Bayern, TSV 1860, dan Gurat Nasib yang Dipisahkan Sebuah Tamparan

5 Desember 2017 13:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suporter Bayern Muenchen. (Foto: AFP/Daniel Roland)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Bayern Muenchen. (Foto: AFP/Daniel Roland)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Semua ini, semua kekacauan ini, semua bencana ini, semua yang terjadi kepada TSV 1860 Muenchen, berawal dari sebuah tamparan. Siapa yang melakukan tidaklah penting karena, toh, namanya tidak pernah tercatat dalam buku sejarah. Namun, tidak begitu dengan si korban, si penerima tamparan itu.
ADVERTISEMENT
Dia adalah Franz Beckenbauer. Orang-orang menyebutnya Der Kaizer. Sang Kaisar.
Beckenbauer, ketika itu, sama sekali belum cukup umur. Akil baligh mungkin sudah, tetapi cukup umur? Jelas belum.
Sang Kaisar lahir di antara puing-puing kota Muenchen yang luluh lantak akibat perang, tepatnya di daerah Glesing yang merupakan daerah yang kental aroma buruhnya. Pada usia sembilan tahun, meski sudah dilarang oleh sang ayah, Beckenbauer kecil tetap nekat bergabung dengan akademi milik SC Muenchen '06.
Ketika bergabung dengan SC Muenchen '06, Beckenbauer sedang gandrung-gandrungnya terhadap Fritz Walter yang kebetulan baru saja membawa Jerman Barat menjadi juara dunia. Dirinya pun ingin punya cita-cita menjadi penyerang andal seperti idolanya tersebut.
Namun, sebagai bocah asli Muenchen, tentu saja Beckenbauer tidak mengidolai Kaiserslautern yang merupakan klub tempat Walter bermain. Sebagai bocah asli Muenchen, apalagi yang lahir dan besar di Glesing, klub idola Beckenbauer adalah TSV 1860 Muenchen.
ADVERTISEMENT
Bagi Franz Beckenbauer muda, mengidolakan TSV memang jauh lebih masuk akal dan ini bukan cuma karena dia berasal dari Glesing, tetapi karena kala itu, TSV memang sedang berada di atas. Tiga tahun sebelum Beckenbauer lahir, tepatnya pada 1942, TSV berhasil memenangi Tschammerpokal yang kini bernama DFB Pokal mengalahkan Schalke 04 dan gelar itu adalah gelar juara level nasional pertama yang diraih klub sepak bola asal Muenchen sejak 1932.
Beckenbauer menimba ilmu di SC Muenchen '06 selama lima tahun, dari 1954 sampai 1959. Ketika itu, dia cuma punya satu keinginan, yakni agar secepat mungkin bisa angkat kaki dari sana dan bergabung dengan akademi klub idolanya, TSV. Apa yang diinginkan Beckenbauer itu memang masuk akal dari semua sisi. Selain karena TSV adalah klub yang dia favoritkan, TSV juga tentu saja memiliki lebih banyak sumber daya untuk mengembangkan bakatnya dibandingkan SC Muenchen '06.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, kemudian tibalah hari bersejarah di tahun 1958 itu.
Suatu hari, bertemulah tim U-14 SC Muenchen '06 dan TSV di sebuah lapangan di Neubiberg, bagian tenggara Muenchen. Uli Hesse, dalam bukunya 'Tor!: The Story of German Football', menuliskan bahwa entah apa penyebabnya, tiba-tiba saja ada seorang pemain TSV yang menampar pemain SC Muenchen '06, dan pemain yang ditampar itu adalah Franz Beckenbauer. Di situlah kemudian Sang Kaisar memutuskan bahwa dirinya tidak sudi bergabung dengan klub yang pemainnya berbuat seperti itu.
***
Beckenbauer dengan trofi Piala Dunia. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Beckenbauer dengan trofi Piala Dunia. (Foto: AFP)
Sekitar seabad sebelum Franz Beckenbauer lahir, sebuah revolusi bergolak di seantero Eropa. Tujuan revolusi itu cuma satu: menghapuskan monarki dan mendirikan republik.
Di Jerman, revolusi ini disebut juga sebagai Revolusi Maret dan meski tidak terkoordinasi dengan baik, aksi protes digelar serentak di semua negara bagian Jerman. Di Bavaria, wabil khususnya Muenchen, pun demikian.
ADVERTISEMENT
Revolusi ini tidak berlangsung lama dan akhirnya gagal. Gerakan revolusioner yang dimotori masyarakat kelas pekerja dan kelas menengah ini, pada akhirnya, tidak cukup menggigit untuk menyingkirkan kaum aristokrat. Bahkan, banyak dari para penggerak revolusi ini yang kemudian justru diasingkan.
Namun, revolusi itu bukannya sama sekali tidak berbekas. Pada 15 Juli 1848, ketika revolusi tengah gencar-gencarnya disuarakan, terbentuklah sebuah klub olahraga di sebuah pub bernama Buttlesche Brauerei zum Bayerischen Loewen. Sayangnya, setahun kemudian, klub ini dibubarkan oleh Kerajaan Bavaria karena dianggap menjadi sarang untuk aktivitas-aktivitas republikan.
Namun, para pendiri klub itu tidak patah arang. Pada 1860, mereka mendirikan ulang klub ini dan kemudian, pada 1862, setelah melalui merger dengan berbagai klub lainnya, lahirlah secara resmi klub bernama Turnverein Muenchen.
ADVERTISEMENT
Revolusi 1848 di Berlin. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Revolusi 1848 di Berlin. (Foto: Wikimedia Commons)
Turnverein Muenchen sendiri kemudian terus berkembang, hingga akhirnya, nama mereka berubah menjadi Turn-und Sportverein Muenchen von 1860 atau TSV 1860 Muenchen. Lalu, jelang abad berganti, tepatnya pada 1899, cabang sepak bola untuk klub ini dibentuk. TSV 1860 Muenchen pun resmi menjadi klub sepak bola tertua di Muenchen.
Setahun berselang, dibentuklah sebuah klub sepak bola baru bernama Bayern Muenchen dan kedua tim ini bersua untuk pertama kalinya pada 1902. Kala itu, Bayern menang telak 3-0 dan dari situ, terbentuklah rivalitas antara kedua institusi ini.
Namun, laiknya rivalitas antara dua tim sekota pada umumnya, ada pasang-surut yang senantiasa mewarnai. Pada 1931, TSV menjadi klub Bavaria pertama yang mampu berbicara banyak di level nasional. Mereka sukses melaju ke final Kejuaraan Jerman sebelum dikalahkan Hertha BSC.
ADVERTISEMENT
Bayern pun, ternyata, tidak mau kalah. Hanya setahun berselang, giliran mereka yang berhasil menapak partai puncak dan ternyata, di sini peruntungan Bayern lebih baik karena kemudian, mereka berhasil mengalahkan Eintracht Frankfurt untuk menyegel gelar juara Jerman untuk pertama kalinya.
Pada masa itu, Jerman sebenarnya tidak memiliki kompetisi level nasional. Yang ada, ketika itu, adalah kompetisi regional berbentuk turnamen dan para jawara kompetisi regional itu kemudian diadu untuk memperebutkan gelar juara level nasional.
Celakanya, di tengah harapan munculnya kompetisi sepak bola profesional level nasional, Nazi kemudian muncul ke permukaan. Oleh rezim fasis itu, kompetisi Gauliga dibentuk dan ternyata, sistem yang digunakan pun sama persis dengan kompetisi yang sudah ada sebelumnya. Bedanya, jumlah peserta Gauliga ini lebih banyak karena klub-klub dari negara yang dikuasai Nazi pun turut serta.
ADVERTISEMENT
Meski situasi tidak ideal, TSV tetap mampu menjadi kesebelasan Muenchen paling kuat. Berbekal stadion berkapasitas 40 ribu tempat duduk, mereka akhirnya mampu menjuarai Gauliga Bavaria pada 1941 dan 1943. Gelar Tschammerpokal pada 1942 itu makin melengkapi kedigdayaan TSV di Muenchen dan Bavaria.
Di saat yang bersamaan, Bayern terpuruk. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan, adalah karena mereka kala itu dipimpin oleh seorang Yahudi bernama Kurt Landauer. Dari situ, pemerintah Nazi pun menganakemaskan TSV dan menjadikan klub ini sebagai "klub milik mereka". Jika TSV kemudian lebih bersinar ketimbang Bayern, itu jelas tak mengherankan.
Kesuksesan TSV ini sempat berhenti pada dekade 1950-an di mana mereka mengalami pasang-surut prestasi. Namun, di situ Bayern pun bukan merupakan ancaman karena mereka pun lebih kesulitan lagi. Akhirnya, TSV mampu melewati masa-masa pasang-surut itu dan sampai ke dekade keemasan mereka, dekade 1960-an.
ADVERTISEMENT
Pada 1963, ketika Bundesliga akhirnya dibentuk, TSV ditunjuk sebagai salah satu klub peserta pertama. Hal ini, mereka raih karena sebelumnya, pada tahun 1962, Die Loewen (Sang Singa) berhasil menjadi juara Oberliga Sued yang merupakan salah satu kompetisi regional pasca-Gauliga. Dengan kebijakan satu klub per region yang ditetapkan para pendiri Bundesliga di masa awal, titel Oberliga Sued itu praktis menjadi milik TSV.
TSV 1860 Muenchen juara Bundesliga. (Foto: Dok. TSV 1860 Muenchen)
zoom-in-whitePerbesar
TSV 1860 Muenchen juara Bundesliga. (Foto: Dok. TSV 1860 Muenchen)
TSV pun tak butuh waktu lama untuk kembali berprestasi. Pada musim pertamanya berlaga di Bundesliga, mereka berhasil menjuarai Piala Jerman dan hal ini membawa mereka ke Piala Winners. Di situ, mereka pun berhasil masuk ke partai puncak sebelum akhirnya dikalahkan West Ham United.
Namun, kekalahan dari West Ham itu tidak menyurutkan prestasi TSV di kancah nasional. Pada musim 1965/66, mereka berhasil menjadi juara Bundesliga. Sampai di titik itu, (seharusnya) tidak ada yang bisa menghentikan TSV untuk menjadi klub terbesar di Muenchen, bahkan di Bavaria.
ADVERTISEMENT
***
Tahun 1959, bagi Bayern Muenchen, bukanlah tahun-tahun bergeliman trofi. Mereka kala itu masih terseok-seok di kancah Oberliga Sued dan rasanya, hampir tidak ada harapan bagi mereka untuk membendung laju TSV.
Namun, ada satu hal penting di tahun tersebut yang nantinya bakal menjadi titik balik segalanya. Pada 1959, Franz Beckenbauer yang sebelumnya sudah merasa sakit hati dengan TSV akhirnya memilih untuk bergabung dengan akademi Bayern.
Sisanya, tentu saja, adalah sejarah. Bersama Beckenbauer, Bayern menaklukkan dunia. Dan ini, bermula pada musim 1965/66 ketika mereka menjadi kampiun Piala Jerman. Ya, di saat yang bersamaan dengan keberhasilan TSV menjuarai Bundesliga, Bayern bergerak dalam diam dan menyegel trofi pertama mereka di era Bundesliga. Gelar Piala Jerman itu membawa mereka ke Piala Winners dan, tak seperti TSV, mereka berhasil menjadi juara di ajang ini setelah mengalahkan Rangers.
ADVERTISEMENT
Pada masa itu, selain Beckenbauer, Bayern juga telah diperkuat dua calon legenda lain, Sepp Maier dan Gerd Mueller. Mereka pun kemudian terus menanjak sampai akhirnya, pada 1970, Udo Lattek masuk dengan membawa Paul Breitner dan Uli Hoeness ke Bayern. Dekade 1970-an itu kemudian menjadi generasi emas Bayern yang akhirnya membentuk identitas mereka sampai saat ini.
Sementara itu, di saat Bayern berjaya, TSV justru terperosok. Pada 1970, mereka terdegradasi dan masa-masa sulit ini berlangsung sampai dekade 1990-an. Ketika itu, mereka mengalami krisis finansial dan bahkan, lisensi Bundesliga 2 mereka sempat ditolak pada 1982. Ketika unifikasi Jerman terjadi pun, peruntungan mereka belum berubah, hingga akhirnya, Werner Lorant datang pada 1992.
ADVERTISEMENT
Lorent, bersama pemilik anyar Karl-Heinz Wildmoser, secara instan mampu membawa TSV berprestasi lagi. Pada musim 1997/98, mereka mampu lolos ke Piala UEFA dan pada 1999/2000, Die Loewen berhasil menjejak Liga Champions.
Sayangnya, segala harap harus berhenti sampai di situ karena kemudian, pada musim 2003/04, TSV terdegradasi dan tidak pernah kembali lagi. Karena terdegradasi itulah mereka mengalami masalah keuangan dan hal itulah yang membuat mereka kemudian terus terperosok. Padahal, ketika itu mereka, bersama Bayern, sudah bersiap untuk segera hijrah ke Allianz Arena dari Olympiastadion.
Sejak 2004 itu, TSV belum mampu kembali lagi ke Bundesliga dan bahkan, pada 2006, mereka mengalami kebangkrutan hingga akhirnya, harus diberi dana talangan oleh Bayern. Kala itu, Die Roten membeli saham kepemilikan TSV atas Allianz Arena dengan nilai 11 juta euro. Praktis, sejak saat itu ketika TSV hendak berlaga di Allianz Arena, mereka pun harus menyewa.
ADVERTISEMENT
Markas Bayern Muenchen, Allianz Arena. (Foto: Instagram/Bayern Muenchen)
zoom-in-whitePerbesar
Markas Bayern Muenchen, Allianz Arena. (Foto: Instagram/Bayern Muenchen)
Kemenangan Bayern tak berhenti di situ. Terus menurunnya prestasi TSV membuat mereka akhirnya terdegradasi ke Divisi Tiga pada musim 2016/17 lalu. Hal itu diperparah dengan ketidakmampuan TSV membayar lisensi Divisi Tiga sehingga kini, mereka akhirnya harus mulai lagi dari Divisi Lima.
Berlaga di Divisi Lima, TSV pun akhirnya memilih untuk angkat kaki dari Allianz Arena karena, tentu saja, mereka lebih memilih stadion dengan biaya sewa yang lebih murah. Mereka pun kini kembali ke Gruendwalderstrasse yang dulu pernah mereka gunakan bersama Bayern antara tahun 1925 s/d 1972 ketika Olympiastadion selesai dibangun.
Gruendwalderstrasse, tentu saja, sudah tidak semegah dulu dan kini, selain TSV, stadion milik pemerintah kota itu hanya digunakan oleh tim-tim junior. Sementara, Allianz Arena sendiri kini sudah sepenuhnya menjadi milik Bayern. Dengan begitu, lampu-lampu LED yang terpasang di sekujur tubuh stadion itu tidak perlu lagi beralih rupa menjadi biru, warna kebanggaan TSV. Allianz Arena sudah sepenuhnya merah dan rasanya, akan terus begitu sampai setidaknya, beberapa dekade mendatang.
ADVERTISEMENT
***
Semua itu berawal dari sebuah tamparan. Sebuah tindakan yang tidak mungkin lahir tanpa adanya arogansi berlebih. Pada akhirnya, arogansi itulah yang mengubur mimpi TSV 1860 Muenchen.
Di saat yang bersamaan, Bayern Muenchen terus bertumbuh. Mereka bukan cuma klub terbesar di Jerman apalagi Bavaria atau Muenchen, tetapi juga salah satu yang terbesar di dunia. Sejak era Beckenbauer, Lothar Matthaeus, Philipp Lahm, hingga akhirnya Manuel Neuer, Bayern tidak pernah kekurangan bintang. Dan itu semua, tanpa TSV yang congkak, mungkin takkan pernah terjadi.