news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menjadi Tua seperti Federer, Menjadi Tua di Lapangan Tenis

29 Januari 2018 15:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Federer menjuarai Australia Terbuka 2018. (Foto: REUTERS/Issei Kato)
zoom-in-whitePerbesar
Federer menjuarai Australia Terbuka 2018. (Foto: REUTERS/Issei Kato)
ADVERTISEMENT
Bila kayu tua baik untuk dibakar dan anggur tua sedap untuk diminum, petenis tua menjadi akurat untuk mengajar.
ADVERTISEMENT
Minggu (28/1/2018), di Rod Laver Arena, Melbourne Park, Roger Federer tidak sanggup berbicara banyak waktu berpidato di podium. Trofi raksasa berwarna perak diangkat tinggi-tinggi lalu diciumnya. Australia Terbuka 2018 menjadi miliknya.
Di sebelahnya berdiri Marin Cilic yang menjadi lawannya di final. Yang diterima Cilic bukan hanya kekalahan dalam pertandingan lima set, tapi pelajaran dari seorang guru yang sekarang sedang menimang gelar Grand Slam ke-20.
Santiago dalam novel 'The Old Man and the Sea' tidak mengajar Manolin menjadi nelayan dengan jejalan teori. Mereka berdua bangun tengah malam, mendorong perahu dan mengurus jala, mempersiapkan wadah untuk menampung ikan, menambal perahu serta layar yang jebol dimakan umur.
Ia membawa Manolin yang masih bocah ke tengah laut yang ganas. Pelajaran Manolin tidak dilakukan di atas perahu atau kapal nelayan yang kokoh, tapi perahu yang reyot.
ADVERTISEMENT
Wajarnya, guru yang baik menjamin keselamatan anak didiknya dengan menempatkan si bocah di perahu yang aman. Sekali waktu, Manolin hampir tewas saat mereka mendapat tangkapan yang besar.
Namun, laut bukan tempat yang wajar. Ia menolak untuk ditebak dan abai dengan sangkaan. Makanya, Santiago mengajar di waktu-waktu terburuk.
Bukannya tak mungkin saat dewasa nanti, Manolin bakal berlayar dalam kondisi terburuk. Mengarungi laut sebagai nelayan bangkrut di tengah gejolak laut yang bukan main. Kalau ia hanya menerima pelajaran yang tenang-tenang melulu, si Manolin bisa mati dengan konyol.
Serupa Santiago, Federer tak mengajar para petenis dalam keadaan terbaik. Jika Santiago melaut sebagai nelayan bangkrut dan tua, Federer bertanding dalam bayang-bayang cedera.
ADVERTISEMENT
Dalam novel karangan Ernest Hemingway tadi, Santiago dan nelayan lain menyebut laut sebagai la mar. Sebutan ini dipakai oleh orang-orang Spanyol untuk apa pun yang mereka cintai.
Kadang, mereka yang mencintai laut berkata sesuatu yang buruk tentang laut. Tentang gejolak pasang-surutnya, tentang ikan-ikan yang tak mau muncul, tentang ratusan nyawa yang melayang karena tenggelam entah di mana. Namun, seburuk-buruknya laut, nelayan-nelayan ini tetap berangkat melaut.
Berdasarkan riset Hemingway, sekumpulan nelayan muda yang menggunakan pelampung dan mengendarai perahu motor menyebut laut sebagai el mar. Ia dipanggil dalam bentuk kata maskulinnya. Mereka menempatkan laut sebagai seorang kontestan, saingan ataupun musuh.
Namun, Hemingway membentuk Santiago sebagai nelayan yang tetap memanggil laut dengan sebutan la mar. Ia bersifat feminin, sebagai hal yang memberikan kesenangan hebat.
ADVERTISEMENT
Bila laut melakukan keliaran atau kejahatan, itu hanya karena laut sedang tak bisa menahan diri. Atau laut sedang mencari pembuktian dari mereka yang berkata cinta kepadanya.
Di usia yang tak lagi muda, 36 tahun, Federer mengajarkan bagaimana menghadapi kekejaman tenis kepada petenis muda asal Korea Selatan, Chung Hyeon.
Chung mengundurkan diri dari AT 2018. (Foto: REUTERS/Edgar Su)
zoom-in-whitePerbesar
Chung mengundurkan diri dari AT 2018. (Foto: REUTERS/Edgar Su)
Chung Hyeon mundur dari turnamen saat melakoni set kedua di babak semifinal melawan Federer. Keputusannya diambil karena cedera pada kakinya.
Kebanyakan petenis --terlebih petenis muda-- mungkin akan memilih untuk tetap memaksakan diri mengikuti turnamen bila menghadapi situasi seperti Chung Hyeon, karena gelar juara memang menuntut kerja keras. Tenis harus dimenangi, cedera harus ditaklukkan. Itu karena mereka menempatkan tenis sebagai el mar.
ADVERTISEMENT
Mereka yang mengaku mencintai tenis sering menentang keputusan macam ini. Padahal, bahayanya cinta itu, terlalu cepat membayangkan kebahagiaan dan terlalu telat membayangkan kesusahan.
Petenis yang termakan ambisi, mungkin membayangkan kebahagiaan bila mereka dicap sebagai pekerja keras yang tetap bermain walau dilanda cedera. Tapi, bagaimana kalau cedera yang dibiarkan itu justru memperpendek umur karier mereka?
Yang diajarkan Federer adalah menempatkan tenis sebagai la mar. Sesekali tenis akan memaksamu untuk mundur dari turnamen karena cedera. Karena Federer mencintai tenis, maka ia ingin punya karier tenis yang panjang.
Mundur sekali berarti fokus pada pemulihan. Bukan keputusan mudah, tapi lebih baik daripada kau harus pensiun muda karena terlambat mengurus cedera.
Saat Federer kalah di semifinal Australia Terbuka 2016 oleh Novak Djokovic, ia mengalami cedera lutut. Setelah kejadian tersebut, Federer harus menjalani operasi pertamanya.
ADVERTISEMENT
Sejak Juli 2016, Federer sudah harus menepi dan berfokus pada pemulihannya. Petenis Swiss itu baru kembali ke kejuaraan dunia pada Australia Terbuka 2017 di bulan Januari.
Awalnya, Federer juga mengungkapkan bahwa ia tak memiliki ekspektasi yang tinggi di Australia Terbuka 2018, mengingat kondisinya yang juga baru pulih dari cedera.
Serupa Santiago yang terus berlayar, Federer juga terus bertanding walau tidak sesering dulu. Mana ada yang tahu langkahnya kencang atau tersendat-sendat. Yang jelas, ia tetap menjuarai Grand Slam.
Di pertandingan final, Federer pun mengajari Cilic bagaimana caranya hidup sebagai petenis. Menjadi petenis berarti kau harus tetap berpegang pada pekerjaan itu seperti orang gila.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, karier petenis profesional tak akan bisa berumur panjang bila ia menyerah saat terdesak lawan. Federer ‘mengolok-olok’ tenis Cilic lewat permainannya di set pertama. Cilic gugup minta ampun.
Di set pertama, tak satu reli pun yang dimenangi Cilic. Ia hanya bisa mencuri gim lewat dua dari tiga ace yang diciptakannya.
Riwayat Cilic sebagai petenis bakal ada di titik nadir jika ia membiarkan lawannya itu menghabisinya di set kedua. Mereka kejar-mengejar angka. Satu poin diciptakan Cilic, Federer menyamakan kedudukan.
Namun, kejaran Federer tak menghentikan langkah Cilic. Ia tetap bertanding, mencetak angka, hingga babak tie-break berakhir untuk kemenangan Cilic walau skor tak berbeda jauh.
Jika laut menguras kemudaan dan kebugaran Santiago, para petenis menghabiskan umur di atas lapangan.
ADVERTISEMENT
Santiago tak pernah tahu kapan ia bisa menemukan ikan. Yang dia lakukan hanya bersiap, lalu berlayar mencari ikan. Begitu pula para petenis.
Melihat permainan Federer di set pertama, orang-orang menyangka pertandingan bakal selesai di set ketiga. Menyaksikan perlawanan Federer di set ketiga, orang-orang mengira Federer bakal mengangkat trofi di akhir set keempat.
Seremoni Australia Terbuka 2018. (Foto: REUTERS/Edgar Su)
zoom-in-whitePerbesar
Seremoni Australia Terbuka 2018. (Foto: REUTERS/Edgar Su)
Tapi, toh, pertandingan berlanjut ke set lima. Waktu menjadi lebih panjang, stamina menjadi lebih pendek. Apa boleh buat, beberapa tangkapan memang baru muncul waktu kau sedang remuk dihajar ombak.
Namun, Cilic kalah di pertandingan ini. Lima set semacam jadi pertandingan yang sia-sia karena Federer juga yang merengkuh Grand Slam. Usia Cilic yang 29 tahun itu kalah muda dibandingkan pesaing-pesaingnya. Lemari di kamarnya masih terlampau lapang karena masih menyimpan satu piala Grand Slam.
ADVERTISEMENT
Sebagai petenis, Cilic babak-belur digempur kekalahan. Beberapa kali tampil di final, beberapa kali jatuh terjerembap. Alih-alih mengangkat trofi, ia justru menanggung beban akan hasrat gelar yang tak sampai.
Kepada wartawan, Cilic berkata, seperti itulah cara olahraga bekerja. Raga diolah menjadi trofi. Nama besar dan kejayaan menjadi lekat karena raga tak menolak ditempa kompetisi.
Federer bukan petenis yang memenangi gelar dalam sekejap. Berkali-kali bertanding, berkali-kali kalah.
Di final Australia Terbuka 2009, ia menangis di podium karena kalah di partai final melawan rival terberatnya, Rafael Nadal. Federer memang mengalahkan Marin Cilic di Wimbledon 2017 dalam pertandingan tiga set. Namun, ia juga pernah kalah melawan Novak Djokovic di final Wimbledon 2015.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Federer tahu seperti apa rasanya kalah dari petenis yang belum pernah memenangi gelar Grand Slam barang sekali saja. Melawan David Goffin di semifinal ATP Finals 2017, ia kalah dalam pertandingan tiga set.
Bila Federer mengajar cara menjadi petenis waras kepada Chung Hyeon, Federer mengajar Cilic untuk tak takluk pada kekalahan.
****
Gelar Grand Slam ke-20 Federer membawanya kepada sejarah. Ia tercatat sebagai petenis keempat yang memenangi 20 (atau lebih) gelar Grand Slam. Sebelumnya sudah ada Margaret Court (24), Serena Williams (23), dan Steffi Graf (22). Di antara keempatnya, hanya Federer dan Serena yang punya peluang untuk menambah gelar.
Maka, serupa Santiago yang peduli setan dengan kekaguman para nelayan yang memandang tulang-tulang raksasa dari tangkapannya yang habis dimakan hiu, Federer menutup raihan ke-20-nya itu dengan biasa-biasa saja. Ia tak bicara banyak di podium, lalu masuk ke ruang ganti dan menerima ucapan selamat via telepon dari Presiden Swiss.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, lampu arena kembali meredup. Federer kembali mengayun raket, memberi pelajaran kepada petenis-petenis lain. Inilah salah satu dari sedikit hal baik dari menjadi tua di atas lapangan.