Upaya Mengelabui Maut

6 Februari 2018 18:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kuburan. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kuburan. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Adakah manusia di dunia ini yang sanggup hidup seribu tahun lamanya--bertahan menentang kematian?
ADVERTISEMENT
Satu malam, sebuah diskusi hangat nan alot tercipta. Hadir dalam diskusi itu: Peter Thiel, pencetus PayPal dengan kekayaan sekitar USD 2,2 miliar; pakar biologi molekuler, Cynthia Kenyon; pakar teknologi komputer dan informasi, Aubrey de Grey; dan Larry Page, pendiri Google.
P Thiel, Cynthia Kenyon, Aubrey De G, Larry Page (Foto: dok. TED; Wikimedia Commons; AFP/Saul Loeb, Emmanuel Dunand)
zoom-in-whitePerbesar
P Thiel, Cynthia Kenyon, Aubrey De G, Larry Page (Foto: dok. TED; Wikimedia Commons; AFP/Saul Loeb, Emmanuel Dunand)
Pembicaraan semula memutar dari persoalan kadar cokelat yang dikonsumsi saat diet, perekonomian AS yang sempat karut marut, hingga upaya memindahkan ingatan seseorang ke dalam sistem komputer.
Kemudian lahirlah ide untuk memanfaatkan data yang tersimpan di Google dalam mengontrol kondisi kesehatan manusia. Hingga tercetus tanya: apakah kematian selalu tak terhindarkan atau sebenarnya adalah salah satu ‘masalah yang bisa diselesaikan’?
Satu tanya yang belum menemukan jawabannya itu disusul pertanyaan berikutnya. Mampukah teknologi membuat manusia hidup lebih lama--misal hingga usia 150 tahun (dua kali lipat angka harapan hidup manusia saat ini).
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ini beralih menjadi tujuan yang hendak dicapai--sebagai cara lain menemukan jawaban. Maka perbincangan pun mengerucut pada cita-cita penggunaan teknologi--berupa chips, peranti lunak, algoritma, hingga big data--untuk memahami lalu meningkatkan kualitas dan memperbaiki sistem paling rumit di muka bumi: tubuh manusia.
Upaya ini pun dilakukan dengan penyempurnaan program regenerasi anggota tubuh, organ, sel, hingga DNA.
Ilustrasi DNA. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi DNA. (Foto: Pixabay)
Para peneliti pun bergegas mencari cara, misalnya, untuk mengubah struktur DNA manusia agar--alih-alih mengalami degenerasi--sel-sel tubuh manusia mampu untuk regenerasi tatkala mengalami kerusakaan atau penuaan. Bahkan, penelitian lain digalakkan untuk mencari cara digitalisasi otak manusia, sehingga ia mampu bertahan walau tubuh inangnya mengalami kerusakan.
Thiel tentu saja sepakat dan sejalan dengan agenda ini. Baginya, ini adalah salah satu langkah awal untuk membawa manusia selangkah lebih dekat dengan ‘kemajuan peradaban manusia’.
ADVERTISEMENT
“Saya percaya bahwa evolusi adalah sesuatu yang alamiah terjadi. Namun, saya rasa kita patut mencoba untuk menghindari atau melampauinya,” ujar Thiel, seperti dikutip dari The Washington Post (4/4/2015).
Larry Ellison (Foto: Kimberly White / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Larry Ellison (Foto: Kimberly White / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / AFP)
Donasi untuk ‘Hidup Abadi’
“Kematian adalah hal yang tak pernah masuk akal bagiku,” kata Larry Ellison.
Pebisnis sekaligus pendiri Oracle Corporation dari Amerika Serikat ini rela mendonasikan USD 430 juta untuk biaya penelitian anti-penuaan bagi manusia. Ia barangkali enggan meninggalkan kehidupan dan berniat untuk hidup selama mungkin.
“Coba pikirkan, untuk apa manusia muncul jika hanya untuk kembali menghilang?” lanjut Ellison.
Ellison bukan satu-satunya donatur. Melalui Breakout Labs, organisasi nirlaba yang mendukung perusahaan bioteknologi baru, Thiel turut mendonasikan keuntungannya. Hal itu ia lakukan untuk mendorong penelitian teknologi anti-penuaan yang mutakhir.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya Ellison, Thiel pun sedari awal merasa penyakit dan kematian sebagai sesuatu yang buruk. Tak seharusnya manusia pasif saja menerima takdir sakit dan mati tanpa berusaha melawannya.
Ilustrasi Alzheimer (Foto: Thinstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Alzheimer (Foto: Thinstock)
“Satu per tiga manusia yang berusia 85 tahun mati karena Alzheimer atau Dementia, tetapi kita diam dan tak berusaha berperang melawan penyakit itu. Maka, pada akhirnya, kita harus berusaha lebih dari yang kita sudah lakukan,” tandas Thiel dalam wawancara dengan The Washington Post (3/4/2015).
Upaya ini diamini para konglomerat teknologi lainnya, seperti Sean Parker, pendiri kanal streaming musik Napster, dan Sergey Brin, co-founder Google.
Tak hanya mengamini, keduanya juga menjadi donatur besar dalam pengembangan teknologi medis.
Parker menderita berbagai alergi makanan yang bisa mengancam hidupnya. Beberapa anggota keluarganya bahkan mengalami kelainan genetik yang menyebabkan imun tubuh mereka begitu lemah.
ADVERTISEMENT
Dengan ragam masalah kesehatan yang harus dialami keluarganya, Parker rela merogoh koceknya jutaan dolar untuk mencari penawar alergi dan obat penyakit kanker.
Sementara Brin, dengan upaya--dan uang--yang tak kalah banyak, mendukung penelitian terhadap sekelompok manusia yang memiliki gen tertentu. Dalam penelitian tersebut, Brin melihat adanya mutasi gen LRRK2 yang dianggap lebih rentan terhadap penyakit Parkinson.
Lantas, Brin pun mendonasikan USD 150 juta untuk penelitian terkait mutasi gen itu.
“Ini bukan tentang uang, melainkan kesadaran,” kata Anne Wojcicki, istri Brin, yang juga membuat sebuah start-up berbasis teknologi penelitian genetik bernama 23andMe.
Nama-nama besar lain, seperti Mark Zuckerberg, bekerja sama dengan pakar teknologi medis lain untuk mengadakan Breakthrough Prizes. Penghargaan dengan hadiah sebesar USD 3 juta ini diberikan pada enam ilmuwan setiap tahunnya yang fokus pada penemuan untuk memperpanjang kehidupan manusia.
Mark Zuckerberg. (Foto: AP Photo/Noah Berger)
zoom-in-whitePerbesar
Mark Zuckerberg. (Foto: AP Photo/Noah Berger)
ADVERTISEMENT
Miliaran dolar AS yang sudah dicurahkan tak sia-sia. Beberapa penemuan termutakhir demi memperpanjang usia dan meningkatkan harapan hidup lahir.
Para ilmuwan yang bergabung dalam beberapa inkubator teknologi seperti Google X, Calico, Breakout Labs, hingga Sillicon Valley menemukan setidaknya tujuh teknik medis yang mampu menambah umur manusia. Salah satu caranya yakni dengan mengganti organ yang sudah rusak, tulang yang sudah patah, atau bagian tubuh lain yang tak lagi berfungsi.
Pertama, pil anti-penuaan.
Untuk melawan penuaan tubuh, pil ini diminum selayaknya mengonsumsi obat pada umumnya. Yang membuatnya berbeda adalah pil ini bekerja dengan menyerang sel-sel tua dalam tubuh pasien dan memodifikasi struktur kromosom yang usang seiring bertambahnya usia.
ADVERTISEMENT
Pil anti-penuaan diiringi dengan temuan teknologi peremajaan sel darah. Dalam penelitiannya, para ilmuwan menemukan tikus tua yang disuntik dengan sel darah tikus muda mengalami peremajaan organ tubuh, seperti otak dan otot.
Para ilmuwan lantas melanjutkan penelitian itu dengan mengembangkan teknologi peremajaan sel darah untuk menangani penyakit, seperti Alzheimer atau penyakit jantung--dengan harapan organ otak dan jantung dapat berfungsi lebih baik.
Keriput pada kulit wajah. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Keriput pada kulit wajah. (Foto: Thinkstock)
Selanjutnya, teknologi tulang buatan.
Di usia tua, tulang paha merupakan bagian yang paling rentan patah akibat terpeleset atau terjatuh. Maka, didukung dengan pengembangan CT-scan, para ilmuwan membuat kerangka tulang pasien yang patah. Caranya, mengambil sampel sel stem si pasien, lalu membiarkannya berkembang di dalam kerangka tersebut untuk menggantikan tulang yang patah.
ADVERTISEMENT
Teknologi keempat yang ditawarkan adalah semprotan penyembuh luka bakar.
Dalam beberapa peristiwa, luka bakar kerap meninggalkan bekas yang mencolok, proses penyembuhannya juga memakan waktu begitu lama. Maka, semprotan ini dihadirkan untuk menutup luka bakar dengan cairan yang mengandung enzim dan sel kulit sehat yang akan menyembuhkan luka bakar dalam kurun waktu kurang dari seminggu--tanpa bekas luka.
Tak berhenti sampai situ, teknologi kelima hadir dalam bentuk transplantasi sel sistem saraf di otak. Teknologi ini bekerja dengan cara menggantikan sel sistem saraf di otak pasien yang sudah ‘usang’ dengan generasi sel baru--memberikan harapan hidup bagi para penderita penyakit saraf, seperti Parkinson.
Seakan tak cukup, ilmuwan menemukan dua teknologi mutakhir untuk meningkatkan kualitas kerja sistem imun dan saluran kemih manusia. Melalui teknologi ini, para penderita HIV dan mereka yang kehilangan salah satu organ ginjalnya bisa memiliki harapan hidup lebih panjang.
ADVERTISEMENT
Teknologi ini berupaya ‘memprogram ulang’ sistem imun manusia dengan modifikasi struktur sel darah putih sehingga mampu menghasilkan antibodi yang dapat melawan jenis patogen khusus seperti HIV. Modifikasi sel darah putih tersebut diinjeksikan kembali ke dalam tubuh pasien, lalu perlahan mematikan patogen yang ada dalam tubuhnya.
Ilustrasi tenaga medis (Foto: sasint)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tenaga medis (Foto: sasint)
Selain itu, ilmuwan menawarkan teknologi 3D bioprinted organ--’mencetak’ organ tubuh manusia dan membuatnya berfungsi seperti organ asli. Teknologi ini, sama halnya dengan temuan lain, menggunakan sel tissue yang dikembangkan secara in-vitro (pengembangan sel yang dilakukan di luar tubuh manusia) dan bertumbuh sesuai dengan bentuk dan fungsi organ yang ingin ditransplantasi.
Sebelum akhirnya ditransplantasikan ke dalam tubuh pasien, hasil cetak tiga dimensi organ itu akan dimatangkan dalam sebuah bioreaktor hingga akhirnya siap berfungsi.
Upaya manusia untuk panjang umur (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Upaya manusia untuk panjang umur (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Jika Manusia ‘Melangkahi Kematian’
ADVERTISEMENT
Kematian barangkali hadir sebagai bentuk penyeimbang ekosistem dunia--mengatur populasi makhluk hidup yang kian meningkat.
Lantas, apa jadinya jika manusia kabur dari takdir kematiannya?
Dalam sebuah penelitian yang diadakan oleh Pew Research pada 2013, 51 persen warga Amerika Serikat percaya seluruh upaya dan tindakan yang ditujukan untuk memperpanjang umur dan memperlambat penuaan berdampak buruk bagi kehidupan sosial manusia.
Para partisipan memandang, tindakan radikal untuk menambah panjang umur hidup manusia akan mengganggu keseimbangan alam. Dan ironisnya, tindakan atau temuan itu hanya bisa dinikmati segelintir pihak: mereka yang kaya raya dan mampu membeli teknologi tersebut.
Ilustrasi Orang Tua Berjalan (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Orang Tua Berjalan (Foto: Shutterstock)
Pakar politik Stanford University, Francis Fukuyama, berargumentasi rentang hidup manusia yang terlampau panjang akan menumpulkan motivasi dan kemampuan bertahan hidup. Dalam dunia yang tak seimbang itu, bukan tak mungkin para diktator akan hidup, memimpin--dan menindas--lebih lama.
ADVERTISEMENT
“Menurut saya, penemuan metode-metode untuk perpanjang umur manusia dapat memicu kekacauan dan bencana sosial,” kata Fukuyama, dilansir The Washington Post.
Perdebatan moral dan etika tak akan pernah luput saat membicarakan upaya teknologi untuk membuat manusia bisa hidup hingga ratusan tahun lamanya--bahkan mungkin saja menentang kematian.
Manusia lalu akan sibuk berlomba dan membayar harga selangit demi membuktikan narasi mana yang akan menang: kematian sebagai takdir atau masalah yang bisa diselesaikan.
Terlepas dari segala argumentasi yang berpusar, bagi sebagian orang takdir bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Jika saja kematian memberi pilihan, maka tombol ‘lain kali’ barangkali yang ditekan.
ADVERTISEMENT
===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!