Martina Hingis dan Dua Dekade yang Memisahkan

18 Januari 2017 14:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Martina Hingis di masa jayanya (Foto: Jed Jacobsohn/Getty Images)
Usia Martina Navratilova dan Melanie Molitorova hanya terpaut kurang lebih satu tahun. Lahir di negara yang sama, kedua perempuan ini pun menyukai hal yang sama: tenis.
ADVERTISEMENT
Namun, nasib Navratilova dan Molitorova boleh dibilang bak bumi dan langit. Hingga 30 September 1980, Martina Navratilova sudah punya koleksi delapan gelar juara Grand Slam tenis yang enam di antaranya dia peroleh di nomor ganda. Molitorova, sementara itu, meski terhitung sebagai petenis papan atas di Cekoslowakia, bukanlah nama besar di kancah dunia. Namun, pada hari itu, 30 September 1980, dia melahirkan seorang bayi yang kelak akan menjadi petenis terbaik dunia.
Tak salah memang jika Melanie Molitorova memberi nama bayi perempuannya itu dengan nama 'Martina'. Dia memang penggemar berat Martina Navratilova dan dia pun sudah tak merasa berkeberatan kalau dia tidak akan bisa menyamai prestasi Navratilova. Tetapi, jika ada satu hal yang betul-betul dia inginkan adalah agar sang putri bisa menjadi sebesar Martina Navratilova, idolanya.
ADVERTISEMENT
***
Australia Terbuka 1997 adalah sebuah turnamen yang sebenarnya tidak menjanjikan banyak kejutan. Selain absennya Monica Seles dan Andre Agassi, tidak ada perubahan konstelasi yang berarti di jajaran para petenis unggulan. Pete Sampras memimpin daftar unggulan di nomor tunggal putra, sementara Steffi Graf menjadi unggulan teratas di nomor tunggal putri.
Ketika turnamen berakhir, kejutan tidak terjadi di kelompok pria. Sampras berhasil dengan mudah menundukkan perlawanan Carlos Moya yang sebelumnya berhasil menyingirkan juara bertahan, Boris Becker. Namun, hal yang sama tak terjadi di nomor tunggal putri.
Tiga unggulan teratas tunggal putri rontok sebelum babak perempat final. Steffi Graff dan unggulan ketiga, Conchita Martinez, gugur di babak keempat. Sementara itu, petenis Spanyol lain, Arantxa Sanchez Vicario, yang merupakan unggulan kedua malah harus angkat koper sejak babak ketiga. Laga final turnamen tahun itu jadi milik petenis non-unggulan, Mary Pierce, dan unggulan keempat Martina Hingis.
ADVERTISEMENT
Pierce memang bukan tandingan Hingis. Hanya dalam dua set, perlawanan petenis Prancis kelahiran Amerika Serikat tersebut kandas. 2-6, 2-6. Australia Terbuka pun punya juara baru. Dunia tenis punya jagoan baru.
Martina Hingis belum genap berusia 17 tahun ketika dia mengalahkan Pierce. Ketika itu, usianya baru menginjak 16 tahun dan 3 bulan. Bahkan, untuk memiliki surat izin mengemudi pun Hingis belum dibolehkan. Tetapi, apalah arti usia jika memang kemampuan itu ada. Hingis juara, sekaligus menjadi doa sang bunda, Melanie Molitorova, yang terkabul. Satu dekade sejak Martina Navratilova mengangkat trofi Grand Slam terakhir, ada sosok Martina baru yang menjadi juara.
***
Martina Hingis adalah seorang anak mami sejati. Sejak pertama kali memegang raket di usia 2 tahun dan berkompetisi pada usia 4 tahun, dia tak hampir tak pernah berhenti menggelendot pada sang ibu. Bagi Hingis, ibunya memang sosok terpenting di kariernya. Selain sebagai motivator, penggemar, sekaligus kritikus terbesar, Melanie Molitorova adalah pelatih Martina Hingis.
ADVERTISEMENT
Ketika berusia 7 tahun, Molitorova mengajak sang putri untuk membelot dan hijrah ke Swiss, menyusul perceraian dengan Karol Hingis yang juga seorang petenis. Meski orang tuanya bercerai, Martina Hingis tetap mengambil nama belakang milik sang ayah. Sang ibu, sementara itu, menikah lagi dengan seorang teknisi komputer bernama Andreas Zogg.
Lahir dari pasangan tenis, tak ada jalan lain bagi Martina kecil. Lewat bimbingan sang ibu, Martina Hingis menjadi seorang petenis dengan kemampuan teknikal dan taktikal yang nyaris tiada banding. Dia tidak sekuat Serena Williams atau Amelie Mauresmo, tetapi dia punya keanggunan yang barangkali hanya mampu ditandingi Juan Roman Riquelme di lapangan sepak bola.
Anggun saat bermain, Hingis sebenarnya menyimpan beberapa persona lain. Di saat-saat tertentu, dia bisa menjadi sosok yang temperamental dan kurang ajar. Amelie Mauresmo yang seorang lesbian itu pernah dikatainya 'setengah pria'. Namun, di saat yang lain, Martina Hingis adalah sosok sederhana dan santun. David Jones, dalam kolomnya di The Observer pada tahun 2001 pernah mengisahkan bagaimana cara seorang Hingis memperlakukan lawan bicaraya.
ADVERTISEMENT
Tahun 1997 adalah tahun yang luar biasa bagi Martina Hingis. Setelah menjuarai Australia Terbuka, dia berhasil melaju ke tiga final Grand Slam lain. Jika saja tidak dikalahkan Iva Majoli di Prancis Terbuka, maka musim tenis 1997 akan mutlak menjadi miliknya. Pada tahun itu, tiga bulan setelah menjuarai Australia Terbuka, Hingis juga menjadi petenis termuda yang mampu menduduki peringkat 1 ranking WTA.
Sejak itulah hidup Hingis berubah drastis. Memang betul bahwa sudah sejak kecil dia mampu menunjukkan tanda-tanda akan menjadi bintang besar. Akan tetapi, tiga Grand Slam di usia belasan? Tentu, Hingis dan ibunya takkan mampu untuk membayangkan itu dalam mimpi terliar mereka sekali pun.
ADVERTISEMENT
Martina Hingis mendadak menjadi selebriti. Harus diakui memang, bahwa selain punya kemampuan tenis yang luar biasa, parasnya pun ayu. Berbagai tawaran untuk menjadi model dan bintang iklan berdatangan. Kelayapan di kelab malam pun kemudian jadi rutinitas bagi sang bintang muda.
Seiring dengan meningkatnya level kebintangan Martina Hingis, relasinya dengan sang ibu pun perlahan merenggang. Namun, bukan kesombongan yang membuat hubungan mereka berdua merengganng, melainkan proses tumbuh dewasa seorang Martina Hingis itu sendiri. Sebagai seorang remaja yang mencari jati diri, Hingis pun mulai mencoba-coba untuk membuat keputusan tanpa melibatkan sang ibu.
Melanie Molitorova pun sebetulnya tak keberatan. Toh, dia juga pernah muda. Selagi ada, kenapa tidak dinikmati?
Jika saja Hingis mampu mempertahankan performa yang membuatnya menjadi petenis juara Grand Slam termuda, ibunya takkan mempermasalahkan pencarian jati diri itu. Namun, faktanya tidak demikian.
ADVERTISEMENT
Memutuskan untuk gantung raket karena cedera pada tahun 2003, kali terakhir Hingis menjadi juara Grand Slam adalah pada gelaran Australia Terbuka 1999. Itu berarti, masa kejayaan Hingis praktis hanya berlangsung selama dua tahun. Setelah itu, hingga tahun 2002, meski mampu melaju ke lima final berbeda, tak satu pun trofi berhasil dibawanya pulang.
Di nomor ganda, prestasi Hingis memang lebih baik. Sejak menjadi juara ganda putri Wimbledon 1996 bersama Helena Sukova hingga tahun 2002, dia berhasil mengumpulkan sembilan gelar Grand Slam dengan enam pasangan berbeda. Tiga gelar dia rengkuh bersama Jana Novotna, dua bersama Anna Kournikova, serta masing-masing satu gelar bersama Mary Pierce, Natasha Zvereva, Mirjana Lucic, dan Sukova. Akan tetapi, harus diakui bahwa pamor nomor ganda tidaklah seperti nomor tunggal. Jarang sekali nama para juara nomor ganda ini terekam dengan baik di memori publik.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2005, Hingis sempat kembali dari masa pensiun. Akan tetapi, selain gagal berbuat banyak, dia juga akhirnya harus tersangkut kasus doping yang membuatnya dihukum oleh Federasi Tenis Internasional (ITF) pada 2007. Setelah hukuman ini, Hingis pun mengumumkan pensiun untuk kedua kalinya.
Tetapi, bukan Martina Hingis namanya kalau bisa jauh-jauh dari lapangan tenis. Di usianya yang ke-33 dan kesibukannya sebagai pelatih, Hingis memutuskan untuk kembali ke arena. Setahun kemudian, Hingis dan Flavia Penetta, petenis asal Italia, mampu menembus final Amerika Serikat Terbuka. Sayang, ketika itu mereka harus menyerah dari pasangan Rusia, Ekaterina Makarova dan Elena Vesnina.
Martina Hingis (kiri) & Flavia Penetta (Foto: Julian Finney/Getty Images)
Gagal bersama Penetta, Hingis mencoba peruntungan dengan petenis sensasional dari India, Sania Mirza. Bersama Mirza, Hingis seperti terlahir kembali. Di Wimbledon 2015, Hingis berhasil membalas kekalahan dari duo Makarova-Vesnina sekaligus meraih gelar Grand Slam pertamanya sejak 2002. Setelah itu, dua gelar Grand Slam lagi pun berhasil diraih oleh pasangan Hingis-Mirza, termasuk gelar Australia Terbuka tahun lalu. Ketika itu, pasangan Republik Ceska, Andrea Hlavackova dan Lucie Hradecka yang jadi korban.
ADVERTISEMENT
Tahun ini, Hingis dan Mirza berpisah jalan. Berstatus juara bertahan, mereka sama-sama datang ke Melbourne dengan pasangan baru. Jika Mirza memilih Barbora Strycova sebagai pasangan, Hingis memilih berpartner dengan petenis Amerika Serikat, Coco Vanderwaeghe. Mereka pun masing-masing ditempatkan di posisi unggulan kelima dan keenam.
20 tahun setelah menjuarai Australia Terbuka untuk pertama kalinya, Martina Hingis kembali datang ke Melbourne tanpa harapan besar menjadi juara. Jika dulu dia masih terlampau belia, kini dia sudah terhitung tua. Martina Hingis yang sekarang sudah tak lagi dekat dengan hingar-bingar. Dia pun sudah tak pernah lagi mengata-ngatai orang seenak jidatnya. Tempatnya bertarung pun berbeda. Kini, dia hanya mampu bermain di nomor ganda. Akan tetapi, meski terpisah jarak waktu dan situasi yang sama sekali berbeda, ada satu hal yang tak berubah: Martina Hingis masih sanggup menebar ancaman.
ADVERTISEMENT