Obituarium Niki Lauda: Untuk Dia yang Paling Pemberani di Jagat F1

21 Mei 2019 21:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Niki Lauda berbincang bersama tim MacLaren jelang balapan di Sirkuit Le Castellet 1981. Foto: Gerard Fouet/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Niki Lauda berbincang bersama tim MacLaren jelang balapan di Sirkuit Le Castellet 1981. Foto: Gerard Fouet/AFP
ADVERTISEMENT
Andreas Nikolaus 'Niki' Lauda memilih ban jenis basah lantaran hujan mengguyur saat balapan Formula One (F1) Jerman pada 1 Agustus 1976 digelar. Pilihan Lauda tak membuahkan hasil apik, ia memulai balapan dengan buruk sehingga tertinggal dari barisan depan. Lauda akhirnya memutuskan mengganti ban.
ADVERTISEMENT
Namun, pilihannya kembali tak berbuah mujur. Malahan, karena ban belum panas, ia kerap kehilangan kontrol akan mobil Ferrari 312 T2. Puncaknya, mobil Lauda keluar lintasan lalu menghantam pembatas di lap kedua, sebelum akhirnya kembali ke lintasan dengan kondisi helm Lauda sudah terlepas.
Mengalami crash dengan helm terlepas bukan insiden terburuk. Tak lama berselang, mobilnya terbakar dan Lauda terjebak di kemudi. Para pebalap lain mencoba untuk menyelamatkannya, tetapi butuh waktu cukup lama sampai Arturo Merario berhasil mengeluarkan Lauda dari mobil.
Nyawa Lauda tertolong, tetapi kondisinya mengkhawatirkan karena mengalami luka bakar parah. Yang lebih mengerikan lagi adalah kondisi paru-paru Lauda. Selama terjebak di dalam mobil yang terbakar, ia menghirup banyak asap beracun. Saat itu, besar kemungkinan karier balapan dan hidupnya berakhir.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, takdir bicara lain. Setelah dirawat tujuh hari, luka akibat kecelakaan itu dinyatakan tak lagi membahayakan hidup Lauda. Meski begitu, pria asal Austria tersebut mesti legowo akan luka bakar dan kehilangan telinga kanan.
Sebagai pebalap, cedera akibat kecelakaan sudah menjadi risiko. Persoalan selanjutnya adalah mental. Bagaimana Lauda mengumpulkan lagi keberaniannya mengaspal dan aspek inilah yang pada akhirnya membuatnya dikenang sebagai sosok pantang menyerah.
Momen sebelum terjadinya kecelakaan Niki Lauda di GP Jerman 1976. Foto: AFP
Cuma 40 hari berselang setelah insiden di Jerman, Lauda kembali memacu mobilnya di GP Italia dengan hasil finis keempat. Dalam autobiografinya yang berjudul To Hell and Back, Lauda mengaku bahwa ia diselimuti ketakutan ketika kembali ke atas lintasan balap.
"Saya katakan saat itu bahwa saya telah menaklukkan ketakutan dengan cepat. Itu kebohongan belaka . Tapi, saya tak ubahnya manusia bodoh jika bersaing sambil mengakui kelemahan sendiri. Di Monza, saya tak cuma takut. Badan saya seperti mati rasa,” tulis Lauda.
ADVERTISEMENT
Selain cedera, kecelakaan hebat di Jerman pada akhirnya membuat kans Lauda meraih gelar juara dunia kedua bersama Ferrari sirna. Di akhir musim 1976, Lauda kudu puasa gelar dan menutup kompetisi di klasemen, tepat di bawah pebalap McLaren, James Hunt.
Hunt dan Lauda sebetulnya sudah bersaing ketat sejak awal musim. Tetapi, penampilan Lauda yang menurun setelah kecelakaan membuat Hunt sanggup mengejar.
Pada seri terakhir di Jepang, Lauda sebetulnya punya kesempatan mengunci gelar, tetapi ia menolak balapan karena turun hujan.
Potret Niki Lauda pada 26 Juni 1972. Foto: JEAN-PIERRE PREVEL/AFP
Ferrari sudah membujuknya mengaspal, tapi memori kecelakaan saat hujan di Jerman sulit dihilangkan. Alhasil, Lauda mundur dari balapan, sedangkan Hunt mendapatkan apa yang dia mau: Finis di posisi tiga untuk mengakhiri musim di peringkat pertama klasemen dengan keunggulan satu poin atas Lauda.
ADVERTISEMENT
Persaingan ketat dua pebalap ini dan jalannya musim 1976 yang begitu mengerikan buat Lauda akhirnya diabadikan lewat film berjudul Rush pada 2014. Tapi, film ini lebih menekankan pada persaingan dua pebalap, padahal Hust dan Lauda merupakan teman dekat di luar lintasan yang kamar hotelnya bersebelahan saat GP Jepang.
Setelah kariernya hampir tamat di 1976, Lauda kembali beringas semusim berselang. Dari 17 balapan, ia berhasil naik podium sembilan kali dengan tiga di antaranya menjadi yang tercepat. Di akhir musim 1977, Lauda memuncaki klasemen dengan 72 point dan berhak atas trofi juara dunia keduanya.
Di musim 1978, Lauda memutuskan pindah dari Ferrari ke Brabham-Alfa Romeo. Sayang, penampilannya tak ciamik selama dua tahun mengendarai mobil Brabham BT46B dan akhirnya memutuskan untuk pensiun dari dunia balap pada 1979.
ADVERTISEMENT
Niki Lauda merayakan kemenangan di GP Belanda 1985. Foto: Dominique Faget/AFP
Tiga tahun lamanya Lauda menikmati hidup di luar ingar bingar lintasan balap. Pada 1982, ia memutuskan kembali membalap dengan bergabung bersama McLaren. Musim perdananya kembali balapan tak berjalan mulus, ia cuma finis di poisi 10 klasemen akhir 1983.
Kerja keras dan keinginan kuatnya kembali balapan pada akhirnya berbuah hasil manis di tahun kedua bersama McLaren. Menyabet lima kemenangan selama musim 1984, Lauda berhak atas gelar juara dunia ketiganya usai finis di peringkat pertama klasemen dengan 72 poin.
Musim 1985 benar-benar menjadi pemungkas buat Lauda. Penampilannya semakin menurun, 11 kali ia gagal finis dari 14 balapan awal dan pada akhirnya cuma finis di peringkat 10 klasemen akhir. Lauda mafhum perjalanannya tak lagi bisa berlanjut sehingga resmi gantung setir di akhir musim saat usianya menjejak 36 tahun.
ADVERTISEMENT
Karier Lauda sebagai pebalap memang berakhir. Tapi, tidak berarti hubungannya dengan F1 selesai.
Bekal pengalaman, tiga trofi juara dunia, serta bangkit usai kecelakaan hebat, membuat Lauda dengan mudahnya mendapat pekerjaan lain di sektor manajemen tim F1.
Niki Lauda berbincang dengan Michael Schumacher pada F1 Australia 1996. Foto: Greg Wood/AFP
Ferrari kembali menjadi awal Lauda memulai kariernya di luar lintasan. Ia menjadi konsultan pebalap yang saat itu membuat Michael Schumacher mendominasi F1 1996-an hingga 2000-an. Berangkat dari rapor emas Schumacher itulah Lauda diangkat menjadi Direktur Jaguar Racing pada 2001.
Sayang, serupa performanya saat membalap dulu, prestasi manajerial Lauda di tempat kedua tak impresif. Akibatnya, ia dipecat pada akhir 2002.
Bukan Lauda tentunya jika menyerah dengan keadaan. Setahun berselang ia fokus menjalankan maskapai penerbangannya, Lauda Air, yang diubah menjadi Niki Air setelah menjual sebagian sahamnya ke perusahaan penerbangan asal Jerman.
ADVERTISEMENT
Tapi, Lauda kembali merambah manajemen F1 saat ditunjuk sebagai salah satu Direktur Mercedes. Langkah pertama yang ia lakukan adalah turut serta mendatangkan Lewis Hamilton dari McLaren. Pilihan Lauda tak salah, Hamilton kini mendominasi balapan jet darat dalam lima musim terakhir.
Niki Lauda berpose di depan pesawat airbus milik perusahan penerbangaannya yang diberi nama FLYNIKI pada 2003. Foto: AFP
Ketika menjejak usia senja, sosok Lauda yang kokoh dan pantang menyerah dengan sederet pengalamannya saat membalap, berbisnis, dan mengatur sebuah tim F1 harus berhadapan lagi dengan pertarungan hidup mati.
Pada Juli 2018, Lauda didiagnosis terkena infeksi paru-paru parah dan harus melakukan transplantasi paru-paru. Pada November lalu, Mercedes sempat mengunggah video berisikan pesan Lauda yang berujar akan segera sembuh dan secepatnya kembali bekerja.
Namun demikian, perjuangan Lauda akhirnya menemui titik henti. Setelah didiagnosis menderita pneumonia pada Januari lalu dan dirawat di Wina, Austria, kondisi Lauda tak berangsur membaik dan akhirnya berpulang pada Senin (20/5/2019) waktu Austria atau Selasa (21/5) WIB.
ADVERTISEMENT