news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Grand Slam Naomi Osaka, Sukacita Jepang

10 September 2018 15:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Naomi Osaka menangi AS Terbuka 2018. (Foto: TIMOTHY A. CLARY / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Naomi Osaka menangi AS Terbuka 2018. (Foto: TIMOTHY A. CLARY / AFP)
ADVERTISEMENT
Final tunggal putri AS Terbuka 2018 sudah berlalu, tapi polemik Serena Williams dan umpire Carlos Ramos belum juga mereda. Namun, Jepang mengambil keputusannya sendiri. Alih-alih tenggelam dalam perdebatan itu, mereka lebih suka merayakan kemunculan sejarah baru.
ADVERTISEMENT
Naomi Osaka tak hanya berhasil mengalahkan Serena, tak cuma mengangkat trofi Grand Slam pertamanya di atas podium yang ditegakkan di Arthur Ashe Stadium, Billie Jean King National Tennis Center. Keberhasilan itu mengantarkan Osaka sebagai petenis Jepang pertama yang menjuarai Grand Slam.
Jepang bukannya tak rajin mengirim wakilnya ke kompetisi Grand Slam. Ini juga bukan pertama kalinya petenis Jepang mencapai final kompetisi paling prestise di ranah tenis itu.
Pada 2014, Kei Nishikori tak cuma menjadi petenis Jepang, tapi petenis pria asal Asia pertama yang menapak ke final Grand Slam. Sayangnya, partai puncak AS Terbuka itu tak berakhir manis bagi Nishikori. Laga melawan Marin Cilic itu berakhir dengan kekalahan 3-6, 3-6, 3-6. Alhasil, keberhasilan Osaka ini memang menjadi pencapaian tertinggi Jepang di ranah tenis.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan Justin McCurry untuk The Guardians dijelaskan bahwa Jepang tenggelam dalam sukacita. Perdana Menteri Shinzo Abe tak sungkan untuk menuliskan ucapan selamat kepada Osaka lewat akun Twitter-nya. Di mata sang perdana menteri, prestasi Osaka menjadi obat yang mujarab untuk mengalihkan rasa sakit akibat gempa bumi di Hokkaido.
“Naomi Osaka, selamat untuk keberhasilanmu menjuarai AS Terbuka. Kamu menjadi petenis Jepang pertama yang meraih gelar Grand Slam. Terima kasih karena kamu telah memberikan kekuatan dan kegembiraan di tengah situasi sulit seperti ini,” tulis Abe di akun media sosialnya.
Ucapan selamat juga datang dari para petenis, Nishikori menjadi salah satunya. Ucapan itu minim kata, tapi dipenuhi dengan emoticon yang menggambarkan kebanggaannya atas pencapaian petenis yang pernah menyebutnya sebagai sosok yang masih seperti anak-anak, walau usianya sudah tak muda lagi itu.
ADVERTISEMENT
Pun dengan Mitsuko Sakai, petenis yang masih berstatus sebagai petenis amatir. Kepada McCurry ia menjelaskan bahwa kematangan mental Osaka merupaka amunisi terpenting yang membuatnya mampu memenangi laga krusial itu.
"Ia tetap tenang menghadapi segala hal yang muncul di pertandingan itu. Saya sangat terkesan dengan kekuatan mentalnya. Seisi stadion bersorak untuk mendukung Serena, tapi Osaka tetap bisa berkonsentrasi pada pertandingan dan memenanginya," kata Sakai kepada McCurry.
Bila media-media asing sibuk mempertanyakan insiden Serena dan umpire, rombongan jurnalis Jepang memilih untuk merawat ingatan Osaka tentang hal-hal menyenangkan yang mengiringi perjalanannya sebagai pencetak sejarah bagi Jepang. Mulai dari pertanyaan soal persilangan budaya hingga makanan pertama yang disantap Osaka di AS Terbuka 2018 ini.
ADVERTISEMENT
Khusus pertanyaan kedua, Osaka menjawabnya dengan: katsu curry. Yomiuri Shimbun, media cetak yang telah berdiri sejak 1874, bahkan menulis “Kombinasi kekuatan dan kepolosan sebagai remaja menjadi pesona Naomi Osaka" dan menyebut Osaka sebagai heroin terbaru untuk Jepang.
Kepolosan Osaka memang menjadi cerita tersendiri di sepanjang turnamen. Ia muncul hampir di setiap konferensi pers usai laga yang dilakoninya, termasuk seusai laga final. Pertanyaan tentang persilangan budaya itu juga muncul di konferensi pers pasca-laga melawan Serena itu. Contohnya, saat seorang jurnalis menanyakan mengapa nama belakangnya menggunakan nama Osaka padahal ayahnya seorang Haiti.
“Hei, apa yang kamu tanyakan itu adalah lelucon lama. Orang-orang sudah menanyakan itu sejak 2014. Kamu tahu? Setiap orang berdarah keturunan, tapi lahir di Osaka, pasti menggunakan nama belakang Osaka. Tapi, ibu saya memang bernama belakang Osaka," jawab Osaka sambil berseloroh.
ADVERTISEMENT
Selain nama belakang ibunya, tak ada yang tahu apakah Osaka benar-benar serius dengan jawabannya. Yang jelas, jawaban Osaka yang seperti itu membikin atmosfer konferensi pers menjadi lebih cair, dipenuhi tawa yang sejak awal tersandung kontroversi laga.
Pemberitaan media Jepang soal gelar Grand Slam Naomi Osaka. (Foto: Kazuhiro NOGI / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Pemberitaan media Jepang soal gelar Grand Slam Naomi Osaka. (Foto: Kazuhiro NOGI / AFP)
Atau, dalam pertanyaan yang berusaha mencari tahu apakah yang akan dilakukan oleh Osaka untuk merayakan kemenangan ini, yang dijawabnya dengan singkat dan mantap: “Tidur.”
Jawaban yang kelewat polos dan singkat ini memantik tawa di ruang media. Si wartawan lantas mempertegas jawaban itu dengan pertanyaan, “Memangnya kamu tidak berencana untuk berpesta?” yang dijawab Osaka dengan “Ummm… Saya tidak seluwes itu dalam bersosialisasi.”
Sesi tanya-jawab ini berjalan dengan khas. Hanya dua pertanyaan di konferensi pers itu yang tidak dijawab Osaka dengan gumaman ‘ummm'. Yang pertama, pertanyaan tentang apa yang akan dilakukannya pada malam hari seusai laga tadi. Yang kedua, pertanyaan soal apakah ia akan minum-minum untuk merayakannya. Lagi-lagi Osaka menjawabnya dengan menyenangkan, yang mengingatkan banyak orang tentang kepolosan seorang anak muda, “Tidaaaak. Saya ‘kan masih 20 tahun.”
ADVERTISEMENT
Terlepas dari segala kepolosannya, Osaka memang berhasil menorehkan sejarah baru bagi Jepang. Sejarah yang membikin ranah tenis mengalihkan pandangan kepada segala potensi yang ada di Jepang.
Dalam laporan McCurry tadi juga dijelaskan bahwa orang-orang Jepang tak peduli dengan status Osaka sebagai orang keturunan. Mereka tak ambil pusing dengan kewarganegaraan ganda (Jepang dan Amerika Serikat) yang dimiliki Osaka. Fenomena ini pun dipertegas oleh ucapan Hirotaka Matsuoka yang dikenal sebagai profesor di Fakultas Olahraga Universitas Waseda, Jepang.
"Sekarang ini, orang-orang Jepang menjadi lebih terbiasa dengan persilangan budaya. Bila seorang atlet bertanding dengan sepenuh hati (walaupun ia berdarah campuran -red) dan dengan jelas menyatakan bahwa ia mewakili Jepang, maka ia akan mendapat dukungan penuh dari publik," jelas Matsuoka.
ADVERTISEMENT