Hantu untuk Venus di Ranah Tenis

10 Januari 2018 15:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Venus Williams di WTA Finals 2017. (Foto: Roslan RAHMAN / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Venus Williams di WTA Finals 2017. (Foto: Roslan RAHMAN / AFP)
ADVERTISEMENT
Tenis milik Venus Williams lahir dari ketidakmungkinan, lalu tumbuh membesar di balik bayang-bayang.
ADVERTISEMENT
Dunia kompetisi dan prestasi akrab dengan bayang-bayang. Ryan Giggs yang waktu itu ditunjuk sebagai pelatih sementara untuk menggantikan David Moyes, memutar jarum jam dan menghidupkan kembali apa-apa yang pernah dibangun oleh Alex Ferguson bersama Manchester United. Konferensi pers kembali digelar pada pukul 09.30 pagi, ruangan dan desainnya persis sama dengan yang digunakan Fergie selama masih menjadi manajer.
Giggs pun meminta Philip Neville, Paul Scholes, dan Nicky Butt untuk menjadi stafnya di bench. Apa-apa yang dilakukan Giggs selalu kembali kepada era Ferguson. Sadar atau tidak, tindak-tanduk Giggs membuktikan bahwa Manchester United tidak melepaskan diri dari bayang-bayang kejayaan Ferguson. Makanya, setiap pelatih yang menjabat, semua keberhasilannya bakal dibandingkan dengan kejayaan Ferguson. Kalau tidak bisa mendekati capaian Sir Alex, pemecatan menjadi harga yang harus dibayar.
ADVERTISEMENT
Jauh dari riuh kompetisi olahraga, hal serupa juga dialami Liam Gallagher. Pasca memisahkan diri dari sang kakak, Noel Gallagher, apa pun yang dikerjakannya akan dibandingkan dengan karya Noel. Dunia mengakui Noel sebagai maestro lirik. Lihatlah musik-musik Oasis saat ia menjadi otak dari segala lirik lagunya.
Maka, saat Liam menelurkan album bersama Beady Eye, lirik-lirik Oasis dijadikan tolok ukur. Begitu bersolo karier, karya-karyanya juga dijajarkan dengan kepunyaan sang kakak. Lihatlah saat Noel mengeluarkan album terbarunya, Who Built the Moon. Reaksi yang muncul ada dua: Membandingkan album Noel dengan Oasis, membandingkan album As You Were milik Liam dengan kepunyaan Noel. Selalu seperti itu.
I
Venus Williams lahir di Lynwood, California. Bersama keluarganya, akhirnya mereka pindah ke Compton. Serena, adiknya, lahir di kota ini. Venus tidak menghabiskan masa kecilnya di wilayah beradab. Tempat ini dikenal sebagai salah satu area dengan tingkat kejahatan paling tinggi di Los Angeles.
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat bukan negara yang karib dengan tenis. Bisbol, basket, dan rugbi adalah olahraga yang paling populer. Untuk mendalami ketiganya juga terbilang mudah. Sarana dan fasilitasnya bisa ditemukan di banyak tempat. Sementara tenis, fasilitas dan sarananya hanya ada di sekolah-sekolah mewah.
Seharusnya, Venus tidak mungkin menjadi petenis. Ia orang kulit hitam. Dan tenis, adalah panggung prestasi bagi orang-orang kulit putih.
Venus Williams di US Open 2017. (Foto: Jewel SAMAD / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Venus Williams di US Open 2017. (Foto: Jewel SAMAD / AFP)
Sepanjang sejarah, hanya ada enam petenis kulit hitam yang pernah mendapatkan gelar Grand Slam: Arthur Ashe, Yannick Noah, Althea Gibson, Venus Williams, Serena Williams, dan Sloane Stephens. Ketika olahraga lain memiliki banyak atlet kulit hitam di level elite dunia saat ini, tenis pria hanya mengenal Gael Monfils dan Jo-Wilfried Tsonga, yang keduanya berasal dari Prancis.
ADVERTISEMENT
Bukannya menempuh pendidikan tenis dan menggaet pelatih, Venus berlatih dari ayahnya, Richard Williams. Mereka berlatih di lapangan umum dekat rumah mereka. Bukan lapangan dengan kondisi ideal. Permukaannya retak-retak. Belum lagi harus berebut tempat dengan orang lain. Richard pun bukan petenis profesional. Ia mengajar kelima anaknya mengayun raket bermodalkan video pertandingan.
Richard pun tak punya ambisi agar anak-anaknya, terutama Venus dan Serena, menjadi ratu di dunia tenis. Membikin dunia melihat bahwa orang kulit hitam seperti mereka juga bisa menaklukkan ranah tenis. Yang ada di pikiran Richard, putri-putrinya memenangi turnamen, mendapat uang hadiah, lalu menggunakan uang tadi sebagai modal bisnis. Ia ingin kedua anaknya itu pensiun begitu menginjak usia 25 tahun. Pensiun lalu menjadi pebisnis. Bukankah itu cita-cita yang rasional?
ADVERTISEMENT
Namun, itu sebelum ayunan raket menjadi candu. Sebelum pantulan bola menjadi gejolak kepuasan yang teramat-sangat.
Venus Williams lolos ke babak ketiga. (Foto: REUTERS/Matthew Childs)
zoom-in-whitePerbesar
Venus Williams lolos ke babak ketiga. (Foto: REUTERS/Matthew Childs)
Saat menginjak usia 10 tahun, Venus tahu apa yang jadi senjatanya. Ia mampu melakukan servis dengan kecepatan 100mph. Dalam dunia tenis, kecepatan servis berbanding lurus dengan memenangi servis. Biasanya, seorang petenis yang bisa mengembalikan servis dengan kecepatan tinggi juga punya kemungkinan yang besar untuk memenangi bola-bola servis lawan.
Venus mulai mengikuti kompetisi level junior yang dihelat oleh Asosiasi Tenis Amerika Serikat. Di kompetisi pertamanya ini, tak satu poin pun yang diraih lawan-lawannya. Jika ditotal, angka yang dikumpulkan Venus mencapai 63, sementara lawan-lawannya 0.
31 Oktober 1994 adalah kali pertama Venus mengikuti turnamen profesional bertajuk Bank of the West Classic. Di pertandingan pertama, ia berhadapan dengan petenis peringkat 50 dunia kala itu, Shaun Stafford. Lantas, dalam konferensi pers sesudah pertandingan, di hadapan awak media, di depan orang-orang yang keheranan dengan capaian bocah 14 tahun, sang ayah berteriak, “That's one for the ghetto!”
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, Venus sadar bahwa tenisnya bukan melulu tentang diri sendiri. Ini juga berarti deklarasi bahwa kaum minoritas, mereka yang hidup di pinggiran, juga bisa merebut tempat utama.
Dan saat menapaki ranah profesional, Venus sadar bahwa tenisnya selalu dilingkupi bayang-bayang.
II
Sebelum musim kompetisi 2007, hadiah turnamen untuk petenis wanita lebih kecil daripada petenis pria.
“Petenis wanita punya hak yang sama dengan pria. Kami juga berjuang, berlatih dengan keras. Pertandingan yang kami hadapi juga tidak lebih ringan dari nomor pria. Lalu, buat apa dibeda-bedakan?”
Venus pertama kali memperdengarkan suaranya pada gelaran US Open 1998. Waktu itu, AS Terbuka menjadi satu-satunya kompetisi Grand Slam yang menyamakan jumlah hadiah untuk nomor wanita dan pria. Tahun 2005, Venus melangkah ke putaran final dan berhadapan dengan unggulan teratas saat itu, Lindsay Davenport.
ADVERTISEMENT
Sehari sebelum pertandingan final, ia menghadiri sebuah pertemuan dewan yang diadakan oleh All England Lawn Tennis and Croquet Club, organisasi yang mengelola turnamen tersebut. Di tengah pertemuan itu, ia menyuruh mereka yang hadir untuk memejamkan mata dan membayangkan seorang anak perempuan yang berlatih bertahun-tahun hanya untuk sampai ke tahap ini. Namun, begitu ia tahu ia telah sampai, perempuan itu sadar bahwa ia tidak akan bisa sama seperti laki-laki. Baginya, kesuksesan petenis wanita tidak akan dihargai sama dengan petenis pria. Seberat apa pun perjuangan atlet wanita, ada bayang-bayang yang lebih besar yang datang dari nomor pria.
Beberapa bulan setelah Venus berbicara di pertemuan All England Club itu, hadiah kompetisi wanita dinaikkan, walaupun belum menyamai jumlah yang diterima pria. Lantas, CEO Asosiasi Tenis Wanita (WTA), Larry Scott, meminta Venus untuk menjadi tokoh sentral dalam memperjuangan keseteraan upah petenis wanita.
ADVERTISEMENT
Venus tidak berteriak-teriak. Tidak pula memboikot turnamen dan menolak bertanding sampai hadiah nomor wanita disamakan dengan pria. Ia tahu bahwa hal pertama yang harus dilakukannya adalah menyusun argumen untuk melawan argumen Tim Phillips, yang waktu itu menjabat sebagai chairman All England Club. Dalam argumennya, Tim menyebutkan bahwa turnamen pria membutuhkan kekuatan fisik yang lebih.
Tenis entah bagaimana caranya menjadi olahraga yang karib dengan tatanan, dengan yang indah-indah. Bila diperhatikan, petenis putri kerap bertanding dengan baju olahraga berwarna putih. Mereka seperti dituntut untuk menjadi anggun dan tangguh sekaligus.
Venus masuk ke lapangan dengan perbedaan. Ia tidak bertanding dengan baju putih. Rambutnya dikepang-kepang aneh, bajunya berwarna-warni meriah. Lengan dan kakinya terlampau berotot. Di lapangan, dalam setiap pertandingan, ia tampil urakan. Berteriak kasar saat gagal mengembalikan bola. Mengacungkan tinju bila berhasil merepotkan lawan. Venus jadi pembeda, keberadaannya seperti susah diterima orang lain.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya elegansi yang ditunjukkan Venus Williams adalah dari caranya mengembalikan bola dan mengirimkan groundstroke. Lalu kali ini, elegansi Venus Williams tampil dalam bentuknya yang lain: Ia menulis esai di harian London Times.
Argumennya tentang kesetaraan petenis wanita dan pria ditumpahkan dalam tulisan. Ia sadar, apa-apa yang sudah tertanam harus dilawan dengan pemikiran. Lalu muncullah esai yang berjudul 'Wimbledon has Sent Me a Message: I’m Only a Second Class Champion', yang dirilis tanggal 26 Juni 2006.
Upaya Venus terbayar lunas, walau cerita ini hanya marak di Inggris, bukan di Amerika Serikat. Februari 2007, Tim Phillips mengumumkan bahwa hadiah Wimbledon untuk nomor pria dan wanita akan disamakan. Sudah waktunya untuk berpikir logis dan mengenyahkan perbedaan-perbedaan tanpa dasar. Tenis Venus Williams lepas dari jangkauan bayang-bayang tenis pria.
ADVERTISEMENT
III
Serena Williams adalah ratu di dunia tenis, singgasananya berdiri kokoh di puncak gunung prestasi. Ia meraih 23 gelar Grand Slam, gelar paling elite di ranah tenis. Sementara Venus, baru meraih tujuh gelar Grand Slam. Tahun 1999, Serena meraih Grand Slam pertamanya saat berusia 18 tahun. Sedangkan Venus, raihan pertama Grand Slam pertamanya baru terjadi di tahun 2000, saat ia menginjak usia 19 tahun.
Venus Williams (Foto: Jason Reed/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Venus Williams (Foto: Jason Reed/Reuters)
Pembicaraan-pembicaraan seperti itu kerap muncul bila menyinggung tenis Venus Williams. Apa boleh bikin, sang adik memang lebih perkasa mendulang gelar. Venus boleh lepas dari bayang-bayang minoritas dan tenis pria. Namun, bayang-bayang terbesar yang melingkupi seluruh perjalanan karier Venus sebagai petenis adalah adiknya sendiri, Serena Williams.
ADVERTISEMENT
Venus dan Serena telah bertemu dalam 29 pertandingan. Sang adik mendominasi dengan 18 kali kemenangan. Venus terakhir kali menang melawan Serena di partai semifinal dalam Canadian Masters 2014 dengan skor 6-7, 6-2, 6-3.
Serena tidak bisa bertanding di gelaran Wimbledon 2017 karena mengandung anak pertamanya. Seharusnya, kompetisi ini menjadi panggung buat Venus Williams. Berapa pun capaiannya, Venus adalah legenda hidup lapangan tenis. Namun, terkadang masalah bayang-bayang tidak melulu berhubungan dengan kehadiran.
Lagi-lagi yang ditanya adalah Serena. Alih-alih membicarakan peluang dan kesiapannya, Venus malah dicecar pertanyaan tentang kelahiran keponakannya. Lagi-lagi Serena. Lantas, menanggapi pertanyaan-pertanyaan tadi, Venus menjawabnya dengan demikian, “Tidak ada pembicaraan tentang bayi, saya ke sini untuk memenangi pertandingan.”
Yang harus dihadapi Venus Williams di Wimbledon 2017 tidak hanya lawan-lawannya. Bukan melulu tentang bayang-bayang nama besar Serena Williams, tapi juga ancaman pidana akibat kecelakaan fatal menimpanya tanggal 9 Juni 2017. Peristiwa itu menelan korban jiwa, seorang pria berusia 78 tahun tewas dua pekan setelah kejadian itu terjadi. Sementara sang istri terluka cukup parah walau nyawanya dapat diselamatkan.
ADVERTISEMENT
Alih-alih ditanya soal pertandingannya, di konferensi pers kompetisi Venus justru diburu pertanyaan menyoal kecelakaan itu. Seumur hidupnya, Venus selalu tahu caranya menahan diri saat bereaksi di depan publik. Namun, kali ini, dua hal yang bisa ia lakukan adalah menangis di konferensi pers dan meninggalkan awak media.
Venus sampai ke partai final. Ia tak mengenakan baju warna-warni meriah yang jadi ciri khasnya. Kali ini warnanya putih-putih, seperti petenis kebanyakan. Melawan Garbine Muguruza, ia kalah dalam dua set langsung 7-5, 6-0. Lantas menyalami Muguruza, mengucapkan selamat dengan senyum dan elegansi yang mendarah-daging.
****
Milan Kundera pernah menulis novelet berjudul Identity. Ada satu fragmen manis yang menjelaskan bahwa teman masa kecil ibarat cermin yang memantulkan masa silam kita. Teman jenis itu dibutuhkan supaya masa silam kita tetap utuh. Supaya bentuknya bertahan, agar keberadaannya tidak mengerut dan habis dilahap kedewasaan.
ADVERTISEMENT
Saat dewasa, sesekali kita harus mengelap cermin itu. Kadang bayangan sulit dilihat karena cermin ditutup debu atau entah apa. Bagi Venus Williams, tak ada teman masa kecil selain adiknya, Serena Williams. Sejak kecil, mereka berdua saling membantu menghidupi ketidakmungkinan. Lantas, sesekali Venus bercermin pada Serena. Yang dilihatnya cerita-cerita lapangan zaman dulu, sewaktu mereka belum punya urusan apa-apa dengan prestasi dan nama besar. Sebelum lapangan tenis dengan permukaan retak-retak itu berubah bentuk menjadi hitung-hitungan trofi Grand Slam.