Jurnal: Laut, Hemingway, dan 'Petuah' Bapak-Bapak dengan Rokok Kretek

31 Agustus 2018 12:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
JetSki (Foto: REUTERS/Athit Perawongmetha)
zoom-in-whitePerbesar
JetSki (Foto: REUTERS/Athit Perawongmetha)
ADVERTISEMENT
Menjadi jurnalis, katanya, seperti halnya menjadi guru. Di sana, ada hati yang berbicara dan pengabdian yang harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, dulu, menjadi jurnalis adalah perkara yang jauh. Memang, sedari kecil saya sudah terbiasa membaca koran, majalah, maupun menonton siaran televisi berbau berita. Tapi, semua paparan tersebut tak menjadikan saya tertarik menjadi wartawan.
Ketertarikan itu mulai muncul pada akhir 2013. Di tengah kebingungan menentukan profesi yang akan digandrungi setelah kuliah, saya dan rekan saya memutuskan untuk menjadi wartawan. Bahasa kerennya, jurnalis. Kami memutuskan magang di Pikiran Rakyat kala itu, awal 2014.
Hasilnya, saya dan rekan saya benar-benar menjadi jurnalis. Rekan saya bekerja di Tribun Jabar, sedangkan saya bekerja di Pandit Football Indonesia (sekarang saya di kumparan). Kami menekuni profesi yang kami putuskan. Namun, kenyataan memang tak seindah bayangan dalam angan.
ADVERTISEMENT
Menjadi jurnalis ternyata merepotkan. Selain harus mencari berita dengan sudut pandang mumpuni, serta membangun jejaring dengan para narasumber yang kami wawancarai, ternyata ada tekanan-tekanan lain yang juga menghiasi dunia jurnalistik yang kami geluti. Walau sudah tahu celah dalam mengatasi tekanan-tekanan tersebut, selalu ada tekanan baru yang hadir.
Salah satunya adalah yang saya hadapi di Ancol, 26 Agustus 2018. Saya ingat wajah-wajah itu: Dua orang bapak, dengan celana pendek serta batangan rokok kretek di dalam sakunya. Dua orang bapak yang secara jujur mengutarakan pandangannya soal jurnalis.
***
Minggu, 26 Agustus itu, adalah sebuah hari yang panas. Saya datang ke pinggiran laut di Ancol sana untuk meliput perlombaan cabang olahraga jetski nomor endurance runabout open.
ADVERTISEMENT
Merunut jadwal, perlombaan seharusnya dimulai pukul 10.30. Namun, karena satu dan lain hal, pertandingan diundur menjadi jam 13.00. Saya yang sudah kadung datang ke lokasi, harus menepi sejenak. Panas cuaca khas pinggir pantai di Ancol membuat saya semakin kesal. Saya menggerutu sekeras mungkin, meski hanya di dalam hati.
Sadar bahwa masih memiliki satu jam santai, saya memutuskan berkeliling sejenak. Saya memilih untuk mengunjungi pantai Ancol, yang lokasinya tak jauh dari Jetski Indonesia Academy. Daripada bersungut-sungut, lebih baik menenangkan diri sejenak, merasakan hembusan angin pantai serta suara pelan ombak yang menyentuh batu karang.
Di tengah siang hari terik, saya berjalan-jalan di atas batu karang yang sudah disusun rapi layaknya tanggul. Di ujung susunan batu tersebut, ada dua orang bapak sedang duduk, memandangi laut, mengobrol asyik sambil menyesap rokok kretek dan menyeruput kopi. Saya langsung menghampiri keduanya, nimbrung menjadi bagian dari percakapan.
ADVERTISEMENT
Aqsa Sutan Aswar beraksi di cabor jetski Asian Games 2018. (Foto: ANTARA FOTO/INASGOC/Bram Selo Agung)
zoom-in-whitePerbesar
Aqsa Sutan Aswar beraksi di cabor jetski Asian Games 2018. (Foto: ANTARA FOTO/INASGOC/Bram Selo Agung)
"Boleh saya ikut duduk sini, Pak?" ujar saya.
"Oh, silakan, dek… Silakan,” jawab dua bapak tersebut sambil menawari saya kopi dan rokok. Saya tolak. Saya sudah bawa air putih dan rokok.
Kami pun mengobrol panjang, dari soal laut, keadaan Ancol dewasa ini, sampai membicarakan soal Timnas U-23 yang kalah dari Uni Emirat Arab semalam sebelumnya. Namun, pada satu titik, ada omongan yang cukup menggelitik saya. Salah seorang bapak, yang berkacamata dan sudah berumur, menanyakan profesi saya.
"Kerja apa, dek?" tanya si bapak.
"Wartawan, pak," ujar saya dengan polosnya.
"Oh, wartawan, yak? Tukang boong itu. Pintar cerita juga," timpalnya.
Mendengar itu, saya terkesiap. Saya selaku wartawan (jurnalis) langsung merasa keheranan. Saya pun menanyakan apa maksud di balik perkataan si bapak tersebut. Dengan enteng, si bapak menjawab.
ADVERTISEMENT
"Wartawan mah kayak Harmoko (Menteri Penerangan era Orde Baru). Pinter cerita, pinter boong juga, tapi emang tahu banyak hal," seloroh si bapak.
Saya yang awalnya (akan) tersulut emosi, memutuskan untuk menahan diri. Saya lebih memilih untuk mendengar cerita si bapak. Setelah menyamakan jurnalis dengan Harmoko, dia juga menyamakan jurnalis dengan (alm.) KH. Zaenuddin MZ. Di mata si bapak, Zaenuddin MZ adalah sosok yang pandai bercerita, tapi ilmunya lemah.
"Sebenarnya banyak kok orang yang lebih pintar ilmunya dari dia (Zaenuddin MZ), tapi mungkin aja orang tersebut ga pinter cerita, jadi orang-orang ga tahu dia. Intinya sama kaya sales, sih. Harus pintar ngomong dan pintar cerita," ujar si bapak.
Aksi Aqsa Sutan Aswar di Asian Games 2018. (Foto: ANTARA FOTO/INASGOC/BRAM SELO AGUNG)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Aqsa Sutan Aswar di Asian Games 2018. (Foto: ANTARA FOTO/INASGOC/BRAM SELO AGUNG)
Mendengar cerita si bapak, saya jadi tertawa sendiri. Diiringi suara gemuruh jetski, ucapan si bapak menjadi gaung dari perkataan Ernest Hemingway, jurnalis-cum-penulis kawakan asal Amerika Serikat itu.
ADVERTISEMENT
Kata Hemingway, kesederhanaan dalam mengungkapkan fakta yang dilihat di lapangan adalah sebuah hal yang harus dipegang oleh para jurnalis. Hal ini demi menjaga agar fakta yang ada tidak menjadi berlebih, serta tidak ada yang disembunyikan. Semua harus disampaikan dengan sederhana dan apa adanya.
Rokok yang ada di tangan saya isap dalam-dalam. Embusan asapnya menyatu dengan terik matahari yang menyinari Ancol siang itu.
Melihat jam, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12.45 WIB. Saya langsung pamit kepada dua bapak tersebut, dan bergegas kembali ke Jetski Indonesia Academy. Laga final nomor endurance runabout open akan segera dimulai.
Deru tipis ombak Ancol dan suara Aqsa Sutan Aswar serta Aero Sutan Aswar memanaskan jetski mereka terdengar di telinga saya.
ADVERTISEMENT
***
Ilustrasi Laut. (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Laut. (Foto: Unsplash)
Saya ingat salah satu novel terpenting Hemingway, ‘The Old Man and The Sea’. Sang protagonis, Santiago, mengalami nasib sial tak terperi. Ketika cerita itu dibuka, Santiago —yang menyambung hidup sebagai nelayan— sudah 84 hari tidak menangkap ikan.
Andai tidak ada pergulatan melelahkan dengan seekor marlin besar, nasib sial Santiago itu tidak akan tuntas. Dari pinggiran laut itu, Santiago mendapatkan segenggam cerita yang kelak abadi dalam benaknya sendiri.
Saya bukan Santiago. Tapi, dari pinggiran laut yang berbeda, bapak-bapak itu sudah memberi saya "petuah" yang sesungguhnya tak bijak-bijak amat, tetapi cukup untuk membuat saya berpikir.