AS Terbuka 2019, Tapal Batas Era Baru Tenis?

11 September 2019 19:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rafael Nadal juara AS Terbuka 2019 Foto: Danielle Parhizkaran-USA TODAY Sports/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Rafael Nadal juara AS Terbuka 2019 Foto: Danielle Parhizkaran-USA TODAY Sports/REUTERS
ADVERTISEMENT
Beberapa hari jelang final tunggal putra dan putri Amerika Serikat (AS) Terbuka 2019, The Ringer menerbitkan tulisan menggelitik berjudul How will Tennis Survive Without Its Superstars?
ADVERTISEMENT
Bila diterjemahkan secara plastis ke dalam Bahasa Indonesia, artinya akan menjadi begini: Coba pikir, bakal seperti apa jadinya saat tenis kehilangan para legenda hidupnya?
Tidak perlu berpikir sampai setragis mati, misalnya. Yang wajar-wajar saja. Petenis-petenis macam Roger Federer, Novak Djokovic, Rafael Nadal, dan Serena Williams memutuskan untuk gantung raket alias pensiun.
Novak Djokovic dan Roger Federer usai final Wimbledon 2019. Foto: Susan Mullane-USA TODAY Sports/File Photo/REUTERS
Pensiun adalah perkara wajar di ranah olahraga. Yang jadi masalah, keempat manusia ini seperti tidak wajar. Tidak satu pun di antara mereka yang berusia 30 tahun ke bawah.
Parahnya, keempatnya adalah tokoh utama di panggung tenis modern. Hitung-hitung lagi berapa kali Serena sampai ke final tunggal putri Grand Slam sejak debutnya di Australia Terbuka 1998. Begitu pula dengan Djokovic, Nadal, dan Federer.
ADVERTISEMENT
Sekuat apa pun keempat petenis ini berlaga, pada akhirnya karier mereka akan tamat juga. Toh, para pendahulu mereka juga seperti itu. Ingat-ingat lagi sedominan apa Rod Laver, Margaret Court, Billie-Jean King, Andre Agassi, Pete Sampras, Martina Hingis, atau bahkan Bjorn Borg ketika masih aktif dulu.
Direktur Madrid Terbuka, Feliciano Lopez, tidak dapat membayangkan bakal seperti apa tenis tanpa keempat pemain tadi. Bagi Lopez, dunia menaruh perhatian pada tenis karena keberadaan Serena, Nadal, Djokovic, dan Federer.
Serena Williams di final AS Terbuka 2019. Foto: Danielle Parhizkaran-USA TODAY Sports/REUTERS
Tidak perlu jauh-jauh. Ambil contoh laga final tunggal putra Wimbledon 2019 antara Federer dan Djokovic. Ada 3,329 juta orang di AS yang menyaksikan pertandingan tersebut via siaran ESPN.
Angka itu menjadi yang tertinggi kedua di sepanjang sejarah ESPN. Yang pertama adalah laga final Wimbledon 2012 antara Andy Murray dan Federer.
ADVERTISEMENT
“Semua orang senang karena tahun ini Federer datang ke Madrid. Kami memecahkan rekor. Selama kamu bisa memastikan Federer dan Nadal berpartisipasi di sini, semuanya akan baik-baik saja, bahkan berjalan dengan hebat,” jelas Lopez.
Nomor tunggal putri tampaknya akan menjadi lebih dulu siap jika suatu saat nanti mereka akan kehilangan para legenda hidupnya. Setidaknya, itu terlihat dari tiga episode terakhir. Dua belas kompetisi Grand Slam melahirkan 10 orang juara berbeda.
Naomi Osaka juara tunggal putri Australia Terbuka 2019. Foto: REUTERS/Adnan Abidi
Rinciannya bisa kita uraikan seperti ini. Pada 2017 juaranya adalah Serena (Australia Terbuka), Jelena Ostapenko (Prancis Terbuka), Garbine Muguruza (Wimbledon), dan Sloane Stephens (2017).
Oke, berlanjut pada 2018. Perhatikan siapa saja yang menjadi juara: Caroline Wozniacki (Australia Terbuka), Simona Halep (Prancis Terbuka), Angelique Kerber (Wimbledon), dan Naomi Osaka (AS Terbuka).
ADVERTISEMENT
Terakhir, mari tengok siapa yang menjadi kampiun pada 2019: Osaka (Australia Terbuka), Ashleigh Barty (Prancis Terbuka), Halep (Wimbledon), dan Bianca Andreescu (AS Terbuka).
Torehan gelar juara Grand Slam Serena di sektor tunggal putri yang mencapai angka 23 itu belum terkejar oleh petenis tunggal putri mana pun. Namun sejak kembali berlaga pasca-cuti melahirkan, Serena belum sanggup menggenapkan torehan trofi Grand Slam tunggal putrinya menjadi 24 dan menyamai rekor Court.
Bahkan di final AS Terbuka ia dikalahkan dua kali beruntun oleh petenis muda: Osaka (20 tahun pada 2018) dan Andreescu (19 tahun pada 2019).
Coco Gauff merayakan kemenangan di babak ketiga tunggal putri Wimbledon 2019. Foto: REUTERS/Toby Melville
Itu masih bicara soal laga final dan siapa yang menjadi kampiun. Jika diperhatikan, gelaran Grand Slam memberikan tempat yang cukup luas bagi para petenis muda di tunggal putri: Mulai dari Amanda Anisimova, Marketa Vondrousova, hingga yang paling sensasional, Cori 'Coco' Gauff.
ADVERTISEMENT
Persoalan terbesar justru tampak di nomor tunggal putra. Dalam kurun 2017 hingga 2019, juaranya itu-itu melulu. Tidak percaya? Amati saja daftar berikut.
Federer menjadi juara di Australia Terbuka 2017 dan 2018, serta Wimbledon 2017. Nadal menjadi kampiun di Prancis Terbuka 2017, 2018, dan 2019 serta AS Terbuka 2017 dan 2019. Djokovic merengkuh gelar di Wimbledon 2018 dan 2019, Australia Terbuka 2019, serta AS Terbuka 2018 dan 2019.
Itu berarti seluruh kompetisi Grand Slam pada 2017 hingga 2019 di nomor tunggal putra dijuarai oleh Big Three.
AS Terbuka 2019 menjadi satu-satunya turnamen yang menampilkan pertandingan final antar salah satu personel Big Three melawan petenis muda. Sementara, finalis non Big Three lain dalam kurun tersebut adalah Marin Cilic, Stanislas Wawrinka, dan Kevin Anderson.
ADVERTISEMENT
Daniil Medvedev di AS Terbuka 2019. Foto: Geoff Burke-USA TODAY Sports/REUTERS
Lawan Nadal di partai puncak adalah petenis Rusia, Daniil Medvedev. Usianya kini masih 23 tahun. Memang tidak muda-muda amat, sih, tapi layak disebut usia ideal.
Yang menyenangkan Medvedev juga memberikan perlawanan brilian kepada Nadal. Medvedev memang kalah dalam dua set awal, tetapi ia bangkit dan menutup set ketiga dan keempat dengan kemenangan.
Berangkat dari catatan itu tidak mengherankan jika nomor tunggal putra diperkirakan bakal tidak siap saat ditinggal para superstarnya. Judy Murray, ibu sekaligus mantan pelatih Andy Murray, menyebut bahwa ranah ini akan syok berat jika peristiwa itu benar-benar terjadi.
Argumen itu tidak berlebihan. Big Three tidak cuma berkontribusi dalam waktu lama, tetapi juga mendominasi secara konsisten.
ADVERTISEMENT
Serena Williams dan Bianca Andreescu Foto: Dan Hamilton-USA TODAY Sports/ REUTERS
Masalahnya, tenis sebagai olahraga individual mesti bersaing berat dengan olahraga lain, terutama dari olahraga tim, seperti sepak bola dan basket. Jika masa itu benar-benar terjadi, segenap elemen di jagat tenis mesti bekerja lebih keras untuk menjamin tenis tidak akan kehilangan atensi karena para legenda hidup acap menjadi magnet.
Melihat seperti apa Serena, Djokovic, Federer, dan Nadal berlaga di tahun-tahun belakangan, rasanya sulit percaya usia mereka sudah tidak muda lagi. Rangkaian pukulan mereka tetap bertenaga, taktik mereka tetap sulit dibendung.
Namun, waktu menyebalkan bagi entah berapa banyak pencinta tenis itu tetap akan datang. Jika bintang saja bisa meledak, masa karier para petenis tidak bakal habis?