news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Derby Madrid: Antara Arogansi dan Masokisme

2 Mei 2017 13:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Menjadi Atletico, menjadi masokis. (Foto: Reuters/Darren Staples)
"Fans kami dibelenggu perasaan, fans mereka dibelenggu prestasi." - Fernando Torres
ADVERTISEMENT
Bukan El Clasico, tetapi El Derbi Madrileno. Bagi Presiden Real Madrid, Florentino Perez, seteru Real bukanlah Barcelona, melainkan Atletico Madrid.
Persepsi Perez itu mungkin sulit dicerna oleh para suporter yang lebih muda. Biar bagaimana pun, satu-satunya klub yang mampu menyaingi kedigdayaan Real Madrid di Spanyol adalah Barcelona. Atletico sendiri tak ubahnya tetangga yang lusuh dan berisik bagi mereka.
Namun, sejarah tidak mencatat demikian. Pernah ada suatu masa di mana Atletico Madrid menjadi klub paling berkuasa di Madrid.
Salah satu penandanya adalah kemenangan 5-0 Atletico atas Real pada tahun 1947. Ketika itu, mereka baru saja mengubah nama mereka dari Atletico Aviacion menjadi Atletico Madrid dan kebetulan, pada tahun itulah Perez dilahirkan.
ADVERTISEMENT
Ketika Real Madrid menjadi penguasa Eropa pada pertengahan 1950-an s/d awal 1960-an, pemerintah fasis Francisco Franco menyebut mereka sebagai duta Spanyol terbaik. Ketika itu, Real Madrid memang menjadi semacam ilusi yang memabukkan. Mereka begitu agung, begitu glamor, begitu perkasa. Padahal, Spanyol sendiri saat itu sedang dikucilkan dunia internasional karena keberadaan Franco.
Maka dari itu, mudah untuk menyebut Real Madrid sebagai klub kesayangan Franco. Apalagi, lahirnya El Clasico dengan Barcelona pun sulit dilepaskan dari campur tangan sang diktator.
Namun, sebelum Real menjadi perhiasan yang begitu dibanggakan oleh rezim Franco, Atletico-lah yang menjadi anak kesayangan rezim. Bukan tanpa sebab, memang, mengingat sejak 1939 hingga 1947 tadi, Atletico punya ikatan kuat dengan Angkatan Udara Spanyol.
ADVERTISEMENT
Namun, itu semua berubah ketika Alfredo Di Stefano datang pada tahun 1953. Ketika itu, Real Madrid sudah puasa gelar liga selama 20 tahun dan hanya dalam semalam, peruntungan mereka berubah untuk selama-lamanya.
Selama 11 musim berkostum putih-putih, Di Stefano mampu mempersembahkan delapan gelar liga. Hal itu, ditambah lima Piala Eropa, satu Copa del Rey, dan satu Piala Interkontinental, membuat Real akhirnya menjadi "duta Spanyol terbaik" itu tadi. Sejak itu, Atletico menjadi anak tiri, hingga akhirnya menjadi Atletico yang kita kenal sekarang ini.
Sulit untuk menyebut bahwa rivalitas Real dan Atletico didasarkan pada gengsi. Mungkin, dalam beberapa hal itu benar. Biar bagaimana juga, Atletico adalah tim tersukses ketiga di Spanyol dalam urusan jumlah gelar juara liga. Namun, lebih dari itu, rivalitas Real dan Atletico adalah pertentangan segala hal yang mungkin dipertentangkan.
ADVERTISEMENT
Secara kasatmata saja sudah begitu. Kandang Real, Santiago Bernabeu, terletak di kawasan elit Castellana di sebelah utara kota. Sementara itu, markas Atletico, Vicente Calderon, ada di tepi Sungai Manzanares yang membelah jantung kota Madrid. Jika lokasi Bernabeu berdekatan dengan kantor-kantor dan bank-bank besar, maka denyut industri yang paling terasa di dekat Calderon berasal dari penyulingan bir Mahou San Miguel.
Bernabeu adalah sarangnya arogansi. (Foto: Reuters/Susana Vera)
Secara natural, apabila dilihat dari situasi geografis sekaligus demografis, kaum pekerja di pusat kota Madrid memang akan dengan mudah mengafiliasikan diri dengan Atletico. Itulah mengapa, Fernando Torres, kepada Simon Talbot dari FourFourTwo, pernah mengatakan bahwa Atletico adalah klub milik warga kota Madrid, sementara Real adalah milik banyak orang dari seluruh penjuru dunia.
ADVERTISEMENT
Real Madrid sendiri sebenarnya punya banyak pendukung dari berbagai penjuru kota. Akan tetapi, bukan ke-Madrid-an itu yang menjadi ciri khas Real, melainkan keglobalannya. Dengan kata lain, Real memang lebih dikenal orang banyak, tetapi Atletico lebih mampu meresap sekaligus diresapi.
Nasib pendukung Atletico memang tak seburuk pendukung Espanyol di Barcelona. Akan tetapi, para suporter Atletico justru tampak tidak pernah peduli dengan prestasi dan kejayaan. Mereka lebih suka untuk membenci Real daripada melihat Atletico berjaya.
Jika para pendukung Real mendapat energinya dari trofi, suporter Atletico justru semakin bersemangat ketika tim mereka sedang menderita. Ketika mereka terdegradasi pada tahun 2000 lalu, misalnya, penjualan tiket terusan di Calderon justru meningkat. Suporter Atletico, kata orang-orang Madrid, mendapat energinya dari rasa sakit.
ADVERTISEMENT
Para suporter Atletico memang seperti terbiasa kalah. Atau, setidaknya begitulah mereka memposisikan diri. Kalau tidak jadi pihak yang kalah, mereka tidak jadi apa-apa. "Ketika saya masih kecil dulu, saya ingin supaya Atletico kalah terus," kata Torres.
Jika menilik asal mula berdirinya klub, sifat dan sikap pendukung Atletico ini memang aneh. Masalahnya, klub ini awalnya berdiri dari rasa pongah yang berlebih. Hanya beberapa hari setelah Athletic Bilbao menjuarai Copa del Rey edisi perdana tahun 1903, sekelompok pelajar Basque di Kota Madrid -- dibantu oleh kapten tim Eduardo de Acha -- sepakat untuk membentuk Athletic Bilbao cabang Madrid dan itulah mengapa, bukan kebetulan jika seragam dua klub ini berwarna sama.
Namun, kepongahan itu memang berhenti sampai di situ saja. Pasalnya, sejak pertemuan pertama tahun 1904 yang dimenangi Real 6-0, Atletico memang terus-menerus berada di bawah bayang-bayang tetangganya itu. Puncaknya adalah pada tahun 1920 ketika Raja Alfonso XII memberi embel-embel "Real" kepada Real Madrid. Hal itu secara tidak langsung membuat legitimasi Atletico pun remuk.
ADVERTISEMENT
Namun, menjadi penggemar tim yang lebih berprestasi tak serta-merta membuat para suporter Real Madrid menjadi lebih bahagia. Seperti yang sudah disebut Fernando Torres, para suporter Real Madrid selalu dibelenggu oleh prestasi. Mereka tak pernah puas. Kalau belum bisa menyapu bersih gelar, ya, artinya mereka belum berhasil. Bagi mereka, menang dan meraih gelar adalah sebuah kewajiban.
Fernando Torres, menciptakan sejarah. (Foto: Javier Barbancho/Reuters)
Itulah mengapa para suporter Real Madrid sering sekali menyoraki para pemain mereka meski tim berhasil meraih kemenangan. Di Bernabeu, yang dituntut adalah kesempurnaan. Ada cacat sedikit saja berarti gagal.
Sebaliknya, bagi Atletico setiap kemenangan, setiap gelar, adalah hadiah. Mereka memang menyetel mentalitas mereka menjadi spesialis kegagalan supaya apabila mereka menang, kebahagiaan bisa berlipat ganda, tetapi jika kalah, mereka bisa berlapang dada.
ADVERTISEMENT
Dini hari (3/5) nanti, Real dan Atletico bakal bertemu di semifinal Liga Champions. Dalam tiga musim terakhir, mereka dua kali bertemu di final dan dalam dua kesempatan itu, Atletico selalu kalah.
Dua kekalahan yang diderita Atletico itu pun "sangat Atletico". Dengan kata lain, dua kekalahan itu semuanya berbau kesialan dan mengundang banyak pengandaian.
Pada pertemuan pertama, ada gol menit akhir Sergio Ramos yang akhirnya memaksa laga dilanjutkan lewat perpanjangan waktu. Kemudian, di pertemuan kedua, ada dua penalti gagal -- satu di waktu normal, satu lagi di adu penalti -- dari dua pemain andalan, Antoine Griezmann dan Juanfran.
Pertandingan semifinal memang berbeda dengan final dan salah satu perbedaan yang paling mencolok adalah bahwa pertandingan digelar dalam dua leg. Meski harus bermain di kandang lawan terlebih dahulu, di leg kedua nanti Atletico bakal punya keuntungan bermain di kandang sendiri; di benteng yang selama ini melindungi mereka dari arogansi Real.
ADVERTISEMENT
Lalu, akankah Atletico berhasil membalas dendam? Entahlah. Yang jelas, apabila Los Colchoneros sudah cukup marah lantaran terus-terusan dikerjai nasib, Real Madrid-lah yang harus waspada tahun ini.