Battle of the Sexes: Kesetaraan dalam Tiga Set

16 Januari 2018 14:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
20-9-1973: Billie Jean King vs Bobby Riggs. (Foto: AP File)
zoom-in-whitePerbesar
20-9-1973: Billie Jean King vs Bobby Riggs. (Foto: AP File)
ADVERTISEMENT
Lapangan olahraga seringnya tidak hanya berbicara tentang siapa yang menjadi juara. Ia juga menjadi ranah kelahiran dari sejumlah epos.
ADVERTISEMENT
Sócrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira (yang biasa disebut Socrates), dikenal dengan aksinya menggalang kampanye politik bertajuk 'Corinthians Democracy Movement'. Gerakan ini dimaksudkan sebagai kampanye untuk membela hak-hak pemain sepak bola dan memperkenalkan demokrasi.
Tulisan 'Vote on the 15th' pada tahun 1982 di belakang semua kostum pemain Corinthians merupakan upaya untuk mengembalikan supremasi rakyat lewat sepak bola. Sementara, sepak bola Tulehu yang digagas oleh Sani Tawainella bercerita tentang kebangkitan dari konflik agama yang meluluhlantakkan Tulehu.
Bagi Billie Jean King, yang menjadi batas di lapangan tenis adalah garis tepi, bukan persoalan kelamin.
20 September 1973, Billie Jean King memasuki lapangan Houston Astrodome laiknya penari di pertunjukan ala Las Vegas. Ia tidak berjalan ke lapangan. Ia diarak, duduk di atas tandu menyerupai singgasana berwarna emas, lengkap dengan ornamen bulu-bulu besar berwarna merah muda. Ia tampil meriah. Kata orang-orang, atmosfernya lebih mirip final Super Bowl ketimbang turnamen tenis.
ADVERTISEMENT
Kacamata berbingkai lebar yang menempel aneh di wajah Billie Jean King menarik perhatian. Seharusnya, kacamata itu membikinnya terlihat seperti kutu buku yang kerap kikuk di tengah keramaian. Tapi kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi, senyumnya merekah selebar-lebarnya yang ia bisa.
Ia menikmati keramaian dan menelan semua elu-elu yang ditujukan padanya. Kalau ini terjadi di masa sekarang, penampilannya ini bakal membikin kita terpana dan bergumam, “She rocks the stage!”
Namun, Billie Jean King bukan penampil di ranah hiburan. Ia petenis profesional. Di sepanjang kariernya, ia berhasil meraih 39 gelar Grand Slam di semua nomor yang diikutinya. Arak-arakan tadi kemudian menjadi penanda digelarnya pertandingan tenis paling tidak masuk akal yang pernah terjadi di dunia.
ADVERTISEMENT
Mother’s Day Massacre
Yang menjadi lawan Billie Jean King waktu itu adalah Bobby Riggs, yang bernama asli Robert Larimore Riggs. Agaknya semua yang bernama Robert memang dipanggil dengan sebutan Bobby. Ia petenis asal Amerika Serikat peraih tiga gelar Grand Slam Wimbledon 1939 (nomor tunggal pria, ganda pria, dan ganda campuran), serta Amerika Serikat Terbuka 1939 dan 1941.
Nama Bobby Riggs tak hanya besar di ranah tenis, tapi di atas meja judi. Dalam biografi pertamanya, 'Tennis is My Racket', yang rilis tahun 1949, Bobby mengungkapkan bahwa ia memasang taruhan untuk diri sendiri. Di taruhan itu ia mengklaim bahwa ia dapat memenangi tiga nomor Wimbledon: tunggal, ganda, dan ganda campuran.
Taruhan itu bukan omong kosong. Ia menang di ketiga nomor itu di perhelatan Wimbledon 1939. Aksinya membuahkan hasil. Ia tak cuma menang turnamen, tetapi juga 105.000 dollar. Padahal, waktu itu judi dan bursa taruhan masih ilegal di Inggris, negara tempat penyelenggaraan Wimbledon.
ADVERTISEMENT
Tahun 1973, Bobby Riggs sudah gantung raket, ia pensiun dari dunia tenis. Usianya waktu itu sudah 55 tahun, sudah tak mungkin baginya untuk turun ke lapangan.
Sementara, Billie Jean King berusia 29 tahun. Kariernya sedang bagus-bagusnya. Raihan prestasinya patut diperhitungkan. Sebelum pertandingan melawan Bobby Riggs, ia telah merebut 10 gelar Grand Slam, lima di antaranya karena berhasil menaklukkan Wimbledon.
Sebelum Perang Dunia II, nama Bobby Riggs memang bersinar. Ia dikenal sebagai petenis papan atas. Raihannya juga tidak main-main. Selain tiga gelar Grand Slam tadi, ia juga jadi juara di US Pro dan Wembley Pro. Namun, Perang Dunia II menjadi batu sandungan dalam perjalanan karier Bobby sebagai petenis profesional. Perang membuatnya tak bisa bertanding di luar negeri.
Bobby Riggs, 20 September 1973. (Foto: AP Files)
zoom-in-whitePerbesar
Bobby Riggs, 20 September 1973. (Foto: AP Files)
Satu hal yang harus dilakukan oleh Bobby Riggs adalah mengembalikan reputasi. Membikin namanya jadi pembicaraan sama seperti saat ia masih bermain tenis. Lantas, ia mulai berkoar. Menempatkan diri sebagai 'male chauvinists' paling terkemuka di dunia.
ADVERTISEMENT
Ia menantang Margaret Court, petenis wanita yang jadi saingan terberat Billie Jean, dalam satu pertandingan. Margaret menyetujui dan mereka bertemu di satu lapangan tenis, ditonton entah berapa banyak penonton.
Pertandingan itu digelar bertepatan dengan Hari Ibu, Mei 1973. Sebelum pertandingan dimulai, Bobby Riggs memberikan Margaret Court buket bunga mawar. Margaret membungkuk laiknya putri di dongeng-dongeng pengantar tidur, pemandangan yang membikin ngeri banyak penonton wanita.
Setelahnya, Bobby Riggs menguasai pertandingan. Ia menang mudah, kelewat mudah malahan. Pertandingan itu selesai dalam 57 menit dengan skor 6-2, 6-1 untuk keunggulan Bobby Riggs. Lalu hari itu dikenal sebagai 'Mother’s Day Massacre'.
The Original 9
Permasalahan seksis mulai marak terdengar di ranah tenis bahkan sebelum turnamen tenis berubah menjadi format terbuka. Ia mewujud dalam jumlah uang hadiah kompetisi petenis pria yang jauh lebih besar daripada wanita.
ADVERTISEMENT
Billie Jean King mulai bermain di kompetisi nasional sejak tahun 1959. Turnamen internasional pertamanya adalah Wimbledon 1961, waktu itu ia berusia 17 tahun. Namanya tercatat sebagai salah satu petenis yang paling gencar menyuarakan bahwa turnamen tenis harus berformat terbuka. Kompetisi yang memungkinkan petenis amatir dan profesional bertemu dalam satu pertandingan.
Kontrak USD 1 turnamen Virgina Slims. (Foto: Dokumentasi WTA.)
zoom-in-whitePerbesar
Kontrak USD 1 turnamen Virgina Slims. (Foto: Dokumentasi WTA.)
Era turnamen terbuka dimulai tahun 1968. Wimbledon pertama di era kompetisi terbuka dimenangi oleh Billie Jean King. Uang hadiah yang diterimanya saat itu sebesar 750 poundsterling. Seketika ia menyadari bahwa jumlah ini jauh lebih kecil daripada yang diterima pria. Waktu itu, juara nomor pria, Rod Laver, menerima uang hadiah sampai 2.000 poundsterling.
Billie Jean King tetap bermain, ia terus mengayun raket di turnamen-turnamen. Kemudian, ia mendengar bahwa sekelompok petenis pria akan membentuk federasi tenis. Ia girang bukan kepalang. Namun, itu sebelum ia tahu bahwa kelompok tadi tidak mengikutsertakan para petenis wanita.
ADVERTISEMENT
“Tidak ada yang bakal menonton kalian, para wanita, bermain tenis,” seperti itulah jawaban mereka saat ditanya Billie Jean King menyoal keikutsertaan petenis wanita.
Yang dilakukan Billie Jean King kemudian adalah menciptakan turnamen tenisnya sendiri. Bersama enam orang petenis asal Amerika Serikat lainnya: Rosemary Casals, Nancy Richey, Peaches Bartkowicz, Kristy Pigeon, Valerie Ziegenfuss, dan Julie Heldman, serta dua petenis Australia, Kerry Melville Reid dan Judy Tegart Dalton -Billie Jean yang juga dibantu oleh pendiri majalah World Tennis, Gladys Heldman, memutuskan untuk memperjuangkan kesetaraan petenis wanita.
Keputusan ini sama dengan mempertaruhkan masa depan karier mereka sebagai petenis. Aksi ini dinilai sama dengan memberontak statuta yang telah ditetapkan oleh Federasi Tenis Amerika Serikat (USTLA) saat itu.
ADVERTISEMENT
Turnamen yang mereka ciptakan ini bertajuk Virginia Slims Circuit. Ia digelar dari kota ke kota pada tahun 1971. Sebagai bentuk protes, mereka menandatangani kontrak bernilai USD 1 untuk mengikuti turnamen. Belakangan, nama Margaret Court muncul sebagai peserta dan pemenang turnamen ini.
Billie Jean King memulai tenisnya dengan pertanyaan seperti ini, “Waktu saya berumur 12 tahun, saya menyadari para petenis mengenakan kostum tenis yang seragam. Terusan putih, sepatu putih, semuanya berwarna putih. Lantas saya bertanya: Kenapa harus putih melulu? Ke mana warna yang lain?”
Dan setelahnya, mereka yang bertanding di Virginia Slims mulai mengenakan kostum yang tak putih melulu. Pemandangan yang sederhana, tapi menjadi penanda bahwa era tenis yang baru sudah dimulai. Tenis yang tak lagi takut-takut untuk menggebrak tatanan.
ADVERTISEMENT
Billie Jean King percaya bahwa kekalahan Margaret Court atas Bobby Riggs berpeluang mencoreng apa yang dia perjuangkan lewat turnamen Virginia Slims. Sebelum bertanding melawan Margaret, sebenarnya Bobby telah menantang Billie Jean. Namun, ia menolak. Karena mengiyakan ajakan Bobby sama dengan memberikan panggung buat orang-orang sepertinya.
Kekalahan Margaret Court mendorong Billie Jean King untuk menjawab tantangan Bobby. Petenis yang jadi lawannya ini memang gila judi. Hadiahnya dinaikkan menjadi 100 ribu dolar AS.
Battle of the Sexes
Usai kemenangannya atas Margaret Court, Bobby Riggs semakin berkoar. Berkali-kali ia mengenakan kaus yang bertuliskan 'WORMS', akronim dari 'World’s Organisation for the Retention of Male Supremacy'.
“Saya bertanding untuk membela pria-pria muda yang diperbudak oleh kaum wanita. Suatu saat mereka akan menikah."
ADVERTISEMENT
"Yang terjadi setelahnya, mereka bahkan tidak akan bisa keluar seminggu sekali untuk bermain poker dan berburu. Wanita-wanita itu harus dihentikan sekarang juga,” demikian petikan salah satu wawancara Bobby menjelang pertandingannya melawan Billie Jean King.
Billie Jean King memasuki Houston Astrodome. (Foto: AP )
zoom-in-whitePerbesar
Billie Jean King memasuki Houston Astrodome. (Foto: AP )
Hari pertandingan yang disebut-sebut sebagai 'Battle of the Sexes' berlangsung meriah. Ia disaksikan oleh kurang-lebih 100 juta penonton televisi, dihadiri oleh sekitar 30 ribu penyaksi. Catatan ini menciptakan rekor sebagai pertandingan tenis dengan jumlah penonton terbanyak, yang sampai sekarang belum bisa dipecahkan oleh pertandingan tenis apa pun.
Penonton yang datang ke arena membawa atributnya masing-masing. Sebagian besar wanita membawa spanduk dan papan-papan bertuliskan 'I Love BJK' (akronim nama Billie Jean King), sementara para pendukung Bobby Riggs mengenakan kaus bertuliskan 'Male Chauvinist Pig'. Salah seorang dari 'The Original 9', Rosemary Cassals, ditunjuk sebagai juru bicara Billie Jean di sepanjang pertandingan.
ADVERTISEMENT
Kedua petenis diarak memasuki lapangan. Billie Jean King duduk di atas tandu emas yang digotong oleh sejumlah pria, sementara Bobby Riggs naik ke atas tandu warna-warni yang diiringi oleh beberapa model wanita.
Menjelang pertandingan, mereka berdua bertukar hadiah. Billie Jean menghadiahi lawannya babi kecil (babi hidup, benar-benar seekor babi hidup) berpita, sedangkan Bobby Riggs memberikan model lolipop raksasa yang bertuliskan 'Sugar Daddy'.
Dalam wawancaranya bersama Angelina Chapin (juga dikenal sebagai editor untuk Huffington Post) untuk The Guardian, Billie Jean King menjelaskan mengapa pertandingan ini begitu penting. Saking pentingnya, ia tidak boleh kalah.
Menanggung kekalahan bukan tentang kehilangan uang hadiah, tapi kehilangan momentum bagi tenis wanita untuk berbicara lantang. “Seandainya saya (Billie Jean King) kalah, tenis wanita akan menderita, Title IX (Original 9) akan benar-benar kewalahan, dan pergerakan wanita akan hancur.”
ADVERTISEMENT
Di atas lapangan tenis di Houston Astrodome, Billie Jean King 'berbicara' kepada dunia bahwa tenis wanita dan wanita itu sendiri bukan lelucon. Ia menang dalam tiga set langsung melawan Bobby Riggs, 6-4 6-3 6-3. Billie Jean ibarat nabi yang bernubuat lewat tenisnya. Nubuatan itu berlaku sampai sekarang dan harus terus berlaku.
Australia Terbuka 2018
Australia Terbuka menjadi seri pertama kompetisi perebutan gelar Grand Slam tahun ini yang digelar di Melbourne Park tanggal 15-28 Januari 2018. Selaiknya tenis itu sendiri, kompetisi ini tak melulu disibukkan dengan prediksi siapa mengalahkan siapa dan petenis mana yang bakal merebut gelar, tapi juga tentang isu kesetaraan.
Margaret Court yang namanya digunakan sebagai nama salah satu lapangan utama menyampaikan pendapatnya tentang LGBT di dunia tenis dan negaranya. Dalam salah satu wawancara radio, ia menentang keputusan pemerintah yang melegalkan pernikahan sesama jenis.
ADVERTISEMENT
Keputusan itu bertentangan dengan apa yang dipercayai oleh Margaret. Terlebih, saat ini ia sudah ditahbiskan sebagai salah satu pemuka agama. Menurut Margaret, keputusan pemerintah itu sedikit-banyak pasti dipengaruhi oleh keberadaan atlet.
Billie Jean di konferensi pers Australia Terbuka. (Foto: AAP Image/Julian Smith/via REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Billie Jean di konferensi pers Australia Terbuka. (Foto: AAP Image/Julian Smith/via REUTERS)
Lantas, Billie Jean King juga angkat suara menyoal pernyataan Margaret Court. Katanya, ia bakal menolak untuk bertanding seandainya ia belum pensiun dan ditentukan untuk bermain di lapangan Margaret Court Arena, walaupun lapangan ini ditetapkan sebagai lapangan utama bersama Rod Laver Arena.
Bagi Billie Jean King, pernyataan Margaret Court ini bukan hanya melukai para gay, lesbian, dan transgender (termasuk Billie Jean King yang saat berusia 51 tahun, mulai terbuka menjelaskan bahwa ia seorang lesbian), tetapi juga menandakan bahwa Margaret Court gagal untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai petenis yang namanya digunakan untuk lapangan.
ADVERTISEMENT
Mereka yang namanya digunakan untuk fasilitas publik, seharusnya bersedia menerima siapa pun dengan tangan terbuka. Bukannya menyingkirkan kelompok yang dianggap berbeda dengan apa yang dipercayainya. Karena bagaimanapun, penggunaan nama Margaret Court didasari atas prestasinya di ranah tenis, bukan atas apa yang dipercayainya.
Serupa Margaret Court, nama Billie Jean King digunakan sebagai lapangan tenis yang menjadi venue untuk gelaran AS Terbuka. Sebagai salah seri dari kompetisi Grand Slam, AS Terbuka menjadi kompetisi pertama yang menyamakan hadiah untuk nomor pria dan wanita. Wimbledon menjadi yang terakhir, yang menyamakan hadiahnya pada tahun 2007 dipicu oleh esai yang ditulis oleh Venus Williams di The London Times pada Juni 2006.
***
Saat berjalan memasuki lapangan di Houston Astrodome, seorang wartawan bertanya kepada Billie Jean King tentang siapa yang lebih baik, pria atau wanita. Atas pertanyaan ini, Billie Jean menjawabnya demikian, “Untuk sejumlah hal, pria memang lebih baik daripada wanita."
ADVERTISEMENT
"Dan begitu pula sebaliknya, wanita lebih baik daripada pria untuk sejumlah hal. Namun, itu bukan hal penting. Pesan yang saya bawa bukan siapa yang lebih baik, bukan pula tentang uang, tapi tentang kesetaraan pria dan wanita.”