Jurnal: Saat Perbedaan 1 Kg Mampu Mengubah Jalan Hidup

27 Agustus 2018 16:38 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lifter Indonesia Eko Yuli peraih emas saat berfoto bersama medalinya usai menjuarai angkat besi putra grup A nomor 62 kg Asian Games ke-18 di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta, Selasa (21/8/2018). (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lifter Indonesia Eko Yuli peraih emas saat berfoto bersama medalinya usai menjuarai angkat besi putra grup A nomor 62 kg Asian Games ke-18 di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta, Selasa (21/8/2018). (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Dahulu, yang saya tahu hanya sepak bola saja olahraga yang menarik. Pada Agustus 2018, pandangan saya ini berubah. Angkat besi adalah pemicunya.
ADVERTISEMENT
Sedari kecil, saya sudah dikenalkan dengan olahraga sepak bola. Kala itu, yang mengenalkan adalah paman saya, dengan gim FIFA 1998 sebagai perantaranya. Dari gim itu, saya mengenal klub-klub besar macam Manchester United, Arsenal, Liverpool, Juventus, Inter Milan, serta AC Milan. Soal bola lokal, tentu saya diperkenalkan kepada Persib, meski tidak terlalu intens.
Pandangan inilah yang terawat sampai saya dewasa. Bahkan, saat memulai karier sebagai wartawan-cum-penulis, saya memilih sepak bola selaku bidang jurnalistik yang saya geluti. Memang, banyak hal yang saya dapat dari sepak bola dalam dua tiga perempat tahun terakhir. Kawan, rekan kerja, musuh, bahkan sampai jodoh sekali pun.
Namun, pandangan itu berubah pada sebuah sore tanggal 20 Agustus 2018. Sejak saat itu, ada satu olahraga yang mulai menarik perhatian saya: Angkat besi. Olahraga yang mungkin pada awalnya hanya dikira soal angkat-mengangkat saja, nyatanya mampu menghadirkan sebuah "goosebumps", dan untuk hal ini, saya harus berterima kasih kepada wartawan sebuah tabloid olahraga bernama Galih.
ADVERTISEMENT
Berkatnya, saya bisa merasakan bahwa perbedaan 1 kg bisa menentukan nasib hidup seseorang.
***
Saat itu, suasana sedang ramai. Saya yang baru menyelesaikan tugas di venue wushu, terutama karena Lindswell Kwok, atlet wushu andalan Indonesia, meraih emas, tergopoh-gopoh menuju ke Hall A Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran. Jarak Hall A dengan Hall B sebenarnya hanya sepelemparan batu saja, tetapi cuaca panas yang menyelimuti Kemayoran kala itu membuat saya bercucuran keringat.
Menghampiri Hall A, awalnya saya tidak diperbolehkan masuk. Relawan yang menjaga pintu memberitahu saya jika kondisi arena sudah penuh. Saya bisa memaklumi ini, karena pada saat itu, Sri Wahyuni, lifter (sebutan untuk atlet angkat besi Indonesia) andalan Indonesia sedang bertanding. Pasti banyak orang ingin melihat aksi Sri. Saya juga. Apalagi saya memang dibebankan tugas oleh redaktur untuk mengerjakan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, saya memilih jalan lain. Pintu masuk penonton yang masih terbuka jadi sasaran saya. Langsung saya masuk situ tanpa basa-basi kepada relawan yang berjaga. Mereka memandangi saya, tapi bodo amat. Kalian bekerja, saya juga, pikir saya waktu itu. Kala menerobos inilah, saya bertemu dengan Galih. Kebetulan saya memang berkenalan dengan Galih siang sebelumnya, kala kami berdua meliput wushu di Hall B.
"Kadieu oge maneh, mang. Edan mane (Ke sini juga kamu. Hebat memang)," ujar Galih. Galih adalah orang Bandung, sama seperti saya. Keakraban kami tercipta karena memang kami sama-sama orang Sunda.
Singkat cerita, saya dan Galih meliput angkat besi bersama-sama. Tapi, saat itu Galih begitu menikmati pertandingan. Saya yang baru mengenal istilah "snatch" serta "clean and jerk" malah bingung mengikuti jalannya laga. Saya tidak mengerti dan tidak bisa merasakan, berbeda dengan Galih yang begitu semangat meneriaki Sri Wahyuni saat perempuan berusia 24 tahun itu melakukan angkatan "clean and jerk".
ADVERTISEMENT
Sri kalah saat itu. Total angkatannya beda empat kilogram dari total angkatan lifter asal Korea Utara, Song Gum-ri. Saya masih ingat bagaimana kecewanya Sri, terutama ketika dia mengatakan, “Ya, memang enggak kena, mas… Saya mohon maaf."
Lifter Indonesia, Sri Wahyuni. (Foto: Money Sharma/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Lifter Indonesia, Sri Wahyuni. (Foto: Money Sharma/AFP)
Saya yang masih harus mencerna banyak hal soal angkat besi memutuskan pulang ke Main Press Centre di Gelora Bung Karno. Sesampainya di sana, kebingungan saya ini masih terasa. Ketika diperintahkan untuk melakukan peliputan angkat besi keesokan harinya, saya sedikit berpikir, “Ini besok gimana, ya?”
Namun, saya kesampingkan perasaan itu. Saya tahu wartawan lain juga merasakan hal sama, meski beberapa juga mungkin ada yang paham, tapi pelit untuk berbagi.
Esoknya, pada 21 Agustus 2018, hari Selasa, saya kembali lagi ke Hall A JIExpo Kemayoran. Hari itu saya baru selesai meliput wushu, dan angkat besi menjadi cabor selanjutnya yang saya liput (lagi). Ada Eko Yuli Irawan, lifter andalan Indonesia yang turun di nomor 62 kg putra, nomor yang dipertandingkan ketika itu. Kebingungan menyelimuti saya lagi. Namun, Galih langsung datang menghampiri. Dia bak malaikat bagi saya ketika itu.
ADVERTISEMENT
"Yeuh, kadieu. Aing boga data angkatanna si Eko kamari-kamari. Tah tempo, ieu si Eko patokannya bisa ngangkat sakieu-sakieuna (Heh, sini. Aku punya data angkatannya Eko kemarin-kemarin. Lihat sini, ini ada patokan si Eko bisa ngangkat segini nih)," ujar Galih dengan penuh semangat. 
Saya masih tidak mengerti. Yang saya mengerti hanya satu: Berita hasil pertandingan angkat besi ini harus segera saya garap. Namun, apa yang dikatakan Galih setelahnya memalingkan dunia saya barang sejenak. Sambil setengah berbisik, Galih mengujarkan kenapa dia bisa begitu cinta kepada olahraga angkat besi.
"Di olahraga ieu mah, strategina bener-bener kudu dipake. Tim pelatih kudu boga catatan angkatan lawan, bari oge kudu boga catatan angkatan atlet sorangan. Salah analisis, bisa modar, jiga kajadian si Eko Yuli kamari pas di SEA Games 2017 (Eko menang perak saat itu). Ieu nu nyieun aing resep angkat besi." 
ADVERTISEMENT
Terjemahan: "Di olahraga ini, strategi harus benar-benar dipakai. Tim pelatih harus punya catatan lawan, tapi juga harus punya catatan angkatan atlet sendiri. Salah analisis, mati kita, seperti kejadian Eko Yuli kemarin di SEA Games 2017. Ini yang bikin saya suka angkat besi."
Sontak saya tertarik. Di situ, cakrawala saya meluas. Setelah mendengarkan omongan Galih ini, saya jadi mengerti apa yang sedang diperjuangkan Eko Yuli di atas arena, bersama dengan para tim pelatihnya. Pergantian angka snatch serta clean and jerk menjadi saya pahami. Ketika angka snatch serta clean and jerk berganti, saya tahu apa yang sedang mereka rencanakan. Ini membuat ketertarikan saya muncul. Saya mulai cinta angkat besi.
Eko Yuli keluar sebagai pemenang. Selain menyaksikan pengalungan medali emas bagi atlet Indonesia untuk kedua kalinya (yang pertama adalah Lindswell Kwok di cabor wushu), saya juga menyaksikan bagaimana kilogram saling berkelindan dan beradu, terutama dalam angkatan clean and jerk. Keberanian Eko memasang beban angkatan kedua seberat 170 kg, serta bagaimana dia menambah beban menjadi 175 kg untuk menakuti pesaingnya, menjadi asyik untuk disaksikan.
ADVERTISEMENT
Lifter Indonesia Eko Yuli saat pertandingan angkat besi kategori 62 kg. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lifter Indonesia Eko Yuli saat pertandingan angkat besi kategori 62 kg. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Melihat saya yang semakin tertarik, Galih pun memandangi saya dengan senyum. Dia tampak ikut senang, karena mungkin sukses mencekoki ketertarikan dia terhadap angkat besi kepada saya. Namun, lebih dari itu, hari itu saya tahu satu hal. Terlepas dari ideologi yang berusaha ditanamkan Galih, saya tahu bahwa angkat besi itu begitu menyenangkan! Karena 1 kg di sana, sama halnya seperti beda satu angka dalam sepak bola, dapat mengubah nasib hidup seseorang.
Saya larut dalam kebahagiaan Eko Yuli meraih emas. Saya juga dapat melihat bagaimana raut wajah bahagia Dirdja Wihardja selaku pelatih tim angkat besi saat itu. Strategi 5 kg serta keunggulan di angkatan snatch yang jauh membawanya pada kemenangan. Namun, ada satu hal yang saya teriakkan dalam dada ketika itu.
ADVERTISEMENT
Saya berani memproklamirkan diri bahwa sekarang, saya cinta angkat besi!
***
Asian Games 2018 ini mungkin hanya berlangsung dalam beberapa hari. Keberagaman yang ada sekarang ini mungkin hanya akan berlangsung sejak tanggal 10 Agustus sampai 2 September kelak. Tapi, bukan berarti tidak ada silang-sengkarut emosi yang terjadi di dalamnya. Salah satunya yang saya alami ini.
Menyaksikan angkat besi, seperti halnya sepak bola, seperti menyaksikan panggung kehidupan. Kadang kita tidak tahu apa yang terjadi di depan, dan kadang sebuah selisih tipis dapat membuat seseorang jatuh atau terbang tinggi ke langit. Anda boleh bilang saya berlebihan, karena cabang olahraga yang lain juga memiliki perasaan serupa. 
Namun memang itulah yang saya rasakan. Perasaan itulah yang menyeruak dalam sanubari kala melihat angka beban snatch serta clean and jerk berganti di papan skor, serta melihat seorang atlet mengangkat beban dengan sekuat tenaga, namun apa daya tenaganya tak kuasa mengangkat, sehingga medali lepas dari genggaman.
ADVERTISEMENT
Yah, memang angkat besi, eh, hidup, bisa semisterius itu.