Di Balik Konyol dan Jenakanya Akun Media Sosial Klub-klub Jerman

10 November 2017 12:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Media sosial (Ilustrasi). (Foto: Giphy)
zoom-in-whitePerbesar
Media sosial (Ilustrasi). (Foto: Giphy)
ADVERTISEMENT
Pertama-tama, mari kita bicara soal Renato Sanches. Ya, kami tahu bahwa nantinya, tulisan ini tidak akan membahas lebih dalam mengenai gelandang muda berbakat asal Portugal itu. Tetapi, ini adalah bahasan mengenai media sosial dalam sepak bola dan Renato Sanches adalah nama yang muncul di kepala kami untuk pertama kalinya.
ADVERTISEMENT
Well, sebenarnya, dalam kemunculan nama Sanches ini, ada andil Barney Ronay, seorang kolumnis yang tulisannya bisa Anda baca di The Guardian. Dalam tulisannya yang naik akhir April lalu, Ronay bicara mengenai "kesendirian seorang pesepak bola (muda)". Dia menggunakan unggahan media sosial Sanches sebagai contoh.
Renato Sanches memiliki (setidaknya) tiga akun di tiga platform media sosial berbeda: Twitter, Instagram, dan Facebook. Di Twitter, dia memiliki sekitar 73.700 pengikut. Di Instagram, eks-Benfica itu memiliki 1,7 juta lebih pengikut. Terakhir, di Facebook, ada lebih dari 636 ribu orang yang menjadi penyuka laman resminya.
Untuk ukuran seorang pemain berusia 21 tahun, angka yang dimiliki Sanches di media sosialnya itu cukup menawan. Biar bagaimana juga, kariernya baru seumur jagung. Kontribusi besarnya dalam keberhasilan Portugal menjadi jawara Piala Eropa 2016 sudah tentu punya peranan besar dalam upayanya menggamit penggemar yang kemudian terejawantahkan dalam jumlah pengikut.
ADVERTISEMENT
Ada satu hal yang dipermasalahkan Tuan Ronay di situ, yakni bagaimana akun media sosial Sanches, khususnya Twitter, jadi kehilangan aspek sosialnya.
"... akun Twitter Renato Sanches, yang merupakan akun Twitter sepak bola paling menyedihkan dan paling kosong yang pernah ada. Sanches ada di sana dengan foto-foto yang terlihat sudah melalui proses seleksi, terlihat jauh lagi berkilauan dalam balutan produk sponsor," tulis Ronay kala itu.
"Dia hanya mengikuti dua orang: Cristiano Ronaldo dan Ricardo Quaresma. Dia tidak pernah membalas cuitan orang. Kali terakhir dia menggunakan kata-kata manusiawi adalah pada Oktober 2016. Dekatkan diri Anda ke layar dan dari Twitter-nya akan tercium bau parfum, interior mewah, serta kesendirian," lanjutnya.
Ronay tidak salah. Di tiap unggahannya, Sanches memang tidak pernah terlihat natural. Di sana, ada semacam pesan subliminal titipan yang dimaksudkan untuk membingkai sang bintang muda dengan citra tertentu. Dia hampir selalu (dibuat untuk) terlihat tangguh tetapi glamor.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, itu pun tidak salah karena, hey, media sosial adalah panggung sandiwara. Semua orang bisa menjadi apa pun yang dia mau di sini. Si pendiam bisa menjadi si besar mulut. Si pemalu bisa menjadi si tukang pamer. Pendek kata, media sosial adalah alat pembentuk perspektif paling tokcer di era modern ini.
Namun, tak semua pembentukan perspektif itu buruk. Di sini, baru kita akan masuk ke pembahasan yang sebenarnya, yakni soal bagaimana media sosial klub-klub sepak bola Jerman membentuk perspektifnya.
Ketika kita bicara soal Jerman, maka citra yang pertama kali muncul adalah kekakuan. Ini memang sudah jadi pandangan umum, bahkan jadi anekdot di mana-mana. Bahwa orang-orang Jerman tidak bisa bercanda, bahwa orang-orang Jerman itu saklek sesaklek-sakleknya, bahwa orang Jerman itu tidak tahu caranya bersenang-senang.
ADVERTISEMENT
Itulah yang ingin diubah oleh klub-klub sepak bola Jerman saat ini. Dan sebenarnya, itu tidak cuma dilakukan oleh pihak klub saja karena pihak Bundesliga, selaku penyelenggara liga, pun telah melakukannya.
Kita mulai dengan Bundesliga dulu dan menurut pandangan kami, yang membuat mereka berbeda dibanding liga-liga lain adalah soal pemilihan konten dan cara mereka menyampaikan konten itu. Sampai sejauh ini, mereka sudah memiliki lebih dari satu juta subscribers dan 3.622 unggahan. Di sana, tentu saja ada hal-hal standar seperti gol terbaik, cuplikan pertandingan, dan hal-hal sejenisnya.
Akan tetapi, mereka juga tak malu untuk mengunggah momen-momen memalukan dari liga mereka, seperti gol bunuh diri atau blunder-blunder konyol lain. Di situ, mereka menyampaikannya dengan narasi yang dibacakan dengan renyah dan judul yang menggugah. Apa yang dilakukan Bundesliga ini sangat, sangat berbau Amerika di mana hal-hal demikian sudah biasa dilakukan oleh Major League Soccer dan liga-liga olahraga Amerika lainnya.
ADVERTISEMENT
Bundesliga sendiri saat ini pamornya sudah semakin menanjak. Di sana, dimainkanlah sepak bola paling menghibur di Benua Biru dan hal itu membuat mereka tak ragu lagi untuk menyebut bahwa sepak bola mereka memang merupakan hiburan alias sportainment. Dan dari sana, mereka pun semakin menegaskan itu lewat media sosial yang memang merupakan alat paling andal untuk berkomunikasi dengan para penggemarnya.
Kemudian, klub-klub Bundesliga pun tak mau kalah. Pertama-tama, mereka--terutama klub-klub besar seperti Bayern Muenchen, Borussia Dortmund, Borussia Moenchengladbach, dan Bayer Leverkusen--memiliki beberapa akun media sosial dengan bahasa-bahasa berbeda untuk lebih mendekatkan diri pada para fans yang juga kian heterogen.
Lewat situ, mereka pun mampu berkomunikasi dengan baik dan seperti mampu menempatkan klub-klub itu sejajar dengan para fans. Sejajar di sini artinya mereka memanusiakan diri mereka sendiri dengan celotehan-celotehan konyol sampai meme dan GIF yang merupakan cara berkomunikasi favorit generasi langgas.
ADVERTISEMENT
Tak cuma itu, klub-klub itu pun--khususnya lewat akun berbahasa Inggris--juga tak segan untuk terlibat dalam banter dengan klub-klub lain, baik itu dengan sesama klub Jerman maupun klub dari negara lain. Di sini, jagoannya adalah Gladbach dan Bayern.
Ketika Twitter akhirnya secara resmi mengubah kebijakan 140 karakter menjadi 280 karakter, Gladbach menunjukkan kegembiraan karena mulai sekarang, mereka bisa menulis nama klub mereka dengan lengkap.
Tetapi, bagi Gladbach, itu bukan yang pertama. Ketika Borussia Dortmund mengumumkan seragam barunya untuk musim 2017/18, mereka "menuduh" Dortmund mencuri desain kostum mereka. Di situ, memang terlihat kemiripan yang luar biasa antara kostum kedua klub tersebut terutama dalam hal garis-garis hitam tebalnya. Sayangnya, cuitan tersebut kini sudah dihapus, mungkin karena dianggap berlebihan.
ADVERTISEMENT
Lalu, sebelumnya mereka pernah terlibat pula dalam sebuah "twitwar" dengan Celtic. Ini lucu, karena di situ, mereka menertawakan diri mereka sendiri dengan mengakui bahwa nama mereka sulit sekali untuk dilafalkan, khususnya bagi orang-orang Skotlandia yang bakal menonton pertandingan sambil minum-minum di pub. Mereka pun secara sukarela mengganti nama mereka dengan "A German Team". Well done, Gladbach!
Sementara itu, untuk akun Twitter Bayern versi bahasa Inggris, entah itu yang umum maupun versi khusus Amerika, yang jadi senjata utama adalah GIF. Di situ, mereka seringkali menciptakan meme dengan bantuan gambar bergerak itu. Kemudian, mereka juga sempat mencemooh Arsenal usai menang agregat 10-2 di 16 besar Liga Champions musim lalu. Kala itu, mereka mengunggah gambar Arturo Vidal yang tengah berselebrasi dengan caption "What time is it? Yep, it's ten to!"
ADVERTISEMENT
Selain Glaldbach dan Bayern, Dortmund pun tidak kalah. Bahkan, boleh dibilang merekalah yang sejatinya memulai tren seperti ini. Kepada DW, aktor utama di balik akun media sosial Dortmund, David Goerges, menceritakan bahwa itu semua mereka mulai pada 2011.
"Kami punya pendekatan yang berbeda. Ini semua lahir karena pemahaman kami terhadapi kanal-kanal itu," tutur Goerges. "Klaim marketing kami adalah untuk tampil senyata mungkin di depan para fans dan itu kami representasikan di kanal media sosial kami."
Mirip nggak, sih? (Foto: Twitter)
zoom-in-whitePerbesar
Mirip nggak, sih? (Foto: Twitter)
"Kami memang suka main-main dengan kanal kami, tetapi levelnya berbeda. Kami bisa begitu ironis di Twitter, tetapi kadang-kadang juga sangat spesifik. Semua itu kami lakukan untuk bersenang-senang karena begitulah kami," sambungnya.
"Kami menggunakan kanal ini bukan cuma untuk kami, tetapi juga untuk para fans. Itu yang paling penting," tandas Goerges.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana soal eksekusinya? Nah, di sini, yang berperan penting adalah sosok bernama Peter Flore. Baginya, sepak bola itu tidak ada skenarionya, dan dengan demikian, reaksi dari media sosial pun tidak bisa diskenario. Salah satu contohnya adalah ketika dia mengetik "Screw this" ketika Dortmund banyak membuang peluang pada sebuah laga melawan Gladbach.
"Screw this" memang sebuah umpatan yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai "persetan". Di situ, Flore pun meyakinkan audiensnya bahwa itu bukan sebuah kesalahan dengan cara menyertakan tagar pertandingan di belakang cuitan itu. Bagi Flore, sentuhan personal adalah segalanya.
Jadi, begitulah media sosial bagi klub-klub Jerman. Mengutip Simon Kuper, sepak bola sebenarnya cuma bisnis kecil. Adapun, yang besar darinya adalah emosi dari para fans dan itulah yang menjadi dasar di balik pendekatan berbeda di media sosial para pelaku sepak bola Jerman tadi.
ADVERTISEMENT