news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pahit-Manis Memori akan Kebesaran Basket Yugoslavia

15 Januari 2018 14:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Timnas Basket Yugoslavia tahun 1990. (Foto: YouTube/Umut Yasar)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Basket Yugoslavia tahun 1990. (Foto: YouTube/Umut Yasar)
ADVERTISEMENT
Ini bukanlah sebuah penistaan, tetapi sebenarnya sulit untuk menyebut Dream Team sebagai sebuah tim. Dream Team yang dimaksud, tentu saja, adalah tim basket Amerika Serikat di Olimpiade 1992.
ADVERTISEMENT
Di sana, bercokollah nama-nama yang bakal membuat semua orang bergidik. Larry Bird dan Magic Johnson, Charles Barkley dan Karl Malone, John Stockton dan Scottie Pippen, Patrick Ewing dan David Robinson, serta tentunya, Michael Jordan. Akan tetapi, mereka bukanlah sebuah tim, melainkan kumpulan individu-individu paling menterang dalam jagat perbasketan.
Di Olimpiade itu, Dream Team tak punya lawan sepadan. Sepanjang turnamen, mereka berhasil membukukan kemenangan dengan margin rata-rata 43,8 poin. Mereka selalu mencetak di atas 100 poin dan bahkan, di final mereka sukses mengubur Venezuela dengan selisih poin mencapai 47. Akan tetapi, mereka bukanlah sebuah tim dalam arti sesungguhnya.
Dream Team 92 itu adalah epitome dari cara Amerika Serikat memandang basket. Bagi orang Amerika, olahraga ini adalah sebuah pertunjukan individual. Kebetulan, individu-individu tadi harus bergabung ke dalam sebuah unit berisikan lima orang. Dengan berkumpulnya nama-nama tadi dalam satu tim, tak heran jika mereka disebut sebagai tim impian.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, nama itu tidak salah kaprah juga. Tim Impian. Tolong beri tekanan kepada kata "Impian". Artinya, sampai taraf tertentu, tim itu boleh dikatakan terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Dengan kata lain, pemain-pemain itu terlalu menonjol kualitas dan permainan individualnya untuk menjadi sebuah tim.
Dalam folklor basket, ada sebuah narasi sejarah kontrafaktual (counterfactual history) yang sampai detik ini masih kerap direproduksi. Bahkan, mereka yang paling kerap mereproduksi folklor ini adalah orang Amerika sendiri. Pasalnya, meski medali emas Olimpiade itu adalah prestasi yang memuaskan dan membanggakan, ada sesuatu yang kurang di sana.
Seharusnya, langkah Amerika menyabet medali emas tidaklah semudah itu. Seharusnya, ada satu negara lain yang setidaknya, bisa membuat Jordan dan kolega bertarung sampai detik terakhir untuk memperebutkan podium teratas. Seharusnya, tim milik Federasi Yugoslavia muncul sebagai penantang Dream Team di partai puncak.
ADVERTISEMENT
***
7 Juni 1993, Denkendorf, Jerman
Tak ada lagi yang tersisa pada musim itu bagi Drazen Petrovic. New Jersey Nets, tim yang membesarkan namanya, baru saja disingkirkan oleh Cleveland Cavaliers di babak play-off. Akan tetapi, bukan kegagalan itu yang membuat gulana bergentayangan di benak Petrovic.
Drazen Petrovic sedang tidak bahagia. Dia merasa tidak diperlakukan dengan apik oleh manajemen Nets. Walau baru saja menjalani musim terbaik dalam karier singkatnya di NBA, kontrak baru tak kunjung diberikan kepadanya. Ada dugaan bahwa Petrovic memang sengaja bakal disingkirkan karena rekan-rekan setimnya merasa iri kepadanya.
Petrovic sebenarnya sudah punya nama dan reputasi besar. Akan tetapi, nama dan reputasi besar itu tidak dia dulang di NBA, melainkan di Eropa. Mengawali karier bersama klub kota kelahirannya, Sibenka, Petrovic kemudian hijrah ke Cibona kala berusia 20 tahun untuk memulai karier gemilang itu.
ADVERTISEMENT
Kala berkostum Cibona, Petrovic berhasil merengkuh dua gelar Eurobasket (Piala Eropa untuk basket) bersama Tim Nasional Yugoslavia. Satu kali, dia juga pernah dianugerahi gelar Mr. Europa. Sayangnya, waktu itu Petrovic tidak pernah bisa menjadi lebih besar karena sebagai orang Yugoslavia, dia tidak diperbolehkan untuk hengkang ke luar negeri sebelum berusia 28 tahun. Padahal, performa apiknya sudah tercium sampai Negeri Paman Sam.
Pada 1986, Portland Trail Blazers sudah mencoba untuk merekrutnya sebagai draft pilihan ketiga. Namun, aturan pemerintah itu menjadi pengganjal dan Petrovic baru benar-benar pergi ketika sudah berusia 25 tahun.
Akan tetapi, dia tidak langsung bertolak ke Amerika, melainkan ke Spanyol untuk memperkuat Real Madrid. Setelah setahun berada di sana, pada 1989 Petrovic akhirnya baru betul-betul pergi menuju Portland.
ADVERTISEMENT
Bersama Portland, Petrovic boleh dibilang gagal. Akan tetapi, ini bukan salahnya seorang. Kegagalan pemain kelahiran 1964 itu lebih disebabkan oleh ketidakpercayaan pelatihnya kala itu, Rick Adelman. Walau Blazers berhasil menembus final, peran Petrovic begitu terbatas. Dia tidak mampu menembus tim utama dan hanya diturunkan sesekali untuk menyumbang poin via tembakan tiga angka.
Kala itu, tembakan tiga angka memang bukan cara utama untuk menang. Wajar, memang, karena aturan ini ketika itu terbilang baru. Oleh FIBA, garis tembakan tiga angka baru diperkenalkan pada 1984 dan menilik sifat NBA yang mengedepankan aksi-aksi individual nan atraktif, tembakan tiga angka dianggap tidak seksi.
Petrovic memang memiliki kelebihan dalam hal itu. Di Portland, boleh jadi dia sendirilah yang punya kemampuan dalam melakukan tembakan tiga angka dengan baik. Nantinya, pemain satu ini bakal mengemas rata-rata persentase tembakan tiga angka mencapai 44%.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, Petrovic sejatinya lebih dari itu. Selain menembak, Petrovic juga punya visi dan kemampuan mengumpan yang sulit sekali ditandingi. Hanya saja, secara perawakan, ia memang tidak seatletis para pemain Amerika pada umumnya. Itulah sebabnya Adelman kemudian memilih untuk mengutilisasi Petrovic untuk satu tugas spesifik saja.
Petrovic hanya bertahan selama satu setengah tahun di Portland. Kala itu, dia sempat berkata, "Seumur hidup aku tidak pernah duduk di bangku cadangan dan aku tidak sudi duduk di bangku cadangan di Portland."
Pada pertengahan musim 1990/91, hijrahlah Petrovic ke New Jersey Nets. Di sana, dia jatuh ke dalam asuhan Bill Fitch, pelatih yang sempat membawa Boston Celtics menjadi juara NBA pada 1981. Fitch sendiri boleh dikatakan sebagai sosok yang membesarkan Larry Bird dan dalam diri Petrovic, Fitch menemukan sosok Larry Bird baru.
ADVERTISEMENT
Oleh Fitch, Petrovic diberikan peran seperti yang dulu dia berikan kepada Bird, yakni sebagai nukleus tim. Di Nets pun akhirnya Petrovic bersinar. Setelah menjalani adaptasi pada setengah musim pertama, pada dua musim berikutnya, laju Petrovic tak tertahankan. Selama dua musim itu, dia hanya tiga kali tidak menjadi starter dan total, berhasil mengemas poin rata-rata sampai 21,5 per laga. Selain itu, rata-rata assist-nya pun mencapai angka 3,3 per laga.
Sampai akhirnya, musim 1992/93 itu berakhir dan turbulensi mulai melanda karier Petrovic di Nets. Dengan adanya masalah pada perpanjangan kontrak itu, Petrovic bahkan sempat mengancam bakal menerima tawaran dari Yunani. Tawaran dari Yunani yang dimaksud adalah cek kosong yang disodorkan manajemen Panathinaikos kepada dirinya.
ADVERTISEMENT
Di tengah mandeknya pembicaraan kontrak itu, Petrovic memutuskan untuk pulang ke Eropa untuk berlibur. Kebetulan, ketika itu Yugoslavia sudah pecah dan status kewarganegaraan Petrovic sudah berubah menjadi Kroasia. Kala itu Tim Nasional Kroasia sedang menjalani babak kualifikasi untuk ajang Eurobasket di Polandia. Petrovic, bersama kekasihnya, Klara Szalanty, menghadiri laga Timnas Kroasia tersebut.
Namun, nahas kemudian menimpa. Dalam perjalanan pulang dari Polandia, tepatnya di Autobahn 9, Denkendorf, Jerman, Drazen Petrovic meninggal dunia.
Petrovic kala itu sedang menumpang mobil kawannya di kursi belakang. Di autobahn itu, di tengah cuaca yang luar biasa buruk, sebuah truk sudah terlebih dahulu tergelincir. Pengemudi mobil yang ditumpangi Petrovic itu tidak melihat adanya badan truk yang sebenarnya sudah memenuhi 2/3 jalan dan hasilnya, dia pun tak sempat menghindar. Petrovic dan semua orang di mobil itu tewas seketika.
ADVERTISEMENT
***
Drazen Petrovic bukanlah orang Eropa pertama yang mencoba peruntungan di Eropa. Bahkan sejak dekade 1940-an pun sudah ada pemain Eropa yang berkarier di NBA. Akan tetapi, Petrovic adalah pionir sesungguhnya bagi ke-Eropa-an yang kini menjadi raja di NBA.
Dalam beberapa musim terakhir, Golden State Warriors menjelma menjadi kekuatan mengerikan di NBA dan dua dari para pemain terbaik mereka, Klay Thompson dan Steph Curry yang dikenal luas sebagai Splash Brothers, adalah pemain dengan gaya Eropa. Mereka adalah penembak bola serta pengumpan andal dan atas keberhasilannya itu, Thompson dan Curry harus berterima kasih banyak kepada Petrovic.
Kesuksesan Warriors itu juga tentunya tak bisa dilepaskan dari tangan dingin Steve Kerr dan Steve Kerr pun, atas segala prestasinya sebagai pelatih NBA, tak bisa untuk tidak berterima kasih kepada Gregg Popovich. Pasalnya, di senjakala karier bermainnya dulu, Kerr sempat bermain di bawah asuhan Popovich. Cara bermain tim asuhan Kerr pun merupakan karbon kopi dari cara bermain tim asuhan Popovich.
ADVERTISEMENT
Popovich sendiri, boleh dikatakan, merupakan salah satu pelatih NBA terbesar sepanjang sejarah. Buktinya sudah jelas. Di jemarinya, ada lima cincin gelar juara NBA. Kemudian, selama 21 tahun melatih San Antonio Spurs, pria 68 tahun ini berhasil membawa Spurs lolos play-off 20 kali. Musim ini pun keberhasilan itu tampaknya bakal terus berlanjut.
Tim Duncan boleh jadi merupakan pemantik dari segala kejayaan yang direngkuh Spurs. Akan tetapi, Spurs pun punya keunggulan tersendiri dalam membawa napas Eropa ke NBA. Tony Parker dan Manu Ginobili adalah dua pemain legendaris yang mereka angkut dari Eropa. Parker diangkut dari Prancis dan Ginobili, meski berkewarganegaraan Argentina, direkrut dari Italia.
Tak cuma itu, cara itu pun masih berlanjut sampai sekarang. Saat ini, ada nama Davis Bertans (Latvia) dan Pau Gasol (Spanyol) yang juga menjadi bagian penting dari skuat Spurs. Bertans diplot untuk menjadi pengganti Tony Parker, sementara Gasol adalah pengganti sementara untuk Tim Duncan. Apa yang dilakukan Popovich selama dua dekade terakhir ini muskil terjadi tanpa peran Drazen Petrovic.
ADVERTISEMENT
***
Seharusnya, Olimpiade 1992 itu menjadi panggung bagi Drazen Petrovic untuk bersinar. Di skuat juara dunia 1990, selain Petrovic ada pula nama Toni Kukoc serta Vlade Divac. Setelah Petrovic, Divac dan Kukoc kemudian juga akhirnya turut berkarier di NBA. Kukoc adalah bagian krusial dari Chicago Bulls era Michael Jordan, sementara Divac adalah bintang Sacramento Kings pada awal 2000-an.
Kejuaraan Dunia 1990 itu adalah panggungnya Eropa. Di final, Yugoslavia berhasil mengalahkan Uni Soviet dengan skor 92-75. Gelar itu sendiri merupakan puncak dari segala pencapaian mereka sebelumnya termasuk medali emas Olimpiade 1980, trofi Kejuaraan Dunia 1970 dan 1978, serta gelar Eurobasket 1973, 1975, 1977, dan 1989. Setahun setelah menjadi juara dunia, Yugoslavia berhasil menambah satu trofi Eurobasket ke kabinet yang barangkali sekarang sudah tiada.
ADVERTISEMENT
Tim basket Yugoslavia memang tak seheterogen tim sepak bolanya. Jika di tim sepak bola pemain-pemain Bosnia dan Slovenia bisa berbicara banyak, di tim basket, yang dominan adalah pemain-pemain Kroasia. Sementara itu, meski hanya menjadi penyumbang pemain terbanyak kedua, Serbia adalah penyumbang pelatih hebat, termasuk Dusko Ivkovic yang melatih antara 1989-1991.
Petrovic dan Kukoc adalah orang-orang Kroasia, sementara Divac adalah sosok asli Serbia. Awalnya, Petrovic dan Divac adalah sobat kental. Akan tetapi, relasi itu kemudian hancur lebur pada Eurobasket 1989.
Pada masa ini, suasana di Yugoslavia memang sudah memanas dan tensi antarpemain berbeda bangsa semakin kencang saja. Setelah menang atas Yunani di partai puncak, ada sebuah insiden yang melibatkan seorang suporter. Si suporter itu berlari ke tengah lapangan dengan membawa bendera Kroasia. Divac yang melihat itu pun menghentikan suporter tersebut dan Petrovic pun meradang karenanya. Sejak itu, Petrovic pun menolak untuk berbicara dengan Divac.
ADVERTISEMENT
Di dalam negeri, tensi juga semakin meningkat sampai akhirnya, Perang Kemerdekaan Kroasia pecah pada 1991. Ketika Olimpiade 1992 dimulai, sebenarnya secara teknis negara Yugoslavia masih ada. Akan tetapi, mereka dilarang ikut serta dalam kompetisi-kompetisi olahraga antarnegara. Dalam sepak bola, dilarangnya Yugoslavia ikut serta ini berbuah pada digantikannya mereka oleh Denmark yang akhirnya menjadi juara Euro 1992.
Praktis, pada saat itu bubarlah mimpi Yugoslavia untuk menjadi penantang serius bagi Amerika Serikat. Padahal, yang sebenarnya layak untuk dilabeli sebagai Dream Team adalah tim milik Yugoslavia tersebut. Sebabnya, mereka memang benar-benar bermain secara tim. Dengan umpan-umpan mulus di area penyerangan dan permutasi apik di area pertahanan, mereka benar-benar mewujud menjadi sebuah unit tanpa tanding.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, prestasi negara-negara pecahan Yugoslavia pun melorot. Terakhir kali Serbia berjaya di kancah internasional adalah pada Kejuaraan Dunia 2002. Setelahnya, mereka selalu gagal menembus partai puncak. Bahkan, posisi mereka di percaturan basket Eropa pun kini telah digantikan oleh Spanyol yang memang punya kompetisi bagus. Dengan kata lain, perbasketan Balkan di level internasional memang sudah habis.
Akan tetapi, tak semua dari Yugoslavia itu mati dan menguap begitu saja. Gaya bermain ala Popovich dan Kerr, misalnya, merupakan bukti nyata bahwa cara bermain Eropa yang dibawa pemain-pemain Yugoslavia itu abadi. Kemudian, pemain-pemain Balkan pun sampai saat ini masih cukup banyak di NBA, termasuk Nikola Jokic dan Bogdan Bodganovic yang jadi tumpuan Denver Nuggets dan Sacramento Kings. Dengan kata lain, basket Yugoslavia sebenarnya masih ada, meski cuma berwujud spirit.
ADVERTISEMENT