Jaenal Aripin: Bangkit di Trek Lari Kursi Roda, Mandiri dengan Motor

10 Oktober 2018 11:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Atlet National Paralympic Committee (NPC) cabang olahraga Atletik Balap Kursi Roda Jaenal Aripin mengikuti pelatnas Asian Para Games 2018 di Stadion Sriwedari, Solo. (Foto: ANTARA/Muhammad Ayudha)
zoom-in-whitePerbesar
Atlet National Paralympic Committee (NPC) cabang olahraga Atletik Balap Kursi Roda Jaenal Aripin mengikuti pelatnas Asian Para Games 2018 di Stadion Sriwedari, Solo. (Foto: ANTARA/Muhammad Ayudha)
ADVERTISEMENT
"Jangan kecil hati, ya, Mah," begitu pesan Jaenal Aripin kepada Juariah, sang ibu tercinta.
ADVERTISEMENT
Jaenal adalah atlet para atletik Indonesia nomor lari kursi roda kelas T54, artinya sang atlet punya kondisi otot fit di bagian tubuh atas, tetapi tidak memiliki fungsi di kaki. Ya, kedua kaki Jaenal memang diamputasi.
Kejadian itu berawal dari insiden pada 2006, saat Jaenal berusia 18 tahun. Tengah mengendarai motor bersama teman, Jaenal terlibat kecelakaan dengan truk batu bara bermuatan 25 ton. Begitu parahnya, kedua kaki Jaenal tak bisa diselamatkan.
"Saya rasanya mau kiamat pas kejadian. Apalagi lihat kakinya di rumah sakit," ungkap Juariah saat ditemui kumparanSPORTS, Selasa (9/10/2018) malam WIB di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan.
Jaenal Berlari di Atas Kursi Roda
Dari Cikalong Wetan, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, wanita berusia 57 tahun itu hadir di Ibu Kota untuk mendukung sang anak dalam ajang Asian Para Games 2018. Meski Jaenal tidak mendapatkan medali di nomor 100 meter T54 andalannya Selasa (9/10) malam, tak ada gurat kecewa di wajah Juariah.
ADVERTISEMENT
Berada di luar area stadion, Juariah bertemu Jaenal usai pertandingan. Semua larut dalam haru, termasuk istri Jaenal dan anaknya. Masih di atas kursi roda, Jaenal meminta maaf karena hanya finis urutan kelima dalam waktu 14,87 detik.
Juariah menggeleng, tak terima permintaan maaf sang anak. Namun, emosinya meninggi karena malam itulah kali pertamanya menonton aksi Jaenal melesat kencang di trek lari dengan kursi rodanya. "(Datang) kasih semangat saja, cuma terbawa sedih," ujar Juariah sambil terisak.
"Tidak menang juga yang penting sudah usaha. Sebelum tanding belum ketemu, cuma telepon. Jaenal bilang: Doakan saja, Mah. Saya jawab iya. Tapi, dia bilang yang sekarang lawannya berat, saya bilang yang penting semangat saja. Bismillah," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Jaenal Aripin (tengah) memangku sang anak, ditemani Hamid (ayah, 61 tahun) usai bertanding di SUGBK, Selasa (9/10/2018). (Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jaenal Aripin (tengah) memangku sang anak, ditemani Hamid (ayah, 61 tahun) usai bertanding di SUGBK, Selasa (9/10/2018). (Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan)
Jaenal sendiri, lanjut Juariah, memutuskan menjadi atlet di usia 20 tahun. Juariah menilai, bakat sang anak kelahiran 29 Februari 1988 itu tidak terlihat sebagai pelari. Hanya, Jaenal getol berlatih ke Kota Bandung. GOR Pajajaran, sebuah kompleks olahraga tak jauh dari Stasiun Bandung, menjadi saksi lahirnya Jaenal si atlet kursi roda.
"Hanya sering diajak main sama temannya. Bilangnya mau main ke Bandung. Ternyata ke sini, saya tahu dia latihan kursi roda," ucap sang ibu.
Bersama Juariah, ada Hamid (61), ayah Jaenal, yang mendengar lantunan kata demi kata dari mulut istrinya. Sesekali ia menimpali dengan nada bicara tegas, lebih tegar ketimbang Juariah. "Dulu Jaenal mau jadi atlet diajak teman, sering main di GOR Pajajaran. Anaknya tidak pernah mengeluh," gantian Hamid yang bercerita.
ADVERTISEMENT
"Dulu kalau ke Bandung mau latihan, dia minta paling banyak Rp 15 ribu buat bensin. Kadang bawa bekal mie instan. Jarak dari rumah ke GOR Pajajaran ada satu jam. Ongkos minimal Rp 12 ribu," kata sang ayah.
Jaenal dan Motornya
Juariah dan Hamid tentu tidak pernah lelah mendukung perjuangan Jaenal, baik sebagai atlet para atletik maupun dalam kesehariannya di rumah. Suatu ketika, ada momen yang begitu menguras emosi Juariah dan Hamid sebagai orang tua.
Apalagi kalau bukan menyoal transportasi. Menjadi kendaraan paling praktis, motor tak bisa lepas sebagai moda transportasi Jaenal, meski di atas motor jugalah kedua kakinya terenggut.
"Paling sedih itu ketika dia mengendarai motor, lalu sering macet di pasar. Ditanya kalau macet berhenti bagaimana? Jaenal jawab dia cari kayu. Dia dulu pakai kaki palsu, tapi belum tahu cara dan taktiknya pakai motor biasa roda dua," kata Hamid.
ADVERTISEMENT
Kini, tak hanya menjadi sprinter kursi roda berbakat berkat dua perak di nomor 100 meter T54 dan 200 meter T54 ASEAN Para Games 2017, Jaenal juga sudah andal mengendarai motornya. Termasuk saat harus membelah keramaian-keramaian Bumi Parahyangan sambil asyik membonceng sang ibu. Awalnya, Juariah takut, tetapi hati besar sang anak melunturkan semua kesangsian atas kemampuan Jaenal di atas motor.
"Dulu belum bisa nahan di motor. Dia bilang: Suka ingin nangis di atas motor karena macet, harus cari-cari kayu buat tongkat. Saya langsung sedih, cuma bisa bilang: Sabar saja Aa, nanti juga bisa. Dia lalu minta: Iya Mah, doain ya," ucap Juariah menirukan sang anak.
"Dia suka ngajak: Mah, ayo ikut sama Aa saja. Saya jawab: Ah, nggak ah, takut. Jaenal bilang: Nggak Mah, sekarang, sih, sudah bisa menahan, cobain, pegangan. Pertama, mah, takut saya juga, ke sini tidak lagi," kata Juariah semringah.
ADVERTISEMENT
***
Di Asian Para Games 2018, Jaenal akan kembali berjuang pada Jumat (12/10) di nomor lari 200 meter putra T54. Di edisi ketiga multievent atlet disabilitas terbesar se-Asia ini, Jaenal sejatinya lebih dijagokan di nomor 100 meter.
Tak salah jika sang atlet kecewa, sampai meminta maaf. Namun, mengutip ucapan penutup sang ibu, dukungan dari keluarga dan masyarakat Indonesia bisa menguatkan dan membesarkan hati Jaenal. "Kasih support saja, dia juga tidak minder," pungkas Juariah.