Di Atas Rumput Wimbledon, Isner-Mahut Menghidupi Keajaiban

3 Juli 2018 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
John Isner menangi laga vs Nicolas Mahut. (Foto: BEN STANSALL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
John Isner menangi laga vs Nicolas Mahut. (Foto: BEN STANSALL / AFP)
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, tenis adalah olahraga yang membosankan. Tapi di atas lapangan Wimbledon, tenis berubah bentuk menjadi keajaiban paling sublim.
ADVERTISEMENT
Di antara semua turnamen yang ada di muka Bumi ini, Wimbledon kerap mengambil peran sebagai sosok yang paling cerewet. Aturannya berlimpah, keberadaannya begitu lekat dengan tatanan yang saklek. Membandel sedikit saja, jangan harap kau bakal mendapat tempat.
Namun, secerewet-cerewetnya Wimbledon, keajaiban enggan berjauh-jauhan dengannya. Pertandingan final tunggal putra 1980 yang mempertemukan Bjorn Borg dan John McEnroe menjadi salah satunya.
Keajaiban tak hanya mewujud dalam keberhasilan Borg membukukan gelar juara di tanah Inggris dalam lima kali berturut-turut, tapi bagaimana pertandingan satu lawan satu mengubah bocah tempramen seperti McEnroe menjadi begitu dewasa dan tampil gigih di atas lapangan, memperjuangkan kemenangan yang juga menjadi haknya sebagai petarung lapangan tenis.
Keajaiban ala Wimbledon tak hanya muncul dalam laga klasik yang pada akhirnya digubah menjadi film bertajuk Borg vs McEnroe yang rilis pada September 2017 itu. Dua puluh tahun kemudian, keajaibannya mengambil rupa dalam wujud laga John Isner melawan Nicolas Mahut di babak pertama Wimbledon 2010.
ADVERTISEMENT
Mahut yang asli Prancis itu bukan petenis unggulan. Namanya masuk ke dalam daftar para pejuang Wimbledon berkat keberhasilannya merebut kemenangan demi kemenangan di babak kualifikasi.
Di putaran kualifikasi pertama, ia mengalahkan Frank Dancevic 6–3, 6–0. Di laga kedua, ia menekuk Alex Bogdanovic 3–6, 6–3, 24–22. Di putaran ketiga, ia menaklukkan segala tantangan yang dapat diberikan oleh laga lima set. Melawan Stefan Koubek, Mahut mengantongi kemenangan 6–7(8), 3–6, 6–3, 6–4, 6–4 sebagai tiket untuk mengayun raket di babak utama Wimbledon.
Sementara, Isner memasuki turnamen dengan modal yang lebih baik ketimbang Mahut. Petenis Amerika Serikat itu menjejak ke Wimbledon sambil menenteng status unggulan ke-23 turnamen.
Pertandingan tenis jauh lebih rumit ketimbang status unggulan dan non-unggulan. Kemenangan di atas lapangan tenis bukan kemenangan yang bergantung penuh pada catatan keberhasilan masa lalu.
ADVERTISEMENT
Menyoal tenis, Borg yang masyhur itu pernah berkata; “Jika kamu takut kalah, itu artinya kamu tidak cukup berani untuk merebut kemenangan.” Lantas, kalimat itu pulalah yang dipegang dengan seteguh-teguhnya oleh Mahut kala berhadapan dengan Isner.
Pertandingan ini disebut keajaiban karena umurnya yang begitu panjang: 11 jam, 5 menit, yang terbagi dalam tiga hari.
Coba ulangi lagi, Mbak
zoom-in-whitePerbesar
Coba ulangi lagi, Mbak
Sejatinya, pertandingan ini dimulai pada pukul 18:13, waktu musim panas Inggris, pada Selasa 22 Juni 2010. Karena Wimbledon mengambil tempat di lapangan terbuka, cahaya dan cuaca jelas menjadi dua faktor utama.
Sepintas, pertandingan ini terlihat seperti akan menjadi milik Isner karena kemenangan di set pertama 6-3. Namun, Mahut tak mau meninggalkan Wimbledon dengan cepat. Ia berhasil menyamakan kedudukan di set kedua dengan kemenangan 6-4.
ADVERTISEMENT
Ajaibnya, dua set ini berlangsung dalam waktu yang sudah cukup panjang: 3 jam kurang 5 menit. Biasanya, maksimal, pertandingan antara petenis unggulan melawan non-unggulan akan selesai dalam waktu kurang-lebih 3 jam. Namun, itulah yang terjadi di laga Isner melawan Mahut. Karena faktor cahaya, pertandingan pun dihentikan untuk sementara waktu dan dilanjutkan keesokan harinya.
Alih-alih membaik, situasi pertandingan menjadi lebih ‘menyeramkan’ di hari kedua karena berlangsung dalam waktu 7 jam 5 menit. Secara garis besar, pertandingan hari kedua dimulai pada pukul 14:05 dan kembali harus dihentikan pada pukul 21:10.
Saat pertandingan dihentikan, laga sudah berlangsung sampai set kelima dengan kedudukan 59-59. Tie break berlipat-lipat di set kelima harus diberlakukan karena skor kedua pemain tak pernah berselisih dua angka.
ADVERTISEMENT
Ini bukan pertandingan tenis. Ini adalah pertarungan. Keduanya turun ke arena pertarungan yang sama dengan membawa satu pengertian; pertandingan ini harus dimenangi berapa pun harga yang harus dibayar.
Mahut di laga vs Isner. (Foto: ADRIAN DENNIS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Mahut di laga vs Isner. (Foto: ADRIAN DENNIS / AFP)
Harganya jelas tak murah. Tak bisa dibayangkan seperti apa lelahnya Isner dan Mahut hanya untuk memenangi satu laga. Bayangkan nyeri sekujur tubuh yang menjadi lawan tambahan setiap pemain saat bertanding. Itu belum ditambah dengan satu kepastian bahwa satu dari mereka harus hengkang seberat apa pun mereka berjuang di pertandingan pertama ini.
Roger Federer dan Andy Murray bahkan sempat memergoki keduanya berlatih lebih dini ketimbang biasanya. Bila Mahut memilih untuk berlatih di lapangan, maka Isner menghabiskan paginya untuk melakoni latihan treadmill di pusat kebugaran yang memang disediakan di venue turnamen.
ADVERTISEMENT
Keduanya sampai harus mengurangi jam tidur supaya bisa berlatih lebih lama. Konon, setelah laga hari pertama yang melelahkan itu, mereka tidur tak lebih dari empat jam untuk mempersiapkan diri menghadapi pertandingan yang ternyata jauh lebih edan.
Begitu wasit dan umpire memutuskan untuk menghentikan pertandingan hari kedua, penonton meledak dalam keriuhan. Secara serentak mereka menyerukan supaya laga kembali dilanjutkan. “Kami mau lagi! Kami mau lagi! Kami mau lagi!”
Apa boleh bikin, apa pun turnamen dan olahraganya, penonton ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, kehadirannya sanggup melecut semangat. Di sisi lain, keberadaannya menjadi menyebalkan. Ya, coba penonton ini disuruh bertanding satu lawan satu selama 7 jam.
Pada dasarnya, mereka yang bertanding di Wimbledon adalah orang-orang yang kelewat taat. Mereka paham seketat apa aturan di Wimbledon. Orang-orang boleh mengernyitkan dahi dan menilai keteguhan Wimbledon memegang tradisi sebagai perkara tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Bukan satu-dua petenis yang mencak-mencak karena aturan Wimbledon. Namun, semarah apa pun mereka, pada akhirnya mereka menurut dan lucunya, bersiap supaya dapat kembali tahun depan -kecuali Andre Agassi.
Mahut di akhir laga vs Isner. (Foto: ADRIAN DENNIS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Mahut di akhir laga vs Isner. (Foto: ADRIAN DENNIS / AFP)
Ketaatan yang teramat sangat itu pulalah yang ditunjukkan oleh Isner dan Mahut. Bayangkan, 7 jam hanya untuk merebut satu kemenangan babak pertama. Lain soal kalau satu kemenangan itu dapat menjamin kemenangan hingga laga puncak, beta juga rela-rela saja. Tapi, tak ada yang menjamin sampai di mana langkah mereka setelah menutup kegilaan babak pertama ini dengan kemenangan.
Bila setiap detail dan proses di pertandingan tersebut kita ikuti dengan takzim, maka kita seperti akan dibawa masuk menembus kepala keduanya yang dipenuhi dengan tekad untuk menang. Di pertandingan ini, ketaatan keduanya tak lagi menyoal aturan, tetapi kepada tekad akan kemenangan itu.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar orang Inggris mengenal lagu The Beatles yang berjudul 'Please, Please Me'. Bila diperhatikan baris demi baris liriknya, lagu ini ibarat monolog yang mengutarakan satu permohanan dengan cara picisan. Merajuk, bahkan tak sungkan memperdengarkan nada mengemis-ngemis.
Kepada siapa pun John Lennon (karena dia yang menulisnya) mengajukan permohonan ini, ia berusaha supaya orang tersebut mengabulkan apa pun yang menjadi permintaannya. Lucunya, sepicisan apa pun caranya memohon, di dalamnya terdapat satu kerapuhan yang serius. Semacam satu ungkapan yang pada dasarnya berkata, “Hei, saya sudah tidak sanggup lagi. Tolong berikan apa yang saya mau itu sekali ini saja.”
Namun, di atas Court 18, Isner dan Mahut mempersetankan cara yang pernah ditempuh oleh Lennon 48 tahun sebelumnya. Ketimbang memohon-mohon, mengemis, dan menggunakan cara picisan, keduanya memilih untuk bertarung dengan gahar dan menggunakan cara seperti yang disampaikan oleh Rudyard Kipling lewat sajaknya yang terpampang di atas lorong menuju Centre Court.
ADVERTISEMENT
Sajak yang berjudul If itu mengingatkan kepada siapa pun yang berlaga di Wimbledon bahwa menang atau kalah bukan yang utama. Bagaimana menyikapi proses, bagaimana menyikapi hasil menjadi yang paling penting. Lantas, Isner dan Mahut sedang menyikapi proses menuju kemenangan itu dengan cara yang benar dan terhormat. Menolak untuk mengemis, menolak untuk mundur.
Foto dulu~ (Foto: GLYN KIRK / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Foto dulu~ (Foto: GLYN KIRK / AFP)
Hari ketiga tidak menyoal lama atau singkatnya pertandingan. Tak pernah ada yang tahu apakah ini akan menjadi akhir atau perangkat pertandingan harus kembali menunda laga sampai keesokan harinya. Namun, pada kenyataannya, pertandingan memang berakhir di hari ketiga.
Saat kedudukan 68-68 di set kelima, Mahut terlihat menguasai pertandingan dengan keunggulan 30-0. Namun, Isner belum menyerah sepayah apa pun keadaannya. Setelah berhasil memenangi satu poin dan mengubah kedudukan menjadi 30-15, Isner seperti mendapatkan kekuatannya kembali.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, satu lesakan voli yang mengalir deras dari pukulan forehandnya menutup laga yang dibangun oleh 183 gim itu. Isner benar-benar menang. Laga bersejarah itu berakhir dengan skor 6–4, 3–6, 6–7(7–9), 7–6(7–3), 70–68. Bila dihitung, pertandingan set kelima berlangsung selama 8 jam 11 menit.
Mereka yang menghidupi tenis menaruh hormat sebesar-besarnya untuk Isner dan Mahut. Mereka yang hidup dari satu turnamen ke turnamen mengangkat topi setinggi-tingginya untuk Isner dan Mahut, terlepas siapa pun yang menjadi pemenang, tak peduli apakah langkah setelahnya akan terhenti dengan cepat atau lama.
Lewat akun Twitter-nya, Murray berkata "Inilah mengapa tenis menjadi salah satu olahraga terberat di dunia." Sementara, McEnroe dengan kebengalan yang tetap dibawanya sepanjang hayat berkata; "Cerita mana yang lebih hebat: Ratu Ingris atau Isner-Mahut?"
ADVERTISEMENT
Ini memang laga gila. Pertandingan ajaib. Apa pun yang menjadi hasilnya, ia tak akan lebih penting dari kenyataan bahwa keduanya bertanding sebagai petarung yang taat pada pertarungannya masing-masing.
Cerita laga ini akan selalu diperdengarkan kembali selama Wimbledon ada, bahkan bertahun-tahun setelahnya. Keberadaannya melahirkan martabat, melecut semangat juang, dan juga memunculkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab. Termasuk, pertanyaan ini: