh karena itu, Jansen sangat menekankan pentingnya memiliki sikap skeptis dan kritis. Menurutnya, masyarakat harus senantiasa menyaring dan memverifikasi informasi kesehatan yang diterima dari siapa saja, termasuk dari pakar kesehatan sekalipun.
“Masyarakat harus skeptis dan tidak gampang percaya ucapan dari seorang pakar, termasuk saya sendiri. Karena yang menanggung akibatnya adalah mereka sendiri. Jadi ada baiknya menimbang dengan baik, menelaah, jangan langsung ditelan begitu saja kata pakar X walaupun namanya sangat-sangat terkenal atau dipercaya oleh ribuan maupun jutaan orang. Karena seorang ahli pun juga manusia, mereka juga bisa salah,” tegasnya.
ADVERTISEMENT