news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

eSports: Main Game, Kok, Disebut Olahraga?

4 Agustus 2018 9:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
eSports (Foto: M. Faisal/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
eSports (Foto: M. Faisal/kumparan)
ADVERTISEMENT
Bermain video game bukan hal yang kelewat sulit saat ini. Kalaupun tak punya perangkat seperti komputer, PlayStation (PS), atau Xbox, kita bisa menggunakan ponsel untuk memainkannya.
ADVERTISEMENT
Awalnya, bermain game dilakukan untuk mengisi waktu senggang, sebagai hiburan belaka. Kini, game beralih fungsi, tak hanya sebagai hiburan, tapi juga menjadi pilihan karier. Artinya, menjadi gamer profesional, mencari nafkah dengan bermain game.
Keberadaan kompetisi-kompetisi game berskala internasional dengan hadiah berupa uang tunai dengan jumlah berlimpah, menjadi hal yang tak asing lagi saat ini. Fenomena tersebut kemudian dikenal dengan istilah khusus yaitu eSports. Mengacu kamus Oxford, eSports berarti kompetisi game atau permainan game yang bersifat kompetitif.
Bila dibedah, eSports terdiri dari dua kata, electronic dan sports. Keberadaan kata sport memantik perdebatan. Presiden ESPN, John Skipper, berpendapat bahwa eSports bukan olahraga, melainkan hanya sebuah kompetisi. Argumennya ini didukung oleh jurnal yang dirilis oleh Johan Cruyff Institute yang menjelaskan eSports tak lebih dari sekadar alat bisnis.
ADVERTISEMENT
Co-host FOX News, Soledad O'Brien, memberikan pembelaan kepada eSports, tapi pernyataannya juga mendukung teori bisnis jurnal keluaran Johan Cruyff Institute tadi. "Apa pun yang memiliki struktur, model bisnis, hadiah uang, dan level kompetisi yang tergolong tingkat atas, itu semua bisa digolongkan sebagai sport (olahraga),” jelas O’Brien seperti dikutip dari Gamesport.
Dalam perspektif O'Brien dan Jurnal Johan Cruyff yang melihat eSports dari sudut pandang bisnis, adanya organisasi yang menaungi, jumlah penonton, hak siar, cakupan media, hingga hadiah uang, memang membuat eSports memiliki kesamaan dengan olahraga. Bahkan, kemungkinan bisa melebihi olahraga tradisional.
Argumen itu lagi-lagi didukung oleh fakta. Pada 2016, eSports berhasil menggaet 292 juta penonton dan diprediksi akan meningkat menjadi 427 juta penonton pada 2019. Keuntungan secara global dalam industri eSports pun selalu mengalami peningkatan. Dari 194 juta dolar AS pada 2014, melonjak ke 463 juta dolar AS pada 2016.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, bila melihat dari sisi ini saja, argumen eSports sebagai olahraga masih bisa dibantah. Menurut kamus Webster, sport memiliki arti sebagai sebuah permainan, kompetisi, atau aktivitas yang memerlukan usaha fisik dan kemampuan yang dimainkan berdasarkan aturan, untuk kesenangan dan/atau pekerjaan.
Animo penonton yang menyaksikan langsung kompetisi eSports. (Foto: Dok. Counter-Strike.net)
zoom-in-whitePerbesar
Animo penonton yang menyaksikan langsung kompetisi eSports. (Foto: Dok. Counter-Strike.net)
Kendati begitu, mereka yang sudah berkecimpung langsung dalam eSports punya pendapat tersendiri karena menilai seorang pemain (atlet) eSports dituntut untuk memiliki kondisi fisik dan skill yang mumpuni. Lantas, untuk mendapatkannya, mereka perlu berlatih.
"Menggunakan istilah sport selalu menimbulkan argumen karena banyak orang memiliki interpretasi sendiri dengan apa yang dimaksud dengan olahraga. Tapi, kemampuan dan dedikasi yang diberikan oleh para pemain profesional patut kita hargai," kata Vice President FACEIT (portal eSports asal London -red), Vas Roberts, dikutip dari The Market for Computer & Video Games (MCV).
ADVERTISEMENT
"Tujuan kami selalu sama, yaitu mempresentasikan video game sebagai olahraga, bukan berkomentar bahwa bermain video game adalah olahraga. Dengan pemain-pemain kami, fan base yang bergairah di seluruh dunia, saya pikir kesamaan dengan olahraga tidak terbantahkan lagi," tutur Adam Apicella, Sr Director League Operations Major League Games (MLG).
Pendapat PLT Sekjen KOI, Helen Sarita, bahkan menyinggung unsur-unsur yang terkandung pada olahraga. Menurutnya, eSports adalah bagian dari olahraga karena memiliki nilai-nilai olympism yang paling dasar, yaitu menggunakan tenaga manusia.
"eSports menggunakan tenaga manusia. Ada kecepatan dan ketangkasan. Itu beberapa unsur yang jelas terlihat. Ya, mirip (katakanlah) balap sepeda yang juga menggunakan tenaga manusia, kecepatan, dan ketangkasan. Atau bridge. Kita duduk di sepanjang pertandingan dan berpikir, tapi ada kecepatan supaya meraih kemenangan," kata Helen.
ADVERTISEMENT
"Untuk meraih kemenangan itu dibutuhkan sebuah strategi. Beberapa unsur inilah yang ada di dalam sport, sehingga saya merasa eSports termasuk ke dalam bagian olahraga," tambah Helen saat melakukan diskusi eSports di High Grounds Cafe, Penjaringan, Jakarta Utara, pada Selasa (24/7/2018).
Ketua Indonesia eSports Association (IeSPA), Eddy Lim, menganalogikan eSports saat ini dengan bela diri di masa lampau, ketika citra bela diri identik dengan perkelahian dan adu jotos saja. Lantas, setelah karate dan taekwondo diakui sebagai olahraga, orang-orang bisa melihat sisi positif bela diri.
Selain itu, Eddy menegaskan bahwa eSports dan bermain game punya jurang pemisah yang sangat lebar. Masalahnya, stigma negatif soal game memang terlanjur melekat pada masyarakat awam. Meski demikian, Eddy optimistis eSports bakal dilihat dari sudut pandang positifnya.
ADVERTISEMENT
Kompetisi game yang dikategorikan sebagai eSports. (Foto: AFP/THOMAS SAMSON)
zoom-in-whitePerbesar
Kompetisi game yang dikategorikan sebagai eSports. (Foto: AFP/THOMAS SAMSON)
"Pandangan orang awam memang jadi kendala. Ada yang bilang: Apaan, sih, ini main game olahraga? Tapi, kita tinggal jelaskan bahwa eSports dan bermain game itu beda. Ketika main game, mereka tidak punya tujuan, tidak ada kemauan untuk menang. Kalaupun ingin menang, tidak tahu caranya," kata Eddy ketika sama-sama menghadiri diskusi eSports bersama Helen.
"Ketika mereka mau bermain game eSports atau atletnya, mereka akan tahu bahwa kalau mau jago harus latihan, jaga kondisi fisik, dan pola makan. Diharapkan dengan mereka masuk jalur eSports, sisi positifnya mulai keluar karena sudah ada tujuan. Mereka akhirnya juga tahu, tidak boleh main game setiap hari," tambahnya.
"Coba kita ingat-ingat saja, sekitar 100 tahun yang lalu kita belajar bela diri untuk apa? Berkelahi. Tapi, setelah ada olahraga karate dan taekwondo, pandangannya jadi beda. Sama-sama menendang, tapi ada aturannya. Begitu juga eSports. Kalau tidak ada regulasi dan aturan seperti olahraga, sama saja dengan main game biasa."
ADVERTISEMENT
Dalam praktiknya, memang tidak semua video game termasuk ke dalam kategori eSports. Untuk bisa diakui sebagai eSports, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebuah game. Salah satunya, pernah dipertandingkan dalam kompetisi berskala luas dan menghadirkan beberapa negara.
Nantinya, game ini akan kembali digolongkan sesuai jenisnya masing-masing. Mulai dari first-person shooter (FPS), permainan strategi (RTS atau real-time strategy), permainan berkelahi (fighting game), sampai permainan olahraga (sports games), dan permainan balapan (racing games). Game-game ini berkaitan langsung dengan olahraga.
Bahkan, serupa olahraga tradisional yang diturnamenkan, eSports pun lekat dengan kontroversi. Mulai dari cedera para atlet, pengaturan skor, korupsi, doping, dan ciri-ciri olahraga modern lain bisa ditemui dalam eSports.
Untuk menghindarinya, dibentuklah organisasi-organisasi seperti WESA (World eSports Association), IeSF (The International e-Sports Federation) yang bertujuan untuk membentuk standarisasi industri game dalam eSports dan aturan yang harus disepakati.
ADVERTISEMENT
eSport (Foto: ESLCS/Facebook)
zoom-in-whitePerbesar
eSport (Foto: ESLCS/Facebook)
Langkah eSports untuk diakui sebagai olahraga secara utuh, juga semakin dekat setelah pada Oktober 2017 lalu. Badan Olimpiade Dunia (IOC), membeberkan bahwa kemungkinan besar, eSports akan menjadi salah satu cabang olahraga (cabor) di Olimpiade.
"Kami setuju bahwa eSports telah mengalami perkembangan yang pesat, terutama dalam demografi kaum muda di berbagai negara, dan dapat menyediakan platform untuk terlibat dengan perhelatan Olimpiade," bunyi pernyataan IOC yang dilansir Reuters.
"eSports yang kompetitif bisa disebut sebagai kegiatan olahraga, karena para pemain yang terlibat harus mempersiapkan diri dan berlatih dengan intensitas yang mungkin saja sebanding dengan atlet dalam olahraga tradisional. Tapi, kepastian apakah eSports akan menjadi cabor di Olimpiade masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut," tutup pernyataan tadi.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan setelah pernyataan IOC, eSports langsung menjadi cabor percobaan di Olimpiade Musim Dingin 2018 pada Februari 2018 di Pyeongchang, Korea Selatan. Meski hanya game StarCraft II yang dimainkan saat itu, hal ini menjadi sambutan hangat untuk eSports.
Jalan eSports kian terang, karena Badan Olimpiade Asia (OCA) memasukkan eSports sebagai cabang olahraga ekshibisi pada gelaran Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Progres ini bisa membuat eSports bakal menjadi cabor resmi pada Asian Games 2022 di China.
Jadi, atas segala progres yang terjadi, rasanya kita tinggal menunggu waktu saja sampai eSports benar-benar diakui sebagai olahraga yang valid, tanpa dibarengi pro dan kontra tentang identitasnya.