Cerita di Balik Luka yang Mencoreng Wajah Basket Indonesia

24 November 2017 22:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pertandingan basket. (Foto: MOHD FYROL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pertandingan basket. (Foto: MOHD FYROL / AFP)
ADVERTISEMENT
"Perbasi tidak takut melawan bandarnya! Saya takutnya sama Tuhan. Kalau takut sama bandarnya, Tuhan marahin saya karena takut sama yang lain," tegas George Fernando Dendeng.
ADVERTISEMENT
Sikap tegas pria yang merupakan Ketua Bidang Hukum Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) itu boleh jadi menggambarkan keberanian induk olahraga basket ini hingga akhirnya membongkar pengaturan skor atau match fixing yang terjadi di Indonesia.
Ya, publik memang dikejutkan dengan berita match fixing yang dilakukan delapan pemain dan satu ofisial tim Siliwangi Bandung. Berdasarkan surat Perbasi nomor 508/XI/PP/2017, sanksi diberikan kepada Ferdinand Damanik, Tri Wilopo, Gian Gumilar, Haritsa Herlusdityo, Untung Gendro Maryono, Fredy, Vinton Nolan Sarawi, Robertus Riza Raharjo, dan Zulhilmi Faturrohman dengan hukuman bervariasi antara dua hingga lima tahun.
Hukuman sudah dijatuhkan, tapi luka sudah telanjur menganga di tubuh basket Tanah Air. Lantas, bagaimana awal mula hingga tindakan ilegal itu dilakukan oleh sembilan orang di Siliwangi Bandung?
ADVERTISEMENT
"Kasus sendiri bermula dari Seri II IBL musim lalu di Jakarta. Itu berdasarkan pengakuan dari para pemain. Modusnya, ya, dari salah satu yang kita ungkap, ada yang meminta, butuh uang karena pembayaran dan segala macam sempat terlambat," ungkap George saat dihubungi kumparan (kumparan.com), Jumat (24/11/2017) sore WIB.
"Lalu, ada satu pelaku lainnya yang mencoba cari jalan, dalam artian memperkenalkan dengan bandar-bandar. Jadi perantara, lah. Baru setelah itu semuanya (sembilan orang) kompak untuk melakukan match fixing," sambungnya.
Berdasarkan pernyataan tersebut, mari kita mengintip bagaimana perjalanan Siliwangi Bandung musim lalu. Dalam delapan seri yang ada, seri II yang disebut sebagai awal mula match fixing berlangsung di Britama Arena, 4 hingga 5 Februari 2017. Kala itu, Siliwangi Bandung melawan Pacific Caesar.
ADVERTISEMENT
Hingga seri terakhir di kota asalnya, Siliwangi Bandung melakoni 14 pertandingan. Totalnya, mereka hanya menang empat kali sekaligus menorehkan salah satu catatan terburuknya dalam satu musim.
Meski begitu, saat ditanya lebih lanjut, George tidak bisa mengungkap detail pertandingan yang diatur sembilan pelaku itu. Ia berujar Perbasi masih melanjutkan investigasi agar bisa menuntaskan masalah ini hingga ke akarnya.
Ketum Perbasi, Danny Kosasih (Foto: Karina N/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketum Perbasi, Danny Kosasih (Foto: Karina N/kumparan)
"Perbasi tidak bisa bilang berapa pertandingan karena masih penyelidikan lebih lanjut. Namun, tidak berarti ketika Siliwangi Bandung kalah itu adalah (hasil) match fixing. Kita masih mendalami, ada 13 nama lain yang juga tidak bisa kami buka sekarang," ucap George.
Sebelumnya, Ketua Perbasi, Danny Kosasih, menegaskan akan selalu menindak tegas dan tidak akan membeda-bedakan setiap pemain yang salah.
ADVERTISEMENT
"Sebagai pemimpin, saya tidak boleh membedakan. Pemain ini salah, ya, Perbasi beri sanksi. Jadi, maaf sekali lagi, kami melakukan ini karena bola basket di Indonesia harus bersih," tegas Danny.
Keberanian Perbasi dalam melawan pelaku judi yang menggerogoti dunia basket Indonesia pun mendapat apresiasi dari seluruh pegiat olahraga, termasuk Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Sementara, bagi sembilan nama itu, Indonesia Basketball League (IBL) juga menjatuhkan hukuman seumur hidup dan denda Rp 100 juta sesuai aturan IBL Bab 4 Pasal 7 Ayat 2.
Sembilan pelaku match fixing tersebut sudah dipastikan tidak bisa melihat secercah harapan untuk berkarier di dunia basket. IBL melarang mereka untuk menjadi pemain, pelatih, pemilik klub, atau bahkan sekadar mengikuti kegiatan basket. Nama baik hilang, karier pun hancur. Itulah hukuman tegas saat pemain berani mencoreng wajah basket Indonesia.
ADVERTISEMENT