Cedera Otak dalam Sepak Bola: Malapetaka yang Mengendap dalam Senyap

6 Desember 2017 15:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Doyle (kanan) berduel dengan Alou Diarra. (Foto: AFP/Franck Fife)
zoom-in-whitePerbesar
Doyle (kanan) berduel dengan Alou Diarra. (Foto: AFP/Franck Fife)
ADVERTISEMENT
Kevin Doyle, idealnya, barangkali masih bisa bermain sepak bola satu, dua, atau tiga musim lagi. Namun, pria yang kini berusia 34 tahun itu memilih untuk mengakhiri karier profesionalnya pada akhir September 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
Keputusan Doyle ini bukan tanpa alasan. Di usia demikian, kariernya memang sudah tak sementerang satu dekade lalu di mana dirinya menjadi peneror gawang lawan untuk Reading sebelum kemudian hijrah ke Wolverhampton Wanderers. Kala itu, walaupun tidak bermain untuk tim papan atas, setidaknya dia mencicipi bagaimana kerasnya Premier League.
Doyle adalah pesepak bola asal Republik Irlandia dan dia pun mengawali karier profesional bersama St. Patrick's Athletic pada 2002. Tiga tahun kemudian, dia direkrut oleh Reading dan menghabiskan waktu sepuluh musim berlaga di Liga Inggris. Kemudian, pada usia 32 tahun, penyerang berpostur 181 cm ini memutuskan untuk menjajal Major League Soccer bersama Colorado Rapids dan barangkali, kepindahannya ke Rapids itu adalah keputusan terbaik sepanjang kariernya.
ADVERTISEMENT
Soal keputusan terbaik Doyle ini, saya tidak sedang berbicara soal bagaimana dia kemudian menjadi penguasa MLS seperti Sebastian Giovinco atau Giovani Dos Santos. Di sini, saya bicara soal bagaimana keputusan ini ke depannya bisa menjadi pembeda apakah dia akan menderita di masa tuanya atau tidak.
Tidak seperti Inggris, Amerika Serikat punya kepedulian lebih soal kesehatan para atletnya, khususnya ketika kita berbicara soal cedera otak. Maraknya kasus gegar otak di kalangan para pemain American football menjadi pemantik bermunculannya berbagai studi serta peringatan soal bahaya yang timbul dari olahraga tersebut.
Pada 2015 lalu, misalnya, dirilislah sebuah film berjudul "Concussion". Film ini didasarkan pada sebuah expose berjudul "Game Brain" yang diterbitkan majalah GQ pada 2009 silam. Di situ diceritakan soal bagaimana dr. Bennet Omalu (Will Smith), seorang patolog forensik yang berusaha melawan supresi National Football League terhadap temuan cedera otak bernama chronic traumatic encephalopathy (CTE). Para pemain NFL pun kemudian digratiskan untuk menonton film ini sebagai upaya untuk meningkatkan kepedulian serta kewaspadaan.
ADVERTISEMENT
CTE ini, seperti dikutip dari The Guardian, ditemukan pada 110 dari 111 pemain American football yang menjadi subjek riset dari Boston University dan Boston Veteran Affairs. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan, adalah benturan berulang-ulang yang menimpa kepala seseorang. Dari sana, kemudian muncullah gejala-gejala berupa kesulitan berkonsentrasi, gangguan pada ingatan, sakit kepala, gangguan mood, sampai demensia. Sayangnya, CTE ini baru benar-benar bisa dipastikan setelah penderitanya meninggal.
Di sinilah Doyle "beruntung" karena dengan bermain di Amerika, respons yang didapatnya pun bisa lebih cepat. Hal ini tersirat dalam pernyataan resminya ketika mundur kala itu.
"Hari ini, dengan rasa sedih aku mengumumkan bahwa setelah mendengarkan saran medis, aku tidak akan terlibat lagi dalam tim musim ini dan aku akan pensiun," ujar Doyle. "Tahun ini memberiku kejelasan bahwa menyundul bola sudah menjadi masalah bagiku di mana hal itu telah menyebabkan sakit kepala berulang. Dua gegar otak musim ini dan berbagai gegar otak yang telah kuderita sebelumnya membuat hal ini semakin mengkhawatirkan saja."
ADVERTISEMENT
"Setelah berkonsultasi dengan para ahli di bidang ini, supaya gejala-gejala ini tidak semakin serius dan jadi permanen, aku akan gantung sepatu."
Apa yang dialami Doyle ini memang tidak banyak terdengar di sepak bola. Akan tetapi, seharusnya tidak begitu. Pada 2002 silam, legenda Tim Nasional Inggris, Jeff Astle, meninggal dunia karena cedera kepala. Namun, ketika itu istilah yang digunakan bukanlah cedera kepala melainkan "penyakit yang berkaitan dengan industri". Dengan kata lain, Astle meninggal karena risiko pekerjaan.
Astle sendiri meninggal di usia 59 tahun dan dalam perjalanan kariernya, seperti juga Doyle, dikenal karena kemampuan menyundul bolanya. Menurut kesaksian istrinya, Lorraine, kondisi kesehatan Jeff Astle sudah memburuk sejak 1997. Dia kemudian mengalami gangguan makan, tidak bisa berbuat apa-apa, dan bahkan, tidak mengenali anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
"Dia menjalani pemindaian otak tahun lalu (2001, red) dan dari situ diketahui bahwa Jeff menderita cedera di bagian depan otaknya. Itu adalah bagian yang biasa dia gunakan untuk menyundul bola," kata Ny. Astle.
"Dia adalah salah satu penyundul bola terhebat dan kala itu, bola masih terbuat dari kulit sehingga menyundulnya akan terasa seperti menyundul sekarung batu bata," imbuhnya.
Kemudian, dalam kesaksian yang diberikannya kepada pengadilan di Burton upon Trent, patolog saraf Queen's Medical Centre di Nottingham, Derek Robson, mengatakan bahwa cedera otak yang dialami Astle itu sama dengan apa yang biasa dia temukan di kepala para petinju.
"Sangat mungkin bahwa itu disebabkan oleh menyundul bola yang sangat berat. Saya masih ingat waktu kecil dulu bagaimana beratnya menyundul bola kulit," imbuh dr. Robson.
ADVERTISEMENT
Dari Jeff Astle, mari kita beranjak ke Eric Harrison. Nama pria satu ini akan selamanya dikenang sebagai sosok yang membuat Class of '92 menjadi begitu fenomenal. Dengan tangan dinginnya, Harrison membentuk Paul Scholes, David Beckham, Nicky Butt, Ryan Giggs dan Neville bersaudara menjadi pemain-pemain hebat.
Harrison sendiri dulunya juga pesepak bola dan dia pun merupakan sosok yang doyan sekali menyundul bola dan bermain keras. Dia pun ketika bermain dulu mendapat julukan "Chopper". Soal ini, Harrison punya taktik tersendiri dan taktik ini dia "curi" dari asisten manajer Coventry City era 1980-an, George Curtis.
Harrison (kiri) bersama Class of '92. (Foto: AFP/Lindsey Parnaby)
zoom-in-whitePerbesar
Harrison (kiri) bersama Class of '92. (Foto: AFP/Lindsey Parnaby)
Harrison dan Curtis sendiri lahir di era yang sama. Lalu, ketika masih sama-sama bermain, Harrison terkesan dengan kebolehan Curtis yang posturnya tidak terlalu tinggi (180 cm) tetapi selalu bisa menyulitkan penyerang-penyerang lawan yang lebih besar. Ternyata, taktik Curtis itu adalah dengan menyundul kepala pemain lawan di awal-awal laga. Dari situ, lawan pun menjadi takut untuk mencoba beradu di udara dengan Curtis. Oleh Harrison, trik itu diadopsi hingga kemudian ditularkan ke anak-anak asuhnya.
ADVERTISEMENT
Celakanya, Harrison kemudian mendapat efek jangka panjang yang sama dengan apa yang didapatkan Astle. Harrison memang masih hidup di usia 79 tahun tetapi dia sudah tidak bisa lagi mengenali siapa-siapa. Dikisahkan Daniel Taylor dalam kolomnya di The Guardian, David Beckham bahkan sampai menangis usai melihat kondisi sang mentor.
Dua kasus yang menimpa Astle dan Harrison ini sebenarnya sudah menjadi bukti bahwa sesungguhnya, bahaya yang mengintai para pesepak bola akibat terlalu sering menyundul bola itu memang nyata. Namun, bahaya itu kemudian tertutupi (atau lebih tepatnya, ditutupi) dengan klaim bahwa apa yang menimpa dua pemain era terdahulu itu disebabkan oleh bola kulit yang keras dan berat. Setidaknya begitu sampai kasus Kevin Doyle ini mencuat.
ADVERTISEMENT
Taylor, dalam kolom yang sama, berargumen bahwa klaim itu sama sekali tidak benar. Pasalnya, meski bola zaman modern ini sudah lebih ringan, hal itu justru membuatnya bisa melaju lebih kencang. Selain itu, dengan makin ringannya bola, permainan udara pun menjadi semakin marak. Dengan demikian, jumlah sundulan yang dilakukan seorang pemain pun secara otomatis meningkat.
Argumen Taylor itu diperkuat oleh pernyataan dr. Willie Stweart, patolog saraf lain yang melakukan otopsi terhadap Jeff Astle. Stewart mengatakan bahwa mengidentikkan masalah cedera otak dengan masa lalu adalah "karakterisasi yang malas".
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh University of Stirling, hal ini pun terbukti. Mereka menguji hal ini dengan meminta 19 pesepak bola menyundul bola 20 kali. Bola itu ditembakkan dari sebuah mesin yang didesain untuk mensimulasi laju bola saat sepak pojok dan dari sana, ditemukan bahwa setelah itu, terdapat penurunan memori antara 41 s/d 76%. Hal ini bertahan sampai setidaknya 24 jam. Meski begitu, apakah ini nantinya bakal menjadi efek berkepanjangan belum diketahui.
ADVERTISEMENT
Dari riset ini, ahli saraf dr. Magdalena Iestwaart berkata, "Meski perubahan ini hanya sementara, kami percaya bahwa jika hal ini terjadi secara terus menerus, maka efeknya terhadap otak akan signifikan."
Adapun, FA sendiri baru-baru ini telah mengumumkan bahwa mereka akan memulai riset khusus mengenai cedera otak ini. Untuk ini, mereka menggandeng Asosiasi Pesepak Bola Profesional (PFA) dan menunjuk dr. Stewart untuk mengepalainya. Riset ini sendiri secara resmi akan dimulai pada Januari 2018 mendatang. "Luluhnya" FA ini juga merupakan sebuah keberhasilan dari upaya selama bertahun-tahun dari putri Jeff Astle, Dawn.
Walau begitu, FA sebenarnya terhitung sangat terlambat karena selain Jeff Astle sudah meninggal 15 tahun lalu, Federasi Sepak Bola Amerika Serikat (USSF) telah mengeluarkan sebuah aturan. Aturan ini sendiri diperuntukkan bagi para pesepak bola cilik di bawah 10 tahun di mana mereka sama sekali tidak diperbolehkan untuk menyundul bola. Pasalnya, cedera otak ini sendiri sudah bisa ditemukan pada remaja berusia setidaknya 15 tahun.
ADVERTISEMENT
***
Pada akhirnya, sepak bola memang harus tanggap. Maskulinitas beracun ala Roy Keane yang menyebut gegar otak tak ubahnya memar harus secepat mungkin dienyahkan. Para legenda terdahulu sudah menderita karena ini dan sudah saatnya sepak bola melihat para pemain sebagai manusia, bukan komoditi belaka.