Lewat Kostum Putih-putih, Wimbledon Merawat Tradisi

2 Juli 2018 19:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Karolina Pliskova di babak pertama Wimbledon 2018. (Foto: REUTERS/Tony O'Brien)
zoom-in-whitePerbesar
Karolina Pliskova di babak pertama Wimbledon 2018. (Foto: REUTERS/Tony O'Brien)
ADVERTISEMENT
Wimbledon menjadi bukti bahwa modernisasi tak selalu sanggup menggerus tradisi. Terlepas dari segala prestise yang membangun nama besarnya, Wimbledon adalah turnamen yang mengesalkan.
ADVERTISEMENT
Tingkat kekesalan yang ditimbulkannya satu setrip di bawah efek yang dibuat oleh mbak-mbak paling vokal yang mengatur acara bridal shower, yang mendiktemu untuk memakai kostum ‘apalah’ dan mempersiapkan ini dan itu sebagai bentuk ungkapan sayangmu kepada sahabatmu yang tak lama lagi akan menikah. Padahal, si mbak paling vokal ini belum tentu ada buat sahabatmu itu saat dalam masalah.
Pakaian putih-putih yang kerap ditunjukkan oleh para petenis yang berlaga di Wimbledon itu bukan inisiatif para pesertanya. Mereka ‘dipaksa’ untuk bertanding dengan kostum putih-putih. Padahal, di turnamen Grand Slam lainnya, para petenis dibebaskan untuk berekspresi dengan kostum yang tak putih melulu.
Lihatlah Serena Williams yang tampil berbeda di Prancis Terbuka 2018. Alih-alih menggunakan rok mini seperti petenis wanita lainnya, ia memutuskan untuk mengenakan celana panjang ketat berwarna hitam yang mengingatkan kita pada kostum-kostum di pusat kebugaran.
ADVERTISEMENT
Serena lantas menamai kostum hitam-hitamnya itu sebagai Wakanda Suit. Katanya, walau kostum itu memang sudah dirancangnya sebelum film Black Panther tayang, pakaian itu tetap berhasil mengingatkannya kepada film pahlawan super kulit hitam pertama keluaran Marvel Studio itu.
“Saya selalu ingin menjadi seorang pahlawan super,” demikian Serena menjelaskan kostumnya itu di ruang media Roland Garros. Serena hanya perlu mengayun raket sambil mengenakan kostum Black Panther untuk menjadi seorang pahlawan super.
Tenis pada dasarnya merupakan olahraga yang begitu akrab dengan tatanan. Karena itulah, perkara kesopanan dan estetika juga patut diutamakan. Makanya, kembali pada era 1800-an, warna putih dipilih untuk para petenis supaya keringat yang membasahi tubuh mereka tidak terlampau terlihat, terutama bagi para petenis wanita.
ADVERTISEMENT
Aturan ini membikin sebagian petenis jengah, salah satunya Billie Jean King. Dalam salah satu wawancaranya untuk The Guardian, King bahkan mengakui, ia memulai kariernya dengan pertanyaan menyoal kostum para petenis.
“Waktu saya berumur 12 tahun, saya menyadari para petenis mengenakan kostum tenis yang seragam. Terusan putih, sepatu putih, semuanya berwarna putih. Lantas saya bertanya: Kenapa harus putih melulu? Ke mana warna yang lain?”
Momentum kelahiran Virginia Slims Circuit pada 1971 sebagai bentuk perlawanan Billie Jean bersama delapan orang petenis wanita (yang selanjutnya dikenal dengan The Original IX atau The Title IX) dan pendiri majalah World Tennis, Gladys Heldman, terhadap ketidaksetaraan gender di lapangan tenis, turut melahirkan era baru. Mereka mengenalnya dengan era warna lapangan tenis.
ADVERTISEMENT
King dan teman-temannya lantas menggandeng Ted Tinling untuk merancang kostum para peserta. Di turnamen inilah para petenis wanita bertanding dengan kostum berwarna. Pemandangan yang sederhana, tapi menjadi penanda bahwa era tenis yang baru sudah dimulai. Tenis yang tak lagi takut-takut untuk menggebrak tatanan.
Lantas, pada 1972, Amerika Serikat Terbuka mencabut aturan bagi para petenis untuk bertanding dengan kostum putih-putih. Hal ini mengacu pada lahirnya era televisi berwarna. Keputusan ini diprakarsai oleh legenda tenis, Mike Davies. Menurut petenis asal Inggris ini, akan lebih baik bila seorang petenis untuk mengenakan kostum berwarna supaya mudah dibedakan.
Marin Cilic di babak pertama Wimbledon 2018. (Foto: REUTERS/Tony O'Brien)
zoom-in-whitePerbesar
Marin Cilic di babak pertama Wimbledon 2018. (Foto: REUTERS/Tony O'Brien)
Namun, Wimbledon tak bergeming, bahkan aturannya diperketat. Buktinya, warna selain putih benar-benar tidak diizinkan, termasuk off-white. Harus benar-benar putih, putih seputih-putihnya. Untungnya, trim (jahitan) dan pola berwarna tetap diizinkan. Namun, bukan berarti dibiarkan bebas. Baik trim maupun pola berwarna (termasuk logo), lebarnya tidak boleh lebih dari satu sentimeter, itu juga tidak boleh berwarna solid.
ADVERTISEMENT
Legenda tenis wanita yang juga menjadi bagian dari The Original IX, Rosie Casals, ditegur panitia saat melakoni laga di Wimbledon 1972. Sebabnya, ia mengenakan kostum yang dinilai terlalu berwarna ungu.
Saat ini, Wimbledon menjadi satu-satunya kejuaraan tenis yang tetap kukuh memegang aturan ini. Roger Federer yang pernah membandel pun merasakan akibatnya. Pada Wimbledon 2013, Federer mengenakan sepatu putih dengan sol berwarna oranye. Benar-benar hanya sol sepatunya, yang lain berwarna putih. Akibatnya, sepatu itu hanya berumur 69 menit karena Federer diminta untuk mengganti sepatunya.
Jauh sebelum pengalaman Federer, Anna Kournikova mengalami hal serupa. Ia disuruh mengganti celana hitamnya dengan celana milik pelatihnya pada tahun 2002. Bahkan Andre Agassi memutuskan untuk tak lagi bertanding di Wimbledon pada usianya yang ke 21. Sebabnya, aturan ini melarangnya untuk mengenakan pakaian bernuasa denim yang menjadi ciri khasnya.
ADVERTISEMENT
Yang paling absurd tentunya menyoal apa yang dialami oleh runner up Wimbledon 2014, Eugenie Bouchard. Keikutsertaan Bouchard di gelaran Wimbledon 2015 sempat membikin ricuh. Pasalnya, ia dinilai melanggar aturan pakaian di Wimbledon.
Sepintas, tak ada yang salah dengan kostum petenis asal Kanada itu. Namun, permasalahan muncul karena bra strap-nya yang berwarna hitam itu terlihat dari balik kostum putihnya.
Wimbledon, oh, Wimbledon. (Foto: Giphy.com)
zoom-in-whitePerbesar
Wimbledon, oh, Wimbledon. (Foto: Giphy.com)
Umpire di pertandingan Bouchard melawan Duan Ying itu, Louise Engzell, dilaporkan sempat berdiskusi dengan wasit turnamen tentang apa yang harus dilakukannya menyoal kasus ini. Beruntung, Bouchard terlepas dari sanksi turnamen.
Di tahun yang sama dengan insiden Bouchard itu, Nick Krygios juga mendapat teguran karena mengenakan headband berwarna. Petenis bengal asal Australia itu lantas menyebut peringatan yang diberikan kepadanya sebagai perkara menyedihkan.
ADVERTISEMENT
Semengesalkan apa pun aturan ini, ia tetap dipertahankan. Apa boleh buat, Wimbledon memang dinilai sebagai turnamen tertua di dunia. Nilai historis itu membuat Wimbledon diberikan privilese untuk memertahankan tradisi yang dinilai relevan dengan modernisasi. Makanya, para petenis pada akhirnya tetap setuju untuk tunduk pada aturan.
Tapi, ya, itu pendapat yang muncul di permukaan. Tentang kedongkolan hati para petenis, siapa yang tahu?