Mengepak Sayap di Negeri Orang

6 Januari 2017 5:57 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bendera Suriah (Ilustrasi) (Foto: Koki Nagahama)
"If we don't end war, war will end us." - H. G. Wells
ADVERTISEMENT
Sudah lima tahun sejak api mulai membara di Suriah, dan sejak itu pula, negara Timur Tengah itu kehilangan separuh penduduknya. Terhitung sejak pelor pertama ditembakkan, perang sipil di Suriah sudah merenggut 470 ribu nyawa. Sementara itu, mereka yang lolos dari maut berlomba-lomba untuk meloloskan diri.
Mereka merayap keluar dari reruntuhan rumah yang lebur dihantam misil. Dalam diam; sambil berjingkat, mereka mencari jalan keluar.
Keluar dari kampung halaman yang seketika berubah menjadi taman neraka. Keluar dari teror yang mengungkung. Keluar dari segala nestapa yang mendera. Keluar, secepat mungkin, dari Suriah.
Tak semua berhasil, memang. Jika menilik data terakhir yang dirilis oleh Badan Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), dari lebih dari 11 juta orang yang kehilangan tempat tinggal, 6,6 juta di antaranya masih terjebak di Suriah.
ADVERTISEMENT
Mereka yang berhasil meloloskan diri dari ganasnya kampung halaman kebanyakan mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Yordania, Mesir, dan Turki. Sementara itu, ada sekitar satu juta orang yang mencoba mencari uluran tangan dari Barat. Eropa, sebagai tempat peradaban Barat terdekat dari kampung halaman kemudian menjadi tujuan utama.
Eropa, meski terlihat berkilauan dari jauh, sebenarnya sudah tidak sekuat dulu. Krisis ekonomi global yang menghantam pada 2008 residunya masih tersisa sampai sekarang, khususnya di negara-negara Eropa selatan. Celakanya, negara-negara Eropa selatan itulah yang kemudian menjadi pintu masuk para pengungsi Suriah ke Eropa.
Evakuasi di Aleppo Timur, Suriah (Foto: Abdalrhman Ismail/Reuters)
Meski tujuan akhir para pengungsi tersebut adalah negara-negara makmur macam Jerman atau Swedia, keberadaan mereka di negara-negara Selatan seperti Italia dan Yunani tetap saja menimbulkan masalah tersendiri. Jika mengurus negara sendiri saja mereka masih kelimpungan, apa jadinya kalau mereka juga harus mengurusi orang lain?
ADVERTISEMENT
Setelah harus melewati ketusnya negara-negara Selatan, setelah tiba di negara tujuan utama masalah pun tak kelar bagi para pengungsi tersebut. Kekhawatiran bahwa ada penyusup ISIS membuat sambutan hangat pun tak mereka dapatkan di sana.
Akan tetapi, meski secara umum sambutan terhadap para pengungsi cenderung negatif, tidak semua tuan rumah berlaku demikian. Di tengah kecurigaan yang merebak kuat, masih banyak pula orang-orang yang mau menanggalkan syak wasangka. Di tengah semburan kebencian yang teramat kuat, tak sedikit pula orang yang sudi menerima para pengungsi tersebut dengan tangan terbuka.
Jika di Eropa sambutan hangat ini tak banyak ditemui para pengungsi, lain halnya dengan di Kanada.
***
Bicara soal Kanada, berarti bicara soal hoki es. Olahraga itulah yang menjadi olahraga nasional di sana. Meski sudah 26 tahun tak ada tim Kanada yang menjadi juara Stanley Cup -- trofi kompetisi National Hockey League (NHL), olahraga ini sudah kadung identik dengan negara persemakmuran Inggris tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu pusat kekuatan utama hoki es Kanada ada di kota Toronto, dengan Toronto Maple Leafs-nya. Sejak pertama kali digelar pada akhir abad ke-19, Toronto Maple Leafs sudah mengumpulkan gelar juara sebanyak 13 kali.
Namun, seretnya prestasi Toronto Maple Leafs membuat kota ini kemudian beralih ke olahraga lain. Pada tahun 1995, kompetisi basket NBA melakukan ekspansi ke Toronto dan terbentuklah Toronto Raptors. Sayang, meski menjadi salah satu tim yang cukup disegani, belum pernah sekali pun Toronto Raptors mampu merengkuh gelar juara NBA. Keberadaan bintang-bintang seperti Vince Carter pada akhir 1990-an s/d pertengahan 2000-an dan Chris Bosh pada awal hingga akhir 2000-an tetap tak mampu mengangkat prestasi Raptors.
Meski warga kota Toronto masih percaya betul pada Maple Leafs dan Raptors, mereka kini mulai mengarahkan pandangan pada olahraga yang belakangan mulai populer di Amerika Serikat dan Kanada, sepak bola. Lewat Toronto FC, kota Toronto cukup bisa berbicara banyak di kompetisi Major League Soccer.
ADVERTISEMENT
Diperkuat pemain-pemain top seperti Michael Bradley, Jozy Altidore, dan pemain terbaik MLS 2015, Sebastian Giovinco, Toronto FC mampu melaju ke final MLS tahun 2016 lalu. Sayang, penampilan apik kiper Seattle Sounders, Stefan Frei, yang menjadi lawan mereka membuat laga tersebut harus diselesaikan lewat adu penalti. Pada babak tersebut, Toronto FC pun harus menyerah pada nasib.
***
Menggeliatnya aktivitas persepakbolaan di Toronto tak hanya terjadi di level teratas saja, melainkan juga level akar rumput.
Untuk itu, perkenalkan, Neveen Farees.
Neveen Farees adalah seorang ibu beranak satu yang bekerja sebagai makelar rumah di Toronto. Melihat dari namanya, sudah bisa terlihat bahwa dia bukan orang asli sana. Ya, Farees adalah seorang imigran.
ADVERTISEMENT
Orang tua Farees datang ke Kanada dari Mesir pada tahun 1987. Ketika itu, Farees kecil masih berusia 3 tahun. Sebagian besar hidupnya pun dihabiskan di Kanada. Meski begitu, Farees mengakui bahwa dia tidak pernah melepas identitasnya sebagai orang Timur Tengah.
"Saya sempat kembali ke Mesir dan menyaksikan terjadinya Arab Spring. Namun, situasi yang tidak kondusif di sana membuat saya memutuskan untuk kembali ke Kanada," tutur Farees dalam sebuah wawancara dengan Playing for 90.
Farees memang bukan nama tenar di dunia sepak bola. Dia hanya orang biasa. Tetapi, yang membuatnya jadi luar biasa adalah bagaimana dia berkontribusi untuk para pengungsi Suriah lewat sepak bola.
Kanada memang secara terbuka mau menerima para pengungsi dari Suriah. Hingga bulan Desember 2016, berdasarkan data dari Pemerintah Kanada, ada 38.713 orang pengungsi Suriah yang kini menetap di negara tersebut. Kota Toronto yang merupakan kota terbesar di Kanada pun menjadi salah satu tujuan utama para pengungsi tersebut, di mana ada sekitar 7.000 pengungsi yang kini menetap di sana.
ADVERTISEMENT
Sepak bola yang merupakan olahraga terpopuler di Suriah pun akhirnya dipilih Farees untuk membantu proses integrasi para pengungsi tersebut. Banyaknya aktivitas yang tersedia untuk anak-anak Suriah di tempat baru ternyata tak sebanding dengan pilihan aktivitas untuk remaja dan orang dewasa.
"Saya berbicara dengan saudara laki-laki saya yang terlibat dalam liga sepak bola komunitas di Toronto. Dia menyarankan agar saya mendirikan sebuah tim sepak bola untuk remaja dan orang dewasa," terang Farees dalam wawancara yang sama.
"Keberadaan sebuah tim sepak bola diharapkan mampu memberi kesempatan pada mereka untuk bertemu dengan orang-orang baru, baik itu sesama pengungsi maupun para penduduk lokal, serta memudahkan proses transisi mereka di Toronto. Untuk itu, saya kemudian memutuskan untuk memulai proyek Syrian Eagles," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Proyek ini sendiri, kata Farees, akkhirnya bisa terwujud berkat bantuan dari keluarganya. Mulai dari orangtua Farees, Mohamed dan Suzan, hingga putrinya, Maya, semua terlibat di dalam proyek ini. Neveen Farees, bersama dua saudara kandungnya, Yasmine dan Hala, menjadi ujung tombak dari proyek ini. Yasmine bertugas membuat selebaran dan menyebarkananya di seluruh penjuru kota. Sementara itu, Neveen dan Hala bertugas untuk merekrut pemain dari Hotel Toronto Plaza yang merupakan tempat persinggahan pertama para pengungsi setibanya di Toronto.
Keberadaan tim sepak bola ini, tentu saja bukan sekadar sebagai tempat untuk menyalurkan hobi. Lebih dari itu, di Syrian Eagles, semua orang saling membantu satu sama lain. Tak hanya soal integrasi dengan lingkungan dan orang-orang baru, tetapi juga untuk memudahkan seandainya ada yang membutuhkan bantuan-bantuan lain.
ADVERTISEMENT
"Pernah ada seorang pemain yang membutuhkan bantuan hukum dan saya berhasil menghubungkannya dengan seorang pengacara. Selain itu, kalau saya mendengar ada lowongan pekerjaan, pasti langsung saya berikan ke mereka. Kalau ada bantuan alat-alat rumah tangga yang kami terima, langsung saya berikan juga ke mereka," tutur Farees.
Soal mata pencaharian yang ditekuni para pengungsi tersebut, Farees mengatakan bahwa sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang mereka hingga kini masih menjadi tantangan terberat. Farees berkata, "Ada seorang guru yang kini bekerja di restoran cepat saji. Ada juga seorang insinyur yang bekerja menjadi seorang pengantar piza. Saya ingin membantu menghubungkan mereka dengan orang-orang yang bisa mengembalikan karier mereka seperti dulu."
Syrian Eagles sendiri kini berlaga di kompetisi amatir, Toronto Muslim Soccer League. Dikapteni sekaligus dilatih oleh mantan pemain profesional, Abdou Mousli, tim ini terus kebanjiran peminat. Dalam wawancara dengan Metro News, Mousli berkata, "Mungkin musim depan kami harus membuat dua tim."
ADVERTISEMENT
Apa yang dikatakan pria 25 tahun tersebut ternyata disetujui oleh Farees dan mulai musim depan, Syrian Eagles akan memiliki dua tim, yakni tim untuk berkompetisi dan tim untuk bersenang-senang.
Riuh rendah kepakan sayap-sayap elang Suriah ini ternyata sampai juga di telinga Toronto FC. Bekerja sama dengan Canadian Arab Institte, Toronto FC mengundang para penggawa Syrian Eagles untuk berlatih di tempat latihan mereka, Kia Training Grounds, pada 24 September 2016 lalu.
Serangkaian dengan undangan tersebut, para pemain Syrian Eagles juga mendapat kesempatan untuk bersantap di lounge stadion serta diberikan tur keliling stadion. Pada tanggal 28 September 2016, Toronto FC juga mengundang mereka, beserta 1.400 pendatang lain untuk menyaksikan pertandingan melawan Orlando City FC. Selanjutnya, usai laga yang berakhir dengan skor kacamata tersebut, para pemain Abdou Mousli dkk. juga diberi kesempatan untuk berjumpa dengan legenda sepak bola Kanada, Dwayne De Rosario.
ADVERTISEMENT
Nama tim Syrian Eagles ini sendiri bukan berasal dari Farees. Lewat sebuah proses musyawarah, nama ini dipilih oleh 27 pemain yang kini menjadi bagian dari sebuah keluarga baru tersebut. Dari 27 orang tersebut, hampir kesemuanya adalah orang Suriah, dengan satu pemain etnis Kurdi yang menjadi pengecualian.
***
Sepak bola, pada akhirnya, memang bukan jawaban atas segala masalah yang dihadapi oleh para pengungsi Suriah. Sepak bola, sebagai -- meminjam istilah Paus Yohanes Paulus II -- hal tidak penting yang paling penting, hanyalah sebuah sarana eskapisme bagi mereka yang sejenak ingin menghela nafas akibat lelah diburu kehidupan. Akan tetapi, seperti yang sudah-sudah, sepak bola lagi-lagi mampu memberi satu lagi alasan kenapa orang-orang menamainya The Beautiful Game.
ADVERTISEMENT
Post-Scriptum: Untuk mengetahui lebih lanjut soal aktivitas Syrian Eagles, silakan kunjungi laman Facebook mereka. Selain itu, Anda bisa juga memberi donasi kepada mereka di situsweb ini.