Lleyton Hewitt dalam Retrospeksi: Pemberontak, Juara, Legenda

17 Januari 2018 13:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Legenda tenis Australia, Lleyton Hewitt. (Foto: AFP/Matt Campbell)
zoom-in-whitePerbesar
Legenda tenis Australia, Lleyton Hewitt. (Foto: AFP/Matt Campbell)
ADVERTISEMENT
Agak ironis, memang, ketika kita semua melihat fakta bahwa Lleyton Hewitt, petenis Australia hebat terakhir itu, justru tak pernah berjaya di tanah kelahirannya sendiri. Malah, terakhir kali Hewitt berlaga di partai puncak, dia justru mengungkapkan kekesalannya pada arena tempat turnamen Grand Slam pembuka tahun itu dihelat.
ADVERTISEMENT
"Kalau aku harus bermain di atas tahi sapi, ya, mau bagaimana lagi," kata Hewitt kala itu. "Kupikir aku bakal lebih punya keunggulan setelah menjadi petenis nomor satu dunia selama dua tahun dan memenangi dua Grand Slam, tetapi rupanya tidak. Aku benar-benar kesal."
Tahunnya adalah 2005 dan lawan yang dihadapi Hewitt ketika itu adalah Marat Safin, petenis Rusia yang dikenal akan kekuatan fisiknya. Final di Rod Laver Arena itu adalah sebuah pertunjukan antara dua kutub dalam tenis: kekuatan melawan keanggunan. Hari itu, kekuatanlah yang jadi pemenang.
Praktis, final Australia Terbuka 2005 itulah yang kemudian menjadi final Grand Slam terakhir Hewitt. Setelahnya, karier Hewitt menurun. Dia tak pernah lagi berada di jajaran atas petenis dunia. Memang, sampai akhir kariernya pada 2016 Hewitt masih bakal memenangi banyak sekali gelar. Akan tetapi, tak ada lagi titel Grand Slam yang berhasil direngkuhnya.
ADVERTISEMENT
Sulit rasanya membayangkan Lleyton Hewitt sebagai petenis yang anggun. Sejak memulai perjalanan di ranah profesional pada 1998, petenis kelahiran 1981 ini selalu dikenal sebagai sosok pemberontak. Pete Sampras, dalam autobiografinya, Hewitt disebut sebagai sosok yang "bermain dengan kebencian terhadap etiket tenis".
Akan tetapi, yang membuat Hewitt menjadi anggun adalah caranya bermain. Seperti yang dituliskan Tom Perrotta di Wall Street Journal, Hewitt adalah alasan mengapa Roger Federer bisa menjadi petenis pria terhebat sepanjang sejarah.
"Di awal-awal kariernya, dia selalu bisa menang mudah atas Federer yang hanya enam bulan lebih muda. Hewitt menang di tujuh dari sembilan pertemuan," tulis Perrotta.
"Ketika itu, Federer lebih mengandalkan serve dan pukulan volley serta menggunakan chip backhand ketika mendekati net. Melawan Hewitt, cara seperti itu biasanya berujung kekalahan. Dengan adanya sasaran empuk seperti itu, Hewitt bakal melepaskan passing shot-nya."
ADVERTISEMENT
Perubahan pun kemudian dilakukan Federer. Dia tak lagi naif dalam bermain dan menjadi lebih terukur. Petenis Swiss ini tak lagi kerap maju ke depan dan lebih banyak mengandalkan rally dari baseline. Selain itu, pukulan backhand-nya pun tak lagi berwujud chip, melainkan pukulan-pukulan agresif. Dengan cara ini, Federer kemudian mampu melangkahi Hewitt dan akhirnya menjadi yang terbaik.
Selain cara bermain yang anggun dan mengandalkan presisi itu, satu hal lain yang ditularkan Hewitt ke dunia tenis adalah bagaimana dia selalu mengumbar hasratnya. Caranya dengan melakukan fist pump dan berteriak "Come on!". Selain itu, teriakan-teriakannya saat memukul bola juga kemudian menjadi inspirasi bagi petenis-petenis generasi berikut. Saat ini, pemandangan tersebut sudah menjadi biasa dan itu semua terjadi berkat Hewitt.
ADVERTISEMENT
Di situlah bagaimana sosok pemberontak dalam diri Lleyton Hewitt mewujud. Dengan mata biru, rambut pirang, dan topi yang dikenakan secara terbalik, Hewitt memang tidak tampak seperti petenis, melainkan peselancar. Sampai pada taraf tertentu, Hewitt seperti menunjukkan bahwa tenis ini bukan semata-mata olahraganya kaum priyayi, tetapi juga rakyat jelata.
Memang benar bahwa Hewitt bukanlah pemberontak pertama dalam tenis. Andre Agassi, misalnya, dulu pernah menolak bermain di Wimbledon antara 1988 s/d 1990 karena merasa bahwa dresscode putih-putih tradisional di All England Club tidak sesuai dengan spiritnya. Kemudian, sebelum Agassi, ada pula sosok-sosok sinting lain macam John McEnroe.
Namun, Hewitt berbeda. Pemberontakan yang dilakukan dirinya tidak seekstrem Agassi maupun McEnroe. Apa yang dilakukan Hewitt lebih pada bagaimana membuat tenis menjadi lebih menyenangkan dan tidak kaku. Di masanya, Hewitt memang tak banyak disukai petenis lain. Akan tetapi, generasi berikut melihat cara ini sebagai cara berekspresi yang lebih bisa diterima dan hasilnya, menjadi cara yang lebih banyak diikuti.
ADVERTISEMENT
Hewitt juara AS Terbuka 2001. (Foto: AFP/Timothy A. Clary)
zoom-in-whitePerbesar
Hewitt juara AS Terbuka 2001. (Foto: AFP/Timothy A. Clary)
Adapun, satu hal ironis lain tentang Lleyton Hewitt adalah bagaimana dia, sebagai sosok pemberontak, justru mampu berjaya di Wimbledon. Selain karena pembawaannya, pemberontakan lain Hewitt di All England Club ini adalah bagaimana dia, seorang baseliner, mampu menjadi kampiun di lapangan berpermukaan rumput.
Hewitt sendiri menjadi juara Wimbledon pada 2002. Di final, dia mampu mengatasi perlawanan David Nalbandian tanpa kesulitan sama sekali. Kala itu, dia hanya kehilangan enam gim dan final itu pun menjadi final paling berat sebelah sejak John McEnroe menghabisi Jimmy Connors pada 1984.
Sebelum Hewitt, sosok petenis Australia terakhir yang menjadi juara di Wimbledon adalah Pat Cash pada 1987. Namun, ketika itu Cash memenangi turnamen dengan cara bermain yang berbeda. Cash kala itu lebih banyak maju ke depan dan melakukan permainan net sesering mungkin. Sementara, Hewitt tetap setia dengan cara bermainnya dari baseline. Di situlah kemudian terlihat bahwa ternyata, memenangi kejuaraan tenis di permukaan rumput dengan permainan baseline itu mungkin dilakukan.
ADVERTISEMENT
Lleyton Hewitt lahir di Adelaide pada 24 Februari 1981 dan dia lahir dari keluarga yang berkecimpung di dunia olahraga. Ayahnya, Glynn, adalah mantan pemain sepak bola Australia dan ibunya, Cherilyn, adalah seorang guru olahraga. Sementara itu, adiknya, Jaslyn, adalah seorang binaragawati dan mantan pelatih tenis.
Sampai tahun 1994, tenis bukanlah satu-satunya olahraga yang digeluti Lleyton Hewitt. Kala itu, dia juga bermain sepak bola Australia seperti ayahnya. Namun, setelah itu dia memfokuskan diri pada tenis sebelum akhirnya menjadi profesional pada 1998.
Hewitt jadi kampiun di Wimbledon. (Foto: AFP/Gerry Penny)
zoom-in-whitePerbesar
Hewitt jadi kampiun di Wimbledon. (Foto: AFP/Gerry Penny)
Tak butuh waktu lama bagi Hewitt untuk mencapai puncak. Pada Amerika Serikat (AS) Terbuka 2000, dia berhasil mencapai final ganda campuran. Kala itu, dia berpasangan dengan Kim Clijsters yang kebetulan merupakan kekasihnya. Sayang, waktu itu mereka harus kalah dari pasangan tuan rumah, Kimberly Po dan Donald Johnson.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, di tahun yang sama Hewitt juga mampu menembus final ganda putra. Bersama petenis Belarusia, Max Mirnyi, Hewitt mampu menggondol trofi tersebut. Dia pun sukses menjadi petenis termuda yang memenangi gelar ganda putra pada era terbuka di usia 19 tahun enam bulan. Pada akhir tahun, Hewitt pun menjadi remaja pertama yang berhasil lolos ke ATP World Tour Finals.
Tahun berikutnya, Hewitt akhirnya sukses merenggut trofi Grand Slam tunggal pertamanya. AS Terbuka, lagi-lagi, menjadi ajang tempatnya unjuk gigi. Di semifinal, dia berhasil menyingkirkan petenis Rusia, Yevgeny Kafelnikov, sebelum mengandaskan Pete Sampras di partai puncak. Kemenangan itu kebetulan juga membuat Hewitt menjadi petenis termuda yang sukses menjadi juara di Flushing Meadows setelah Sampras pada 1990.
ADVERTISEMENT
Dari situ, Hewitt pun menjadi petenis nomor satu dunia dan masa kejayaannya berlangsung sampai tahun berikutnya ketika dia menjadi kampiun di Wimbledon. Sayangnya, performa Hewitt perlahan-lahan mulai mengendur. Setelah mencapai perempat final Prancis Terbuka 2004 dan final Australia Terbuka 2005, namanya makin jarang saja terdengar.
Cedera menjadi salah satu hal yang menghambat karier Hewitt. Cedera pinggul yang dideritanya pada 2005 itu menjadi cedera berkepanjangan dan takkan benar-benar pulih sampai 2009. Setelah itu, berbagai cedera mulai dari pergelangan tangan, engkel, sampai kaki senantiasa menghantui langkah Hewitt. Bahkan, pada 2011, Hewitt terlempar dari 100 besar dunia.
Perlahan, Hewitt memang berhasil merangkak naik kembali. Akan tetapi, kemampuannya sudah tak lagi seperti dulu. Sampai akhirnya, dia memutuskan untuk pensiun pada 2016.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, pada Australia Terbuka 2018 ini, Hewitt melakukan comeback setelah menerima wild card di nomor ganda putra. Berpasangan dengan kompatriotnya yang lebih muda enam tahun, Sam Groth, Hewitt bakal melakoni laga babak kedua pada Kamis (18/1/2018) menghadapi pasangan Asia Tengah, Mikhail Kukushkin (Kazakhstan) dan Denis Istomin (Uzbekistan).
Sampai saat ini, Lleyton Hewitt boleh dikatakan merupakan petenis Australia hebat terakhir. Samantha Stosur memang sempat menjadi juara AS Terbuka pada 2011 lalu, tetapi pengaruh Stosur di jagat tenis, harus diakui, tidaklah sebesar Hewitt. Stosur pun tidak pernah menjadi petenis nomor satu dunia seperti mantan rekan ganda campurannya itu.
Satu hal lain yang membuat Hewitt layak diberi kredit sebagai jagoan Australia adalah dua gelar Piala Davis yang diraihnya pada 1999 dan 2003. Pada 1999, Hewitt membawa Australia mengalahkan Prancis, sementara pada 2003, giliran Spanyol yang jadi korban. Hewitt sendiri pernah mengatakan bahwa menurut dirinya, Piala Davis tak kalah bergengsi ketimbang Grand Slam mana pun.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, inilah Lleyton Hewitt. Namanya mungkin sudah tenggelam di antara nama-nama besar lain yang kini menghuni dunia tenis. Akan tetapi, untuk semua yang telah dia berikan selama lebih dari dua dasawarsa, Hewitt, harus diakui, adalah seorang legenda.