news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Di Balik Keengganan La Liga Merangkul Teknologi

28 November 2017 13:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Protes Messi usai golnya dianulir. (Foto: AFP/Jose Jordan)
zoom-in-whitePerbesar
Protes Messi usai golnya dianulir. (Foto: AFP/Jose Jordan)
ADVERTISEMENT
Tidak biasanya Jordi Alba bertindak seperti itu. Meminjam istilah di kisah-kisah detektif, apa yang dilakukan Alba itu ada di luar karakter.
ADVERTISEMENT
Jordi Alba berutang banyak pada Valencia. Pasalnya, klub berjuluk Los Che itu adalah klub yang menyelamatkan kariernya. Pada 2007 silam, Alba baru saja dilepas oleh akademi Barcelona karena dianggap terlalu kecil. Dia pun kemudian harus rela berkubang bersama klub amatir Cornella.
Dua tahun bersama Cornella, Valencia datang menghampiri. Bersama Los Murcielagos, Alba meneruskan pendidikan sepak bolanya sampai akhirnya, pada 2009, dirinya dipromosikan ke tim utama Valencia.
Selama tiga tahun di tim senior Valencia, Alba bertransformasi total. Dulunya, dia adalah seorang penyerang sayap, tetapi oleh Valencia, dia diubah menjadi seorang bek kiri. Hasilnya, di posisi barunya itu Alba pun menjelma menjadi pesepak bola top. Hal itulah yang kemudian membuat Barcelona kembali kepincut.
ADVERTISEMENT
Senin (27/11/2017) dini hari WIB lalu, Alba kembali ke Mestalla. Namun, di situ dia justru membuat publik Valencia patah hati. Golnya pada menit ke-82 membuyarkan kemenangan yang sudah ada di depan mata pasukan Marcelino Garcia Toral.
Tingkah polah Alba tak sampai di situ. Usai mencetak gol, dia tak segan merayakannya. Lalu, seusai laga, dia pun mencak-mencak. Alasannya, tak lain dan tak bukan, adalah karena menurut pria 28 tahun itu, Barcelona seharusnya menang. Jika saja gol Lionel Messi pada babak pertama tidak dianulir wasit, maka Barcelona bakal pulang dengan tambahan tiga angka, alih-alih satu.
"Saya sedang berada di tengah lapangan dan saya melihat bola masuk gawang. Benar-benar konyol," semprotnya. "... Masa bola sudah tiga meter masuk ke dala gawang tetapi wasit tidak melihat? Harusnya tidak begitu. VAR? Tentu saja, teknologi bakal membantu di situasi semacam itu."
ADVERTISEMENT
Barcelona memang pantas untuk kesal. Pasalnya, kontroversi semacam ini seharusnya tidak harus terjadi seandainya pihak La Liga tidak sekolot ini. Ya, mereka memang sudah menjanjikan akan menggunakan Video Assistant Referee (VAR) mulai musim depan. Akan tetapi, dengan begitu mereka pun menjadi kompetisi top terakhir yang menggunakan teknologi setelah Serie A, Bundesliga, Premier League, dan Ligue 1.
Lalu, apa yang membuat La Liga tertinggal dalam hal ini?
Wasit "berkonsultasi" dengan VAR. (Foto: Reuters/Stringer)
zoom-in-whitePerbesar
Wasit "berkonsultasi" dengan VAR. (Foto: Reuters/Stringer)
Jawabannya adalah soal biaya. Itulah mengapa, setelah akhirnya mau menggunakan teknologi pun, teknologi yang digunakan pihak La Liga hanyalah VAR dan bukan teknologi garis gawang.
Untuk mengimplementasikan VAR memang tidak butuh biaya yang terlampau mahal. Berdasarkan lansiran Football-Italia, untuk menggunakan ini, biaya yang diperlukan hanyalah sekitar 2 juta euro (sekitar 32 miliar rupiah). Di Serie A, pembiayaan ini semuanya ditanggung pihak penyelenggara liga.
ADVERTISEMENT
Selain lebih murah, infrastruktur yang dibutuhkan juga tidak terlalu kompleks. Menurut mantan Presiden FIGC, Carlo Tavecchio, yang dibutuhkan hanyalah sebuah ruangan khusus plus delapan kamera yang senantiasa mengikuti aksi-aksi yang terjadi di lapangan.
Lalu, bagaimana dengan teknologi garis gawang? Nah, untuk ini, biaya yang dibutuhkan memang jauh lebih besar. Di satu stadion saja, biaya yang dibutuhkan untuk memasang alat-alat pendukungnya bisa mencapai 330 ribu dolar AS (sekitar 4,5 miliar). Ini belum termasuk bagaimana bola serta penyedia jasa siaran harus menyesuaikan dengan kebutuhan ini.
Pada dasarnya, ada lima sistem teknologi garis gawang yang disetujui FIFA dan IFAB (Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional) dan kelima sistem ini didasarkan pada pelacakan bola dengan kamera serta sensor medan magnet.
ADVERTISEMENT
Teknologi Garis Gawang (Foto: AFP/Yasuyoshi Chiba)
zoom-in-whitePerbesar
Teknologi Garis Gawang (Foto: AFP/Yasuyoshi Chiba)
Sistem pertama adalah GoalControl. Dalam sistem yang diimplementasikan di Piala Dunia 2014 ini, ada 14 kamera berkecepatan tinggi yang dipasang di sekeliling stadion (masing-masing tujuh menghadap ke tiap gawang). Kamera ini nantinya digunakan untuk melacak pergerakan bola.
Kemudian, sistem kedua adalah Hawk-Eye yang telah digunakan di Premier League. Sistem inilah yang harganya sekitar 330 ribu dolar AS tadi. Sama dengan GoalControl, Hawk-Eye juga menggunakan 14 kamera berkecepatan tinggi untuk melacak pergerakan bola.
Ketika, Cairos GLT System. Di sini, Cairos Technologies dan Adidas bekerja sama dalam menciptakan sistem yang menggunakan sensor magnetik untuk melacak pergerakan bola. Di dalam bola, ditempatkan sebuah sensor yang nantinya akan mendeteksi keberadaan medan magnet yang ditempatkan di bawah kotak penalti. Dalalm sistem ini, pergerakan bola dilacak dengan komputer.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, Goalminder. Dalam sistem ini, lagi-lagi kamera yang digunakan. Bedanya dengan GoalControl dan Hawk-Eye, dalam sistem Goalminder, kamera dipasang di tiang serta mistar gawang.
Terakhir, GoalRef. Dalam sistem ini, yang digunakan juga merupakan sensor magnetik. Akan tetapi, di sini yang berlaku sebagai sensor bukan bola tetapi tiang serta mistar gawang.
Sensor magnet di bola Adidas. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Sensor magnet di bola Adidas. (Foto: Wikimedia Commons)
Dalam teknologi garis gawang ini, ketika bola sudah melewati garis gawang, maka secara otomatis sinyal akan terkirim dan bakal diterima oleh wasit lewat sebuah perangkat serupa jam tangan. Syaratnya, seluruh badan bola sudah harus melewati garis.
Teknologi garis gawang ini memang pada akhirnya lebih kompleks meski hasilnya pun lebih akurat. Hanya saja, fungsinya memang terbatas untuk menentukan apakah bola sudah lewat garis atau belum. Sementara, keputusan-keputusan lain seperti pelanggaran, handball, atau offside masih secara manual ditetapkan oleh sang pengadil.
ADVERTISEMENT
Untuk menghindari kontroversi seperti gol Messi tadi, teknologi garis gawang sebenarnya memang lebih pas. Namun, jika yang jadi pertimbangan adalah biaya, maka VAR pun sebenarnya bukan opsi yang buruk karena ia memang lebih fleksibel dan bisa digunakan untuk menyelesaikan pelbagai sengketa berbeda. Hanya saja, di sini wasit harus ditatar lebih jauh agar penggunaan VAR ini tidak merusak jalannya pertandingan seperti yang terjadi pada Piala Konfederasi atau Serie A.
Adapun, La Liga sendiri sebenarnya sudah menggandeng perusahaan asal Spanyol, Mediacoach, untuk menyediakan sistem pelacakan pemain dan aksi-aksi lain di lapangan. Hanya saja, Mediacoach bukan termasuk penyedia jasa yang punya lisensi FIFA dan untuk mendapatkan lisensi itu, mereka--atau La Liga--harus membayar uang senilai 4 juta euro ke FIFA. Jadi, pada akhirnya, ihwal ketertinggalan La Liga ini, yang jadi masalah besar adalah ketidaktersediaan (atau ketidakmauan untuk menyediakan) uang.
ADVERTISEMENT